WWF DAN FKP UNIVERSITAS UDAYANA LATIH PENDATAAN SAMPAH LAUTAN DI PESISIR LABUAN BAJO, WAKATOBI, & MAKASSAR
Oleh: Made Putri Karidewi (Plastic Free Ocean Program, WWF-Indonesia)
Baca Sebelumnya: Membangun Jaringan Citizen Science untuk Kolaborasi Tangani Sampah Lautan Indonesia
“Menangani sampah dengan mendatanya, adalah kunci untuk pengelolaan yang lebih baik ke depannya,” Bapak Drs. Yance Usman, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Manggarai Barat, membuka langsung Pelatihan Survei Citizen Science dan Pendataan Sampah Plastik Lautan di Labuan Bajo (5-6/04/2018).
Labuan Bajo adalah kota pembuka dalam rangkaian pelatihan yang WWF gelar bersama komunitas Marine Debris Guard Udayana dan peneliti Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana, Bali. Dua wilayah lainnya yang juga kami datangi adalah Wakatobi dan Makassar. Rangkaian pelatihan ini adalah salah satu upaya dalam mempersiapkan terbentuknya jaringan citizen science.
Siang itu, di Pantai Pede, Labuan Bajo, sebanyak 22 peserta yang terdiri dari Balai Taman Nasional Komodo, instansi pemerintah, pelaku pariwisata, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, praktisi lingkungan, serta masyarakat umum Labuan Bajo mempraktikkan pendataan sampah.
“Metode yang dikembangkan oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO) Global Plastic Pollution Project, Australia, menggunakan desain sampling acak (stratified random sampling). Survei dengan metode ini dapat menemukan kepadatan sampah yang jauh lebih tinggi,” terang Dr. I Gede Hendrawan, peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana.
“Metode CSIRO bertujuan untuk mengukur kebocoran sampah plastik yang ditemukan di pesisir pantai dengan menggunakan sistem transek,” lanjut ia. Transek berarti garis atau jalur untuk mengetahui dan mengamati persebaran atau keterdapatan sampah sepanjang suatu daerah.
“Di tiap titik pengamatan, kita catat jumlah dan jenis sampah yang ditemukan . Transek dilakukan dengan berjalan dari tepi air laut ke arah daratan hingga 2 meter di belakang dimulainya deretan vegetasi dekat pantai dan inilah yang disebut sebagai panjang transek. Panjang transek ini kemudian dibagi menjadi 10 untuk menentukan interval.,” jelasnya lagi.
Sedangkan untuk lebar transek adalah 2 meter, 1 meter di sisi kiri dan 1 meter di sisi kanan. Metode ini dapat memberikan gambaran sebaran sampah laut di suatu wilayah pantai dengan cepat, tepat, dan pada satu lokasi survei hanya memerlukan 3 – 4 orang surveyor.
Perbedaan utama metode ini dengan metode lainnya adalah survei ini bisa mencakup sampah yang berukuran sekecil 1 – 2 mm (0.1 – 0.2 cm) dimana metode lainnya tidak mencatat sampah yang ukurannya lebih kecil dari 1 inci (25 mm). Survei sampah dilakukan minimal sebanyak 3 kali transek dan maksimal sebanyak 6 kali transek dengan jarak dari masing-masing transek sepanjang 50 meter.
Terdapat 5 bagian lembar kerja yang perlu diisi oleh pengamat, yaitu Coastal Site Survey, Coastal Transect Data, Items List, Debris Size Chart, dan Brand of Product. Data hasil pencatatan sampah kemudian diinput ke dalam file excel yang dilengkapi dengan formula untuk menghasilkan diagram lingkaran yang berisi persentase komposisi dari masing-masing kategori dan jenis sampah.
Data lainnya adalah konsentrasi sampah yang berisi informasi mengenai jumlah sampah per meter persegi. Disamping itu juga tersedia data mengenai merek produk dari sampah yang didata. Untuk yang satu ini merupakan hasil penambahan atau modifikasi terhadap metode tersebut mengingat keberadaan informasi ini sangatlah penting. Hasil tersebutlah kemudian menjadi sistem database yang manfaatnya bisa digunakan untuk beragam kepentingan.
Dari pengamatan pada transek yang dilakukan oleh peserta pelatihan, ditemukan bahwa dari total 382 sampah, 16% merupakan hard plastic, 47% soft plastic, 1.3% plastic straps. Sisanya adalah logam, kaca, karet, kain, kertas, dan lainnya. Rata-rata konsentrasi sampah yang ditemukan adalah 3.12 sampah/m2, yang mengindikasikan Pantai Pede tergolong masih kotor.
Tak hanya di Labuan Bajo, pelatihan ini disambut baik di Kecamatan Wangi-wangi, Wakatobi (28/06/2018) dan Makassar (30/06/2018). Di Wakatobi, 31 peserta pelatihan menemukan bahwa sama dengan Labuan Bajo, sampah di Pantai Cemara, Desa Wa Pia Pia, didominasi oleh plastik, sebanyak 16% hard plastic, 35% soft plastic, dan 2% plastic straps. Bedanya, Pantai Cemara tergolong cukup bersih dengan rata-rata konsentrasi sampah di setiap titik pengamatan yaitu 0.66 sampah/m2.
Makassar punya cerita yang sama. Sebanyak 42 peserta yang terdiri dari instansi pemerintah, pelaku pariwisata, lembaga swadaya masyarakat, media cetak, dan masyarakat menemukan bahwa di Pantai Biru, Makassar, didominasi oleh plastik - 7% hard plastic, 48% soft plastic, 4% plastic straps. Dengan rata-rata konsentrasi sampah 1.29 sampah/m2, Pantai Biru tergolong masih cukup bersih.
Rangkaian pelatihan ini belum berakhir. Siapapun Anda, baik individu maupun organisasi yang bersedia untuk ikut terlibat berkontribusi dalam kegiatan survei dan pemantauan sampah plastik lautan di Indonesia, dapat mencoba praktikan metode ini dalam kegiatan bersih pantai di kotamu.