MEMBERANTAS PELAKU KEJAHATAN PERIKANAN
WWF Indonesia mengapresiasi upaya baru pemerintah dalam mengekang praktik penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, serta tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated/IUU Fishing) di salah satu kepulauan terbesar di dunia dan juga perikanan tuna terbesar di planet ini.
The United Nations Food and Agricultural Organization (FAO) melaporkan bahwa Indonesia adalah negara kedua dengan jumlah tangkapan ikan terbesar di dunia pada tahun 2012, setelah Cina. Produksi perikanan Indonesia mencapai 5,8 juta ton dengan nilai sekitar Rp 79,4 triliun (setara 6,6 milyar USD) pada tahun 2012. Nilai ini merupakan hasil yang sangat besar dari sebuah wilayah dengan luas 1,919,440 km2 yang terbentang dari Samudera Hindia sampai Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan.
IUU Fishing merugikan perikanan global sebesar 45 milyar USD tiap tahunnya. Dalam sebuah wawancara dengan The Wall Street Journal, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa 9 per 10 dari 5400 kapal ikan – atau setara 4860 kapal – di Perairan Indonesia beroperasi secara ilegal.
Konsisten dengan niat yang dinyatakan Presiden terpilih Joko Widodo untuk mewujudkan pembangunan perikanan nasional dan menekan penangkapan ikan ilegal, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia telah mengeluarkan peraturan ketat terkait industri ini.
Diantara peraturan tersebut yang paling signifikan adalah Peraturan Menteri (PERMEN) nomor 56, yang dikeluarkan pada akhir 2014 yang menghentikan perijinan untuk sementara segala bentuk kegiatan penangkapan ikan di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia bagi setiap kapal yang dibangun di luar negeri, serta PERMEN nomor 2 tahun 2015, tentang pelarangan alat tangkap pukat di seluruh wilayah perikanan Indonesia. “Pengesahan peraturan ini menjamin produktivitas perikanan dan menekan jumlah insiden tertangkapnya spesies ikan non target atau bycatch, seperti bayi tuna dan penyu, selain itu juga menekan kapal asing ilegal yang memasuki wilayah negara, yang menggunakan alat tangkap semacam itu” ujar Manajer Perbaikan Perikanan Tangkap dan Budidaya, WWF-Indonesia, Abdullah Habibi.
Adanya prevalensi “sistem boneka” dalam perikanan Indonesia juga ditegaskan lebih jauh oleh Habibi, dimana perusahaan penangkap ikan milik asing “meminjam” perijinan dari perusahaan ikan lokal dan bahkan memakai satu perijinan tersebut untuk beberapa kapal – sebuah taktik yang secara langsung ditanggulangi oleh PERMEN nomor 56.
Habibi memuji konsistensi menteri dalam pelaksanaan langkah-langkah ini. “Kami telah mengajukan beberapa dari rekomendasi selama beberapa tahun terakhir, dan apa yang terjadi sekarang membuahkan hasil yang baik”
Tentu saja bagi banyak pihak, langkah-langkah ini sudah lama dinanti. Penurunan stok ikan dan semakin ketatnya kompetisi dibeberapa perusahaan perikanan untuk memanen tuna yang berharga, telah mendorong operasi penangkapan ikan sampai ke wilayah timur kepulauan Negara ini akibat dari penangkapan secara berlebihan di wilayah barat. Ketika intensitas penangkapan di wilayah timur meningkat tanpa peraturan dan pengawasan yang memadai, maka risiko terkurasnya stok perikanan di wilayah timur pun akan sangat mungkin terjadi.
Angka yang Mengkhawatirkan
Menurut laporan FAO bertajuk Status Perikanan dan Budidaya Dunia pada tahun 2014, 87% stok perikanan komersial sekarang dieksploitasi secara berlebihan, sepenuhnya dieksploitasi, atau secara signifikan menipis. Sebuah angka yang mengkhawatirkan dimana 2,9 miliar orang di seluruh dunia bergantung pada ikan untuk pemenuhan 20% dari asupan protein mereka. Perikanan memasok 15% dari protein hewani dalam makanan kita (dan lebih dari 50% di banyak negara-negara berkembang di Afrika dan Asia), tapi ini terdiri dari perikanan yang sudah ditangkap secara berlebihan atau sepenuhnya dieksploitasi, yang tidak memungkinkan lagi untuk dimanfaatkan lebih jauh.
Kepala pelaksana di bawah Presiden Joko Widodo adalah Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, yang juga telah menerima banyak pujian karena visi dan ketegasannya. Dalam pidato terakhirnya, di depan Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Beliau menekankan bahwa keberlanjutan harus lebih diutamakan daripada kemakmuran, dan bahwa kebijakan pemerintah harus melihat kondisi saat ini dan mepertimbangkan generasi yang akan datang secara lebih baik.
Langkah-langkah drastisnya telah menjadi berita utama media global; berita tentang kapal ilegal dari Thailand dan Vietnam yang telah ditangkap Desember silam yang kemudian diledakan dan dikaramkan setelah para kru dievakuasi, menjadi salah satu perhatian media The Economist pada 3 Januari lalu. Peraturan lainnya, PERMEN 57 tahun 2014, juga melarang pemindahan muatan di atas laut atau transhipment, yang mengatur kegiatan perahu kecil yang membongkar muat tangkapan ikan mereka ke kapal yang lebih besar yang difasilitasi dengan pendingin. Beberapa kelompok telah menyatakan bahwa nelayan pole and line skala kecil akan terpengaruh dengan peraturan ini; Artikel yang telah dipublikasi The Guardian pada tanggal 14 Januari mengatakan nelayan tersebut sebagai ‘korban yang tidak diinginkan’ dari penerapan peraturan ini, yang harus menghadapi ‘peningkatan harga bahan bakar’ disaat mereka harus membawa tangkapan mereka kembali ke pelabuhan.
