DI ANTARA SAGU, IKAN ASIN, DAN SEKOLAH.
Oleh Feronika Manohas, staff WWF-Indonesia yang bertugas di area Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua Barat. Sehari-hari menjalankan tugas sebagai staff penjangkauan komunitas dan masyarakat untuk pemberdayaan dan edukasi. Kontak fmanohas@wwf.or.id
“Pentingkah sekolah jika di kuali sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan?” tanya seorang bapak di balik jendela rumahnya ketika ditanya kenapa anak perempuan ketiganya tidak lagi meneruskan pendidikannya di SMP (Sekolah Menengah Pertama). Sang anak perempuan itu hanya tertunduk di balik senyum penyesalan kenapa harus “dia” yang terpilih untuk tidak melanjutkan sekolah ketika kedua kakak-kakaknya bisa menikmati pendidikan lebih tinggi di pulau seberang?.
Foto: ilustrasi oleh Aulia Rahman
Sebut lah Ansamina namanya, setelah ditanya lagi ternyata Ansamina merupakan anak ke-tiga dari tujuh bersaudara, apakah ini kemalangan atau memang takdirnya harus membantu orang tuanya menjaga adik-adiknya yang sebagian masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sebagiannya masih balita. “Kaka… bapa bilang sa’ tra usah sekolah sudah karena mama sementara sakit dan trada orang yang bantu bapa jaga ade-ade!” (Kakak, bapak bilang ke saya supaya tidak usah sekolah karena mama sedang sakit dan tidak ada yang membantu bapak menjaga adik-adik – red). Ansamina hanya bisa pasrah dengan keadaan yang secara nyata dia hadapi.
Keluarga Ansamina hanya bergantung hidup dari menjual ikan dan mengambil sagu sebagai makanan sehari-hari yang sebagian dijual untuk membiayai kedua kakaknya yang sedang sekolah di SMU Wasior, Kabupaten Teluk Wondama.
Foto: Ilustrasi oleh Aulia Rahman
Biaya sekolah di kota saat ini tidak lah murah untuk seorang murid yang berasal dari keluarga nelayan sementara mereka harus tinggal jauh dari orang tuanya sehingga biaya makan di rumah pun terbagi. Di kota mereka harus memakan nasi (harga beras termurah Rp.10.000/kg) belum lagi lauk pauk yang harus dibeli, seragam sekolah, buku tulis, alat tulis, baju olah raga, sepatu, dan berbagai macam kebutuhan mendesak yang terkadang membuat “sakit kepala” para orang tua nelayan dan peramu sagu.
Lain lagi dengan kisah Selina seorang anak dari orang tua yang kesehariannya hanya mengharapkan hasil pemasangan jerat di hutan. “Kaka, bapa tra cukup uang jadi sa’ tra bisa mendaftar sekolah SMU di Wasior” kata Selina ketika ditanya kenapa dia tidak sekolah saat lulus SMP di Yeretuar.
Kenapa hal ini bisa terjadi?. Apakah laut dan hutan sudah tidak mampu memberi nafkah bagi manusianya?. Ataukah mungkin dulu sekolah murah dan tidak begitu penting maka kebutuhan uang tidak terlalu banyak sehingga hasil laut dan hutan selalu cukup bagi semua?
Kenyataannya kini setiap nelayan yang bermodalkan perahu dayung dan mata kail hanya bisa menyapu dada dan menjerit di dalam hati ketika hasil tangkapannya ditukarkan uang pada pengumpul-pengumpul ikan dikampungnya, seakan ingin berontak, tidak bisa lebih mahalkah lagi ikan yang mereka bawa tersebut?. Sudah seharian para nelayan mendayung di bawah panas dan berbekal “Sinole” (makanan lokal – red) mulai dari matahari belum muncul hingga matahari sudah tidak bersinar lagi mereka terus mencari ikan namun hanya Rp. 50.000,- yang alam bisa kasih buat mereka?. Belum lagi membeli beras buat sang balita, minyak tanah untuk pelita, serta gula dan kopi setidaknya untuk sarapan mereka pagi hari sebelum bertarung lagi dengan laut. Bagaimana bisa cukup untuk anak tertua yang sekolah di kota?. Berjuta pertanyaan terngiang di benaknya apalagi yang harus mereka lakukan?. Sementara semuanya di sana sangat mahal. Perlu lebih jauh lagi kah mereka mencari ikan atau pekerjaan apalagi yang bisa mereka kerjakan saat ini dengan bekal “tanpa ijazah” agar bisa menyekolahkan anak –anak mereka?.
