TELUK CENDERAWASIH, ANTARA HUKUM ADAT DAN HUKUM MODERN
Salah satu resolusi saya ditahun 2015 adalah terus mendampingi masyarakat dalam segala kegiatan konservasi, sehingga keterlibatan publik tentang isu konservasi akan terus meningkat. Dalam hal ini, akhirnya saya sadar bahwa hukum adat sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat Papua.
Selepas bekerja di kantor, saya berkendara ke sekitar area pelabuhan yang menjadi lokasi anak muda Wasior biasa nongkrong dan menanti senja. Pemandangan indah matahari terbenam di balik Gunung Wamesa kali itu terganggu dikala mata saya tertuju pada bayangan tanah di sebagian tanjung yang telah dipotong sehingga terlihat seperti sepotong roti coklat raksasa di atas lautan.
Pembukaan lahan di seberang itu sudah lama mengganggu pikiran saya. Tepat di sana terjadi pembukaan lahan oleh sebuah perusahaan kayu sejak 2 tahun terakhir, tepatnya di sekitar kampung Dusner, salah satu kampung yang terletak di Kabupaten Teluk Wondama di Distrik Kuri Wamesa. Kampung Dusner kini terbagi menjadi 2 yakni Kampung Mandarisi dan Siwo Sawo.
Di Kampung Dusner ini, WWF Indonesia bekerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC) telah melakukan sosialisasi zonasi dan penyadartahuan tentang pengelolaan lingkungan secara lestari. Dengan Kapal Gurano Bintang, kami secara rutin menandangi desa-desa di sekitar TNTC untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan mengenai konservasi lingkungan serta fasilitas-fasilitas kesehatan sederhana.
Kembali ke Jalan yang Beradat
Beberapa bulan lalu, kami dari pihak WWF Indonesia diundang oleh Lembaga Masyarakat Adat Nusantara (LMAN) untuk menghadiri sidang adat gugatan salah satu marga di Kampung Dusner terkait kegiatan reklamasi pantai yang dilakukan perusahaan kayu tersebut. Akhirnya setelah sekian lama, kesempatan memberikan sentakan manis ke pemilik hak ulayat tersebut datang juga.
Diskusi panjang pada persidangan akhir sangat penuh perdebatan terkait silsilah tanah tersebut yang tidak berujung pada satu kesepakatan. Walau ada satu dari tetua yang berusaha menengahkan, namun perdebatan terus terjadi sampai pada usulan untuk melakukan upacara “Belah Bambu”.
Belah bambu merupakan salah satu cara penyelesaian masalah kuno disaat tidak mendapatkan hasil yang mufakat, upacara ini dipercaya untuk menentukan siapa yang salah dan siapa pihak yang benar. Prosesi sakral ini dilakukan melalui doa-doa leluhur dan sangat penting bagi masyarakat adat karena beresiko kematian pada pihak yang ditetapkan salah.
Ketua LMAN diakhir persidangan memberikan penjelasan tentang konservasi dan memberikan kesempatan kedua belah pihak marga untuk berunding agar tidak secara gegabah melakukan prosesi adat. Saya juga menitipkan beberapa dokumen kepada ketua LMAN mengenai konservasi sebagai acuan dalam diskusi selanjutnya.
LMAN juga berpendapat bahwa tanah adat adalah hak penuh masyarakat adat sehingga aturan pemerintah dan aturan modern lainnya akan dibahas setelahnya. Pada sidang terakhir saya juga mengatongi aturan konservasi no 5 tahun 1990 dengan melingkari pasal 19 dan buku zonasi TNTC sebagai senjata saya mengemukakan pendapat kepada para tetua adat.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa sekuat apapun aturan pemerintah atau modern lainnya, jika tidak sesuai keinginan masyarakat maka akan sulit diberlakukan. Aturan modern sangat perlu diintregasikan dalam aturan adat dan pentingnya keberadaan seorang tetua adat yang mengerti tentang aturan konservasi, sehingga melalui beliau aturan modern dapat sejalan dengan pola dan kebiasaan masyarakat adat yang sudah turun temurun.
Semoga dengan adanya diskusi ini, saat saya kembali ke pelabuhan itu tidak ada lagi pemandangan yang menyerupai roti coklat raksasa, melainkan sudah terganti dengan hamparan hijau yang luas di atas lautan biru.
Penulis: Feronika Manohas - Community Outreach and Development Coordinator