HIU TANPA SIRIP PUN TETAP DIBURU DEMI OMZET YANG BESAR
Oleh Ranny Ramadhani Y
Muara Angke, pelabuhan ikan yang berada di Jakarta Utara ini pada sekitar tahun 1960 sampai 1990-an menjadi pusat para nelayan dan pengelola ikan tradisional (PHPT –Pengelolaan Hasil Perikanan Tradisional) di Jakarta. Selain itu, terdapat pula pengelola industri kecil hiu dan pari di Muara Angke. Kebanyakan sumber bahan baku hiu didapatkan dari Surabaya, Sidoarjo, Cirebon,dll. Hiu dan pari yang didapat beratnya bisa mencapai 10 hingga 50 ton (berat 1 hiu dewasa sekitar 40kg) per bulan yang berasal dari bongkaran kapal nelayan serta gudang Kapuk, Jakarta Utara. Beberapa hiu yang didapat nelayan biasanya sudah dalam keadaan tidak bersirip sehingga kebanyakan para nelayan hanya mengolah tubuh dan kulitnya. Proses pengolahannya, yaitu dengan memotong tubuh hiu atau pari, kemudian digarami dan dikeringkan di bawah sinar matahari, lalu dijual kesekitar Bandung, Garut, Bogor, dan kota lainnya. Harga beli dari pengepul ke nelayan sekitar Rp 6.500 – Rp 28.500 per kilo dan harga jual dari pengepul sekitar Rp 17.000 sampai Rp 170.000 per kilo. Omzet yang didapat juga tidak main-main, dari 100 juta sampai 1,5 milyar rupiah.
Populasi hiu telah berkurang cukup signifikan sejak beberapa decade terakhir dan masuk ke dalam Apendiks II CITES . Hiu juga menjadi puncak predator dalam rantai makanan sehingga ekosistem bawah laut akan terganggu apabila terus terjadi penangkapan hiu yang tidak bertanggung jawab. Berdasarkan buku “Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya Konservasinya di Indonesia” tahun 2013 setidaknya terdapat 14 hiu di Indonesia yang menjadi perhatian khusus dikarenakan populasinya terus menurun dan terancam punah sehingga sangat diperlukan regulasi untuk perlindungan hiu dan pari agar tetap seimbang populasinya di laut. Mengingat hiu hanya menghasilkan 1-10 bayi hiu per 2-3 tahunnya.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Bapak Basuki T. Purnama (Ahok) pun telah mendukung perlindungan hiu di DKI Jakarta dan secara resmi menjadi duta kampanye WWF #SOSharks. Pada dasarnya, para pengelola hiu dan pari di Muara Angke sudah pernah mendapatkan penyuluhan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentang hiu dan pari yang dilindungi. Namun yang menjadi kendala adalah apabila hiu yang datang telah dipotong-potong sehingga sulit untuk mengidentifikasi apakah hiu tersebut merupakan hiu yang dilindungi atau tidak. Menurut pengakuan beberapa pengusaha, mereka tidak akan mengelola pari manta (ocean/reef manta) karena menurutnya mereka akan mendapat sial apabila mengelolanya.
Salah satu solusi dalam menjaga kelestarian hiu dan pari adalah dengan menjaga habitat penting hiu dan pari tersebut dalam siklus hidupnya, yaitu dengan mendorong adanya pembentukan shark sanctuary. Namun hal ini perlu adanya dukungan dari berbagai pihak. Mulai dari pemerintah, para pelaku industri pengelolaan hiu dan pari, para nelayan, LSM, hingga masyarakat. Sebagai masyarakat, kita dapat mendorongkan adanya regulasi yang jelas tentang perlindungan dan pengelolaan hiu dari pemerintah, seperti yang telah ditetapkan pada pari manta dengan diberlakukannya perlindungan penuh pada 2 jenis pari manta (Manta birostris dan Manta alfredi) yang tertuang pada KEPMEN KKP NO. 4 tahun 2014, serta tidak lagi mengonsumsinya. Walaupun begitu, juga harus ada solusi bagi para pelaku industri pengelolaan hiu serta nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hiu dan pari. SAVE OUR SHARKS!