TETAPKAN KANTOR CABANG DINAS KKP ALOR, PEMERINTAH PERHATIKAN ISU KONSERVASI
(Kalabahi, Alor - 9/5/2019) Keberadaan kawasan konservasi perairan (KKP) Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya di Kabupaten Alor ini bertujuan untuk mengelola pemanfaatan sumber daya kawasan secara lestari dari segi perikanan, pariwisata, pendidikan, perhubungan, penelitian dan kegiatan lain. Kawasan ini telah ditetapkan pada tahun 2015 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pasca penetapan, tahapan selanjutnya adalah ditetapkannya Kantor Cabang Dinas (KCD) Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai pusat pengelolaan KKP di Alor pada Januari 2019.
“Ke depannya, urusan mengenai kegiatan perizinan, pengelolaan ruang laut dan konservasi, serta pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dapat berkoordinasi dengan KCD Alor,” jelas Muhammad Saleh Goro – Kepala KCD Kabupaten Alor. Keberadaan KCD Alor diharapkan dapat mendekatkan pelayanan dan jangkauan tugas pelaksanaan dari Dinas Kelautan Perikanan Provinsi NTT berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. KCD di Alor spesial karena merupakan KCD KKP yang ditetapkan di kabupaten kepulauan, berbeda dengan KCD Flotim-Sikka-Lembata yang berada dalam satu bagian di Flores.
Dalam pembukaan pertemuan Sosialisasi KCD Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT di Kabupaten Alor dan Diseminasi Hasil Pemantauan Pemanfaatan Sumber Daya (Resource Use Monitoring/RUM), 9 Mei 2019 di Hotel Pulo Alor. Bupati Alor, Amon Djobo, menyampaikan dukungan terhadap keberadaan kawasan konservasi. “Kita perlu merakit data untuk jadi dasar peletakkan program. Potensi rumput laut cukup luas, juga konservasi dugong di Pulau Sika serta Baranusa – ini merupakan nilai tambah untuk daerah,” ujarnya.
Kepala KCD juga menyampaikan tentang kerja sama antar-kewenangan di Alor, misalnya dari segi pariwisata di laut. Secara kewenangan Pemerintah Kabupaten dapat mengelola pariwisata di darat, sementara Pemerintah Provinsi mengelola KKP (Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 21 Tahun 2018). Ke depannya, perlu adanya duduk bersama untuk menentukan pembagian pendapatan di KKP.
Kolaborasi sebagai Solusi Pengelolaan
Menurut Alexander S. Tanody, Dewan Konservasi Perairan Provinsi NTT, ada ruang bagi semua pihak terlibat dalam kemitraan dan kolaborasi. “Konservasi merupakan sebuah alat untuk mengelola, untuk menjaga alam agar dapat lestari. Berdasarkan kajian ilmiah, dengan melindungi 30% sumber daya yang kita miliki, dapat memulihkan yang ada untuk keberlanjutan,” ujarnya.
Beliau juga menyampaikan bahwa pengelolaan KKP memiliki misi agar dapat mendukung kesejahteraan masyarakat, pembangunan daerah, kelestarian lingkungan. “Masyarakat kaya, lingkungan lestari, pembangunan berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari konservasi. Karena kalau masyarakat masih merusak (khususnya dalam melakukan penangkapan ikan dan berwisata) tidak akan berdampak baik”.
KKP yang ada di Kabupaten Alor memiliki cakupan kerja lintas bidang. Tujuannya agar ada pengelolaan yang baik dari segi perikanan, pariwisata, spesies penting yang dilindungi, juga pendidikan. “Oleh karena itu dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah, dibutuhkan adanya jejaring dan kemitraan pengelolaan. Cara utamanya adalah kolaborasi, perlu adanya jejaring antar bidang, antar stakeholders. Pemberdayaan lewat CSR dengan lembaga swadaya masyarakat/LSM, dive operator dan tour guide” sambung beliau.