Hal ini tidak benar, ujar Habibi. “Jangka waktu penangkapan ikan dalam sekali trip nelayan Pole and Line di Indonesia sangat pendek, dari satu sampai empat hari maksimum, jadi mereka bukanlah masalah dan korban dari peraturan tersebut. Mereka pergi ke wilayah penangkapan, lalu kembali ke pelabuhan. Oleh karena itu, pengaturan tentang transhipment tidak menjadi masalah bagi mereka.
Namun, PERMEN 57 akan membatasi dan mengurangi armada yang menargetkan penangkapan ikan tuna dan ikan cakalang, kata Habibi – banyak dari armada tersebut melaut selama berhari-hari dan atau armada yang membongkar muat ikan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya, dan masih terlibat dalam IUU Fishing. Alfred “Bubba” Cook, Western and Central Pacific Tuna Programme Manager dari WWF Smart Initiative (SFI) mengatakan secara langsung: “Faktanya adalah kegiatan transhipment di laut adalah salah satu mekanisme terbesar yang memfasilitasi kegiatan IUU Fishing secara global.”
WWF telah mendukung cara lain untuk bekerja dengan undang-undang baru tersebut. Transhipment dapat menjadi proses yang jauh lebih transparan jika kapal bersedia untuk menerapkan kontrol penangkapan menggunakan Vessel Monitoring Systems (VMS), Automatic Identification System (AIS), dan adanya pengamat. ""Mereka juga harus setuju untuk hukuman yang berat, termasuk penyitaan kapal dan tangkapan untuk pelanggaran yang disengaja,"" kata Cook.
Menemukan Celah
Kesepakatan FAO dalam Port State Measures (PSM) untuk mencegah, menangkal, dan memberantas IUU Fishing yang diadopsi pada konferensi FAO tahun 2009 dapat menjadi landasan penting. Karena praktik IUU Fishing biasa mencari celah dari sistem dan peraturan. Pelabuhan yang tidak ketat merupakan tempat yang sempurna untuk membawa tangkapan mereka dari kapal hingga ke etalase, sebagaimana dilansir dari website FAO. Pelabuhan yang meratifikasi perjanjian tersebut akan berkomitmen untuk memeriksa, memantau, dan menolak masuk ke kapal yang terlibat dalam praktik IUU Fishing. Perjanjian itu akan berlaku setelah disetujui dan ditandatangani oleh 25 negara; 11 telah menandatangani sejauh ini, namun Indonesia masuk belum daftar tersebut.
“Peraturan baru harus juga dapat menjadi dorongan bagi Indonesia segera bertindak dalam meratifikasi PSM” ujar Dr Jose Ingles, Coral Triangle Programme coordinator for Fishery Improvement Projects and Policy dari WWF. “Ada beberapa set peraturan yang harus pemerintah perkuat, dan PSM berfungsi sebagai pencegahan lebih lanjut dalam mengatasi praktek IUU Fishing.”
Melalui tindakan tegas seperti itu, ""Indonesia telah menetapkan contoh yang baik, dan mudah-mudahan negara-negara lain dapat mengikuti dan mengatasi IUU Fishing secara serius dalam hal penegakan hukum,"" kata Jackie Thomas, Ketua Program WWF Coral Triangle. Indonesia merupakan salah satu dari 6 negara yang membentuk wilayah penting ini. ""Kami harus mempertimbangkan pentingnya perikanan dan sumber daya, dan sumber ketahanan pangan jutaan orang.""
Langkah-langkah negara pelabuhan bisa menjadi salah satu jawaban terbaik untuk kapal yang beroperasi di laut terbuka. Namun untuk kapal yang beroperasi di perairan kepulauan di Indonesia, langkah lain juga diperlukan. Dokumentasi sederhana, seperti catatan yang baik bagi pemilik perahu, serta bukti bahwa mereka membayar pajak secara teratur dan menerapkan semua peraturan (yaitu pengamat di kapal, VMS, AIS), bisa sangat menguntungkan.
Sekarang Indonesia telah menetapkan landasan hukumnya, Habibi berharap bahwa mekanismenya dilaksanakan untuk memastikan bahwa mereka mematuhi peraturan tersebut. ""Kami sangat memperhatikan hal-hal terkait untuk memastikan pengawasan dan pemantauan peraturan, karena hukum bukanlah apa-apa jika tidak dilaksanakan dengan hati-hati.""
""Sebagai upaya agar Indonesia dapat menekan praktik IUU Fishing, harus ada sistem inspeksi yang efisien di pelabuhan, di mana penggunaan logbooks, pengamat, dan kewajiban pelaporan lainnya secara ketat diberlakukan,"" tambah Dr Ingles. ""Sistem ini akan menargetkan armada domestik yang tidak tercakup oleh kesepakatan PSM.""
Pada akhirnya, Habibi meminta semua sektor lain untuk bersatu di belakang pemerintah dan membantu mengakhiri praktik IUU Fishing. ""Saat ini, Menteri Pudjiastuti menerapkan hukum dan menjaga sikap yang kuat, tetapi beberapa asosiasi perikanan dan parlemen berusaha untuk melonggarkan peraturan tersebut. Kami menyerukan dukungan bagi kebijakan untuk mengakhiri praktik IUU Fishing, dan bagi perusahaan untuk tidak melakukan upaya untuk melemahkan kebijakan. ""
Sumber: Blowing up the bad guys: Will Indonesia’s new fisheries laws deliver?