JON HENDRA, MANTAN PEMBALAK LIAR YANG MENJADI SALAH SEORANG ANGGOTA TPU
Oleh: Syamsidar
Jon Hendra atau yang akrab dipanggil Hendra merupakan salah seorang anggota TPU (Tiger Protection Unit) di WWF Program Riau. Ia bergabung dengan WWF pada Agustus 2004. “Awalnya sih mau coba-coba saja ikut test di WWF karena waktu itu lagi tidak punya kerjaan tetap”, kata Hendra. Walaupun fisiknya termasuk kecil dibanding para kandidat lain, Hendra dengan bersemangat mengikuti test penerimaan anggota TPU yang dilaksanakan oleh WWF dengan harapan jika diterima bekerja di WWF dia akan mendapatkan banyak pengalaman baru.
Sebelumnya, Hendra sudah cukup banyak berinteraksi dengan staf WWF yang melakukan survei di sekitar desanya. Desa Situgal adalah salah satu desa di sekitar hutan Tesso Nilo yang termasuk dalam Kabupaten Kuantan Singingi. Dari desa inilah dia berasal dan mengenal sedikit tentang WWF. Desa ini dari dulu memang cukup sering dikunjungi oleh staff WWF yang melakukan survei di hutan Tesso Nilo.
Lelaki berumur 26 tahun ini dulunya merupakan seorang pembalak liar tepatnya menjadi toke kayu. Kayu-kayu hasil tebangan kelompoknya kemudian dijual ke sejumlah sawmill yang pada tahun 2000- 2003 banyak terdapat di sekitar Tesso Nilo. Ia mengaku dapat hidup senang dengan hasil yang diperolehnya dari menjual kayu tersebut apa lagi pada saat itu bisnis ini aman dari pantauan petugas. Tapi pekerjaan ini dilakukannya karena ia tidak punya pilihan pekerjaan lain pada waktu itu akunya, sementara kebanyakan penduduk desa melakukan hal yang sama. Janji untuk mendapatkan duit dengan gampang dari hasil menjual kayu ini membuatnya terlibat pada kegiatan ilegal ini selama hampir tiga tahun. Seingatnya pada waktu itu tidak ada razia atau operasi terhadap kegiatan ilegal ini oleh petugas sehingga kelompoknya tidak pernah mengalami masalah yang berarti dalam melakukan kegiatan ini.
Kesadaran Hendra akan pentingnya menjaga hutan lambat laun tumbuh dalam jiwanya setelah bergabung dengan WWF. Ia menyadari bahwa hutan dan isinya perlu dijaga untuk kehidupan jangka panjang. Sekarang ketika menyaksikan penebangan liar, perambahan dan kebakaran hutan dalam rutinitasnya menjelajah hutan Tesso Nilo untuk memonitor ancaman terhadap harimau Sumatera dan habitatnya, hatinya merasa sedih. Ia menyesal dahulu telah pernah melakukan kegiatan pembalakan liar. Dia berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahan perambahan di Tesso Nilo yang mengancam keutuhan kawasan tersebut.
Hatinya begitu miris melihat hutan Tesso Nilo telah beralih fungsi menjadi kebun sawit dan pemukiman. Dalam tugasnya ia sering menemukan tanda-tanda keberadaan harimau tersebut di lokasi perambahan dan perkebunan HTI. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi ini karena potensi konflik manusia-harimau sangat tinggi yang dapat berakibat jatuhnya korban bagi kedua belah pihak baik harimau ataupun manusia.
“Hutan sudah berganti dengan pemukiman dan kebun sehingga aktifitas manusia sudah tumpang tindih dengan daerah jelajah harimau,” katanya. Dia sangat mengkhawatirkan kalau permasalahan yang menyebabkan kondisi ini tidak segera ditangani. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada harimau dan manusia khususnya masyarakat di pinggir hutan jika hutan sudah tidak ada. Sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukannya adalah ia tetap semangat memberi pengertian kepada warga desanya untuk tidak merambah hutan Tesso Nilo yang menjadi penyangga kehidupan desanya dan kehidupan yang lebih luas.