Salah satu bentuk kolaborasi yang tengah dilakukan adalah, dengan terlaksananya RUM di SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya, Kabupaten Alor pada 21-23 Maret 2019 lalu. Pemantauan dilakukan di dalam dan luar kawasan konservasi. Tim terdiri antar instansi di wilayah Kabupaten Alor dan Provinsi NTT, yaitu TNI AL, DKP NTT, BBKSDA NTT, DKP Alor, Polairud Alor, Universitas Tribuana Kalabahi, Pokmaswas Desa Pante Deere, Pokmaswas Kelurahan Kabola, Pokmaswas Desa Munaseli, dan WWF-Indonesia.
“Pemanfaat sumber daya bergerak yang tercatat adalah 43 nelayan di dalam kawasan konservasi. Tidak ditemukan wisatawan baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi,” jelas Veronica Louhenapessy, Fisheries Officer Alor WWF-Indonesia dalam pemaparannya. Pemantauan dilakukan pada delapan trek sepanjang 30 km di dalam kawasan konservasi perairan, dan 1 trek di luar kawasan. “Berdasarkan pemantauan, jenis armada/kapal yang paling banyak digunakan (nelayan) adalah perahu tanpa mesin. Armada lainnya adalah kapal <7 GT, 2-3 GT, dan 1-2 GT. Jenis alat tangkap yang digunakan adalah hand line (pancing) dan pancing dasar”. Dalam pemantauan, ditemukan pula sebanyak 46 rumpon dan 19 bagan apung, juga adanya kegiatan budidaya mutiara.
Masih ada beberapa pelanggaran yang terjadi selama kegiatan pemantauan. Ditemukan pelanggaran zonasi, pengambilan biota laut dilindungi (kima), dan penggunaan kompresor sebagai alat bantu penangkapan ikan. Pembinaan terhadap pelaku pelanggaran tersebut telah dilakukan oleh anggota tim pemantauan yang memiliki kewenangan.
Selain sebagai salah satu alat untuk melakukan pengawasan di SAP Selat Pantar dan Laut sekitarnya, kajian RUM ini bermanfaat juga untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat terkait kawasan konservasi. Salah satu rekomendasi dari adanya kajian ini adalah meningkatkan pemahaman masyarakat terkait kawasan konservasi SAP Selat Pantar dan sekitarnya.
Tantangan Pengelolaan
Sebagai bagian dari tim pemantauan pemanfaatan sumber daya di SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi. “Pemahaman masyarakat mengenai keberadaan kawasan konservasi masih terbatas, masih membutuhkan sosialisasi menyeluruh. Pemantauan (ke depannya) harus dilakukan secara rutin, perlu penanganan bersama. Kolaborasi juga perlu dilakukan dengan aparat penegak hukum – Polair dan TNI AL, agar apa yang terjadi di lapang dapat ditangani” ujar Rasid R. Hans – PSDKP Kupang.
Kurangnya pengetahuan mengenai zonasi yang ada di kawasan konservasi, juga dikonfirmasi oleh Kepala KCD Alor. “Sport fishing masih banyak dilakukan di Pulau Rusa, padahal lokasi tersebut merupakan zona inti – zona perlindungan mutlak dan penelitian”. Terdapat 4 zona yang terdapat di kawasan konservasi perairan SAP Selat Pantar dan laut sekitarnya, yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan pariwisata, dan zona lainnya (perlindungan).
Solusi yang dapat kita lakukan adalah mengadakan pertemuan rutin. “Internal pemerintah kabupaten harus saling bertemu, kita jadwalkan peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan kuatkan komitmen dalam menjalankan kewenangan,” tegas Jasril Sinaro, Komandan Pos TNI AL Kalabahi. Agenda ini dinilai sangat diperlukan oleh para peserta pertemuan, mengingat terdapat banyak hal yang harus disepakati dan dilaksanakan untuk pengelolaan kawasan konservasi Alor yang lebih baik. “Keberadaan kawasan konservasi akan dapat bermanfaat sepenuhnya, jika misi utama terlaksana: masyarakat kaya, lingkungan lestari dan pembangunan berjalan,” tutup Alexander Tanody.