LANGKAH PENTING MENUJU 100 % ENERGI TERBARUKAN DI TAHUN 2050
Oleh Jason Tulio & Masayu Yulien
Jakarta (18/01)-Mengawali dua minggu pertama di awal tahun 2012, PBB melalui Sekretaris Jenderalnya Ban Ki-moon menetapkan tahun ini sebagai Tahun Internasional Energi Terbarukan untuk Semua. Targetnya, pada 2030, semua orang di dunia sudah menggunakan energi dari sumber-sumber terbarukan. Penetepan target ini bertujuan untuk meningkatkan kesadartahuan tentang pentingnya mengoptimalkan akses terhadap energi berkelanjutan, efisiensi energi, serta penggunaan energi terbarukan. Isu energi berkelanjutan ini kian mengemuka di ranah global, terlebih lagi dengan menculnya kemrosotan ekonomi dan masalah perubahan iklim.
Energi berkelanjutan sendiri didefinisikan sebagai pemanfaataan sumber-sumber energi yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengesampingkan kebutuhan generasi mendatang. Saat ini, sebagian besar suplai energi didapat dari sumber energi fosil yang tidak berkelanjutan. Pemanfaatan energi berkelanjutan sudah selayaknya menjadi alternatif yang lazim dipertimbangkan bagi Indonesia.
Pada jamuan makan siang dengan Jakarta Foreign Correspondents Club (JFC) , Selasa (18/01), Menteri Perdagangan dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan menggarisbawahi pentingnya Indonesia untuk proaktif dalam menyikapi isu seperti perubahan iklim dan energi berkelanjutan. Salah satu solusi potensial bagi Indonesia untuk penggunaan energi ramah lingkungan tersebut adalah energi panas bumi.
Energi panas bumi adalah energi yang umumnya terletak di wilayah vulkanik atau wilayah yang terdapat banyak gunung api. Temperatur panas bumi bisa mencapai lebih dari 5.500°C. Dengan sebaran gunung api yang membujur dari Aceh hingga Sulawesi Utara, tidak mengherankan jika Indonesia menyimpan sekitar 40% potensi sumber panas bumi dunia, bahkan saat ini menduduki peringkat tiga dunia untuk produsen listrik panas bumi terbesar.
Pada Kongres Panas Bumi Dunia 2010 lalu di Bali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan rencana pemerintah Indonesia untuk membangun 44 pembangkit listrik panas bumi baru di tahun 2014. WWF pun melihat pentingnya pengembangan panas bumi dalam mendukung ketahanan energi nasional dan konservasi lingkungan. Maka pada 2011 lalu, WWF meluncurkan inisiatif “The Ring of Fire” dengan target yang sangat ambisius yakni meningkatkan produksi dan pemanfaatan panas bumi yang berkelanjutan hingga 300% pada 2020 di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Papua Nugini.
“Ring of Fire” selaras dengan visi provokatif WWF untuk pemenuhan 100 persen energi terbarukan pada tahun 2050. Program ini pun penting bagi Indonesia sebagai Negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia yang pemanfaatannya masih jauh dari optimal. ROF berupaya untuk mereplika sukses di Filipina yang telah berhasil mencukup 17 % kebutuhan energi nasionalnya melalui energi panas bumi.
“Indonesia baru memanfaatkan 4 % dari potensi panas bumi yang ada. Ini berarti pula, hanya 1.189 megawatt yang telah dimanfaatkan dari potensi 28.000 megawatt yang ada,” ungkap Koordinator Ring of Fire WWF-Indonesia Indra Sari Wardhani.
Pada 2015, ditargetkan akan ada dua proyek percontohan untuk pemanfaatan panas bumi yang berkelanjutan dan mendukung upaya konservasi di wilayah kerja WWF-Indonesia di Sumatera.
Dalam pencapaian target tersebut fokus kegiatan WWF adalah akselerasi reformasi sektor energi yang mengarah pada pasar yang berkelanjutan dan kondusif bagi pengembangan panas bumi. Ruang lingkup kegiatan yang dilakukan WWF adalah kebijakan energi dan lingkungan, aspek-aspek yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan, isu ekonomi dan pendanaan, pembangunan kapasitas dan juga peningkatan kesadartahuan seluruh elemen masyarakat.
Bila dibandingkan dengan batubara, panas bumi memiliki banyak keuntungan baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Dari sisi ekonomi komponen biaya produksi PLTP jauh lebih murah karena tidak ada komponen biaya bahan bakar serta resiko fluktuasi biaya akibat harga bahan bakar yang tidak stabil dan cenderung meningkat.
Dari sisi lingkungan, PLTP lebih ramah lingkungan karena emisi yang dihasilkan sangat rendah yaitu sekitar 180 Kg/MWh, lima kali lebih rendah dibandingkan emisi yang dihasilkan PLTU yang hampir mencapai 1000 Kg/MWh
Dalam jangka panjang keberlanjutan PLTP lebih terjamin mengingat panas bumi merupakan energi yang terbarukan. Bila diakumulasi secara total dari hulu hingga hilir, area lahan yang dibutuhkan untuk PLTP lebih efisien yaitu 0,4 – 3,2 hektar per Megawatt dibandingkan PLTU yang mencapai 7,7 hektar per Megawatt.