Dulu mereka tidak perlu sekolah untuk hidup, cukup pengetahuan memancing dan memasang jerat yang orang tua ajarkan, mampu menghidupkan mereka saat itu. Cukup makan ikan dan sagu bakar saja mereka sudah bisa hidup.
Dulu ikan dan hewan-hewan di hutan sangat banyak dan cukup untuk mereka makan dan berpesta, tapi sekarang kenapa semuanya hilang?. Ke mana ikan-ikan besar dan banyak itu pergi?. Apakah karena ada kapal-kapal jaring dan kompresor masuk membuat ikan-ikan jinak itu pergi?. Apakah karena sekarang ada yang berburu dengan menggunakan senapan sehingga rusa dan babi di hutan mulai berkurang?.
Hidup mulai sulit saat ini, para nelayan tidak bisa terus berharap dari laut dan para pemburu tidak bisa lagi berharap dari hasil buruannya di hutan.
Saat ini juga tidak sedikit anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah dasar (saat ini tanpa biaya) mengikuti orang tuanya berminggu – minggu di pulau – pulau terluar untuk bekerja atau setidaknya menjaga adiknya saat para ayah mencari ikan dan sang ibu meramu sagu untuk bahan makan sebulan kedepan. “Kami hanya bawa satu minggu saja nanti minggu depan saja dia sekolah!” kata sang ibu memberikan alasan kepada guru kelasnya.
“Saat ini untungnya, ada kegiatan pembangunan jalan, drainase, dan sekolah, serta rumah rakyat, jadi kami bisa kerja jadi buruh di proyek-proyek itu terus dapat uang sedikit untuk anak-anak sekolah di kota!” kata Pak Amos dari Goni. Akan tetapi sampai kapan proyek-proyek pembangunan itu mampu memberikan gaji kepada mereka?.
Terkadang sang anak harus mengalami putus sekolah dan kembali ke kampung untuk menjadi nelayan seperti orang tuanya karena sudah tidak mampu memerangi hidup di kota, “Saya sudah semester tujuh di Universitas Manado ambil jurusan bahasa inggris, sa’ berusaha bertahan tapi tidak mampu karena orang tua sudah tidak bisa kirim uang lagi selama enam bulan buat saya, terpaksa sa’ begini sudah.” keluh Pak Frans Marani dari kampung Goni.
Sekolah menjadi tidak penting lagi jika perut tidak bisa diisi dengan kebutuhannya. Laut menjadi milik mereka yang memiliki modal besar dan hutan hanya menjadi saksi ketidakmampuan manusia di dalamnya.
Manusia mulai serakah karena semuanya semakin terdesak!. Nelayan dihantui rasa takut tidak mendapatkan ikan maka segala cara dan upaya dilakukan untuk mendapatkan ikan dengan mudah dan banyak meski itu merusak dan tidak menjamin masa depan mereka.
Hutan dirambah bukan untuk memasang jerat berburu namun untuk diambil pohonnya yang nantinya bisa menghasilkan uang yang banyak saat itu, satu hektar, dua hektar, tiga hektar hingga tak ada lagi “pohon uang” tersisa.
Beruntung bagi mereka para orang tua yang memiliki hak ulayat (kepemilikan terhadap suatu wilayah) bisa menikmati uang saat itu untuk diambil atau dengan menyewakan lahannya kepada orang lain, namun bagi mereka yang tidak memiliki hak atas tanah atau pun laut hanya bisa terdiam dan berharap ada sedikit bagian tersisa untuknya.
Hidup semakin sulit, sagu, ikan asin, atau sekolah yang terpenting?.
Keterangan:
Sinole = Makanan olahan sagu yang dimasak bersama kelapa muda parut
Jerat = Perangkap yang biasanya terbuat dari bambu atau tali untuk menangkap Babi, rusa, kuskus, atau tikus tanah