KERANG HIJAU, BIBITNYA DARI ALAM
Oleh: M. Hatala Rustam
Perna viridis atau green mussels atau yang lebih dikenal dengan kerang hijau, merupakan salah satu jenis kerang yang banyak dipasarkan. Kerang hijau hidup pada daerah perairan estuari, teluk, dan daerah mangrove dengan substrat pasir berlumpur serta salinitas yang tidak terlalu tinggi. Kerang hijau menjadi salah satu komoditas yang ramai dibudidayakan karena caranya yang tidak terlalu sulit. Selain itu, kerang hijau mampu bertahan hidup dan berkembang biak pada tekanan ekologis yang tinggi tanpa mengalami gangguan dan tanpa diberi pakan.
Pembudidaya kerang hijau banyak ditemukan di pantai utara Jawa, seperti di Jakarta dan Banten, karena struktur perairan yang berpasir dan berlumpur. Salah satu kawasan yang terdapat banyak pembudidaya kerang hijau adalah Tanjung Kait, terletak di Desa Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Bibit kerang hijau sendiri berasal dari alam sehingga para pembudidaya tidak perlu repot untuk membudidayakan kerang hijau. Mereka cukup membuat keramba dengan bambu dan tali tambang untuk dijadikan media tumbuh kerang hijau dan menunggu hingga waktu panen tiba.
Tanjung Kait kurang dikenal sebagai salah satu kawasan budi daya dibandingkan dengan daerah lainnya, seperti Panimbang yang juga berada di Provinsi Banten. Namun berdasarkan informasi pembudidaya dan pengepul di Tanjung Kait, hasil panen kerang hijau mencapai angka 1-3 ton per hari. Kerang-kerang tersebut dipasarkan hingga keluar Banten, terutama ke Pasar Muara Angke dan Cilincing di Jakarta serta Pantai Losari di Cirebon. Menurut Salah seorang pembudidaya yang juga ketua kelompok budidaya kerang hijau, Tanjung Kait merupakan salah satu lokasi budi daya terbesar kerang hijau di Indonesia.
Para pembudidaya menempatkan kerambanya sekitar 100m dari bibir pantai dengan keramba tancap. Di tepi pantai sendiri tak ada pemukiman penduduk, hanya terdapat warung-warung makan karena kawasan ini juga dijadikan tempat wisata tiap akhir pekan. Akibat aktivitas wisata yang tidak diawasi dengan baik, sampah plastik banyak ditemukan berceceran di tepi pantai di sekitar perairan Tanjung Kait. Selain itu, kendala lainnya yang dihadapi adalah cuaca, hampir sama dengan pembudidaya kerang hijau di lokasi lainnya, Hal ini terjadi ketika musim timur membuat keramba rusak karena badai. Di luar itu, kondisi lingkungan dan perairan di wilayah budi daya Tanjung Kait cukup baik karena tidak berada pada kawasan industri ataupun pelabuhan.
Sejauh ini budi daya kerang hijau mampu menjadi penopang ekonomi masyarakat di Tanjung Kait. Setiap pengepul rata-rata menyerap seratus tenaga kerja, yang rata-rata ibu rumah tangga, untuk proses memasak dan mengupas cangkang kerang hijau. Begitu juga dengan para pembudidaya ketika ingin memasang keramba ataupun saat panen, setiap pembudiaya mempekerjakan satu dengan lainnya secara terus-menerus sehingga aktivitas budi daya kerang hijau terus berjalan.
Para pembudidaya mengharapkan adanya perhatian serius dari pemerintah, khususnya Dinas Kelautan Perikanan (DKP) setempat agar para pembudidaya di Tanjung Kait mampu mempertahankan budi daya kerang hijau. Mereka juga membutuhkan pelatihan serta pengelolaan pasca panen, terutama pemanfaatan limbah cangkang yang menumpuk. Jika hal tersebut dapat berjalan dengan baik, kerang hijau bisa lebih dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi masyarakat baik di Tanjung Kait maupun di lokasi budi daya kerang hijau lainnya.
Saat ini WWF-Indonesia mengembangkan Panduan Praktek Perikanan yang Baik (Better Management Practices-BMP) Kerang Hijau (Perna viridis) untuk mendukung adanya produk kerang hijau yang diperoleh dari lokasi yang tidak tercemar dan aman dikonsumsi publik. Selain itu, pengelolaan kawasan budidaya Kerang Hijau dapat diorganisir dalam bentuk kelompok dengan adanya poin penguatan kelembagaan yang dapat bermanfaat untuk kerjasama dalam mengatasi persoalan budidaya, serta dapat memfasilitasi pembudidaya dalam penyediaan sarana teknis dan pemasaran hasil panen.
