SUNGAI TEPAI DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT LONG GELAAT
Oleh: Ari Wibowo
Community Organizer Kutai Barat, Kalimantan Timur, WWF-Indonesia
Jika berbicara tentang Kalimantan, yang terbesit di pikiran adalah, Suku Dayak, sungai - sungai yang mengalir jernih, hutan belantara, kehidupan satwa liar serta kebudayaan tradisional lainnya. Di pedalaman Jantung Borneo, terdapat sebuah kampung di hulu Sungai Mahakam, yakni Kampung Long Tuyoq, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur.
Perjalanan kami dimulai dari Mahakam Ulu, yang kebanyakan kampung yang berada disana memiliki keterbatasan akses transportasi. Satu-satunya akses hanyalah melewati jalur Sungai Mahakam yang memiliki riam-riam yang sangat menantang dan berbahaya. Baru-baru ini sudah terdapat jalur darat, namun hanya bisa dilalui saat musim kemarau saja. Ini karena jika sudah masuk pada musim hujan, jalanan tidak bisa dilewati karena tebalnya lumpur dan tidak adanya jembatan yang menghubungkan jalan, sehingga membutuhkan upaya lebih untuk dapat sampai di Kampung Long Tuyoq. Sungguh sebuah perjalanan yang cukup menguras tenaga!
Akses lainnya adalah melalui jalur udara, yakni menggunakan maskapai perintis dengan 12 tempat duduk yang dapat ditempuh melalui Kota Melak – Ibu Kota Kabupaten Mahakam Ulu atau melalui Kota Samarinda – Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur.
Kami terbang menuju Bandara Datah Dawai, sebuah bandara kecil yang terletak jauh di hutan di pedalaman Jantung Borneo yang ada di Kampung Long Lunuk, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu dan kemudian kami melanjutkan perjalanan menggunakan perahu ketingting (perahu panjang bermesin) mengikuti arus sungai atau biasa disebut milir dengan waktu tempuh selama kurang lebih 3 jam. Derasnya riam tidak menghalangi niat dan usaha kami untuk sampai di Kampung Long Tuyoq, sebuah kampung yang didampingi oleh WWF-Indonesia Kalimantan Timur.
Bagi masyarakat Dayak, terutama mereka yang bermukim di Kalimantan Timur, sungai merupakan sumber kehidupan. Masyarakat lokal tidak bisa dipisahkan dari sungai, dimulai dari Sungai Mahakam, yang merupakan sungai terbesar di Kalimantan Timur yang bermuara di Selat Makassar, juga ribuan anak sungai lain yang menjadi jantung kehidupan masyarakat adat di kampung-kampung hulu sungai.
Etnis Dayak di Long Tuyoq adalah Suku Dayak Long Gelaat (sub suku Bahau) yang biasanya menyebut sungai dengan bahasa lokal yakni hangui artinya air. Disana terdapat Sungai Tepai, yang merupakan salah satu anak Sungai Mahakam - sebuah sungai yang memiliki panjang 920 km ini melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu, hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir.
Di masa lampau, Suku Dayak Long Gelaat adalah suku yang kerap bermigrasi, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Suku Long Gelaat berasal dari daratan Apo Kayan (Kabupaten Malinau), berpindah tempat tinggal mengikuti petunjuk hipui (raja) yang berpindah juga untuk memenuhi kebutuhan pangan, menghindari penyakit dan ancaman lainnya, dan wilayah yang menjadi lokasi berpindah untuk tempat bermukim selalu berada di pinggiran sungai dan akhirnya menetap di sisi Sungai Mahakam dan menjadi kampung yang sah seperti saat ini.
Sungai Tepai merupakan sumber air bersih bagi masyarakat Long Tuyoq dan termasuk kekayaan hayati air tawar perbukitan dataran rendah di Mahakam Ulu. Secara turun-temurun, masyarakat adat disana berusaha untuk tetap selalu menjaga dan melindungi Sungai Tepai demi keberlangsungan hidup masyarakat disana. