MENAGIH JANJI APP TERHADAP KOMITMEN RESTORASI DAN KONSERVASI HUTAN
Jakarta, 3 April 2013. Sebuah laporan anyar yang dipublikasikan oleh koalisi LSM, Eyes on the Forest (EoF), menyimpulkan bahwa kebijakan baru yang dikeluarkan oleh perusahaan besar penghasil kertas yang kontroversial, Asia Pulp & Paper (APP), dan mendapat pujian banyak pihak ini, pada kenyataanya hampir tidak ada upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan hutan alam di Sumatera.
Pada Februari 2013 yang lalu, APP dan Sinar Mas Group (SMG) mengumumkan kebijakan tersebut sebagai “Akhir penebangan hutan alam di seluruh rantai pasokan di Indonesia, yang berlaku segera”. Akan tetapi, hasil analisis yang dilakukan oleh EoF pada seluruh wilayah konsesi APP – tidak termasuk wilayah moratorium – di Provinsi Riau, menemukan kebijakan tersebut hanya melindungi hutan seluas 5.000 hektare. Luasan yang dilindungi ini tidak sebanding dengan kerusakan hutan yang sudah dilakukan oleh APP, yaitu seluas 2 juta hektare selama tiga dekade terakhir.
“Kami sangat kecewa. Sewaktu APP mempublikasikan kebijakannya, kami berpikir hal itu merupakan berita baik bagi masa depan konservasi hutan, keanekaragaman hayati, dan masyarakat Indonesia,"" ujar Nazier Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia. “Namun, dari analisis ini, kita mengetahui bahwa kebijakan perusahaan untuk menghentikan deforestrasi ini diterbitkan setelah perusahaan pemasok selesai melakukan penebangan habis.”
Sebagian besar pasokan kayu alam APP berasal dari konsesi para pemasok perusahaan itu di Riau. Pada 2012, diketahui bahwa provinsi ini telah kehilangan lebih dari 680.000 hektare hutan alamnya semenjak APP beroperasi di Sumatera pada 1984. Dari luasan hutan tersebut, 77% tutupannya telah hilang dengan cara yang dipertanyakan legalitasnya, sementara 83% dari luas tutupan yang hilang itu merupakan habitat bagi Harimau dan Gajah Sumatera.
WWF menyerukan kepada APP dan Sinar Mas untuk segera mengumumkan komitmen restorasi hutan.
""Perusahaan ini meminta amnesti besar untuk ‘masa lalu yang harus dilupakan', meninggalkan kita dengan ekosistem hancur, konflik sosial, emisi gas rumah kaca, dan spesies terancam punah yang kehilangan habitatnya,"" kata Aditya Bayunanda , Manajer GFTN dan Pulp & Paper WWF- Indonesia. ""Kami tidak dapat terima hal ini dengan begitu saja. LSM-LSM di Indonesia mengimbau APP untuk mengembalikan lahan gambut yang dirusak dan hutan lindung yang hilang, mengembalikan Kawasan Nilai Konservasi Tinggi yang disebabkan pasca kegiatannya,"" lanjutnya.
Eyes on the Forest juga menyoroti bahwa penilaian Hutan Konservasi Bernilai Tinggi yang sering dipromosikan oleh APP/SMG harus dilakukan di lahan konsesi dimana penebangan habis yang direncanakan telah selesai dan hutan yang tersisa sudah dilindungi oleh hukum atau komitmen APP itu sendiri.
“Tanpa komitmen restorasi, penilaian ini tak akan ada artinya,” tambah Bayunanda.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa meskipun perusahaan berjanji hanya menebang secara eksklusif di area konsesi milik mereka pada 2004, 2007, dan 2009, laju deforestrasi sempat berada dalam tingkat konstan di 1995 hingga 2011. Hal ini dikarenakan pemerintah sedang menyelidiki dugaan pembalakan liar oleh industri, termasuk pemasok kayu APP pada 2007-2009.
Laju deforestrasi sempat melambat pada 2012; satu-satunya alasan bahwa tidak ada lagi sisa hutan alam yang dapat ditebang.
""Hasil analisis kami menuju kepada satu kesimpulan: Tampaknya APP berharap sekali lagi dapat membodohi publik untuk membayangkan besarnya manfaat konservasi, sementara melupakan pelanggaran masa lalu,"" ujar Hariansyah Usman dari WALHI Riau. “Kami tidak melihat potensi manfaat konservasi di masa depan atas kebijakan itu seimbang dengan kerusakan yang ditinggalkan oleh APP di masa lalu.""
""Eyes on the Forest menyoroti bahwa dengan keterbukaan penuh dari perusahaan termasuk asal-muasal kayu, rencana pasokan dan rencana ekspansi pabrik, dapat membuktikan apakah kebijakan ini mengandung manfaat nyata bagi konservasi atau tidak.""
Minggu lalu, koalisi LSM di Kalimantan menemukan fakta bahwa penebangan terus dilakukan oleh dua pemasok APP pada lokasi yang dideklarasikan untuk moratorium pada Februari 2013.
Kenyataan bahwa APP terus menerima kayu dari hutan alam merupakan masalah yang sangat serius bagi WWF, APP mengklaim bahwa kayu tersebut ditebang sebelum moratorium dimulai, yakni pada 1 Februari 2013. WWF-Indonesia menyerukan kepada APP untuk menutup celah ini karena dapat digunakan oleh pemasok nakal yang melanggar kebijakan tersebut. WWF telah mengusulkan batas waktu paling lambat 5 Mei untuk mengakhiri penerimaan kayu yang ditebang dari hutan alam. Hal ini memberikan waktu kepada perusahaan selama tiga bulan untuk untuk mengangkut persediaan kayu yang ditebang sebelum Februari 2013.
""WWF merekomendasikan agar konsumen tidak terburu-buru menjalin bisnis dengan APP,"" kata Rod Taylor, Direktur Hutan WWF-International. ""APP tak dapat dianggap sebagai produsen yang bertanggung jawab tanpa upaya penanganan kerugian yang disebabkan oleh kegiatan di masa lalu dan upaya untuk menghapus keraguan bahwa kayu yang berasal dari hutan alam dapat masuk pabriknya.""
EoF menerbitkan analisa laporannya di peta online interaktif, berdasarkan platform mesin Peta Google Earth untuk memudahkan para pihak mengevaluasi kebijakan konservasi hutan SMG/APP, serta memantau pelaksanaannya di lapangan. EoF selalu memperbarui database secara berkala. Tidak hanya di Riau, tetapi juga di provinsi lain, dengan rincian baru mengenai konsesi yang ada.
Catatan Editor:
Laporan “Kemana pohon-pohon itu”:
http://www.eyesontheforest.or.id/attach/EoF%20(April%202013)%20Kemana%20pohon-pohon%20itu.pdf
Gambar cover beresolusi tinggi untuk melengkapi laporan ini:
http://dl.dropbox.com/u/83668676/EoF%20Report%20-%20Where%20are%20the%20trees%20(April%202013)/EoF_Kemana%20pohon-pohon%20itu_April%202013_Cover.jpg
Analisis data berupa peta interaktif online di database Sumatera EoF-Google Earth:
http://maps.eyesontheforest.or.id
Analisis ini menemukan bahwa 89% hutan alam yang tersisa tahun lalu di area konsesi para pemasok SMG/APP di Riau, dilindungi secara hukum, dan diperluas 8% oleh komitmen perusahaan yang lalu. Oleh karena itu, menyisakan sekitar 5.000 hektar hutan alam yangmendapatkan perlindungan baru dibawah kebijakan.
Respon WWF-Indonesia terhadap pengumuman kebijakan APP pada 5 Februari 2013 yang lalu:
http://www.wwf.or.id/en/news_facts/press_release/index.cfm?uNewsID=27300&uLangID=67
Pada 18 Maret 2013, Greenomics mengeluarkan sebuah laporan yang menunjukan bahwa moratorium APP diumumkan setelah parapemasok mereka di Sumatera menyelesaikan perusakan hutan terencana:
http://bit.ly/12b1QxN
Pada 26 Maret 2013, LSM-LSM di Kalimantan mempublikasikan sebuah laporan mengenai para pemasok APP yang tetap menebanghutan dan membangun kanal di lahan gambut setelah APP mengeluarkan kebijakan moratorium:
http://www.wwf.or.id/?27740/Relawan-Pemantau-Hutan-Kalimantan-Ragukan-Komitmen-APP-pada-Konservasi-Hutan
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Aditya Bayunanda, WWF-Indonesia,
Email: abayunanda@wwf.or.id, HP.: +62-818-265-588
Diah R. Sulistiowati, WWF-Indonesia,
Email: dsulistiowati@wwf.or.id, HP.: +62-811-100-4396
Chris Chaplin, WWF-International,
Email: cchaplin@wwf.sg, HP.: +86-139-117-474-72
Tentang WWF-Indonesia
Salah satu organisasi konservasi independen yang didukung oleh 5 juta suporter di seluruh dunia dan jaringan kerja di lebih dari 100 negara. Misi WWF adalah menghentikan degradasi lingkungan alam di bumi dan membangun masa depan di mana manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis bersama alam dengan melestarikan keanekaragaman hayati dunia dan memastikan penggunaan sumber daya alam terbarukan secara berkelanjutan serta mempromosikan pengurangan polusi dan konsumsi yang berlebihan. Pada 2012, WWF merayakan 50 tahun kerja konservasi di Indonesia. Informasi lebih lanjut, silakan mengunjungi www.wwf.or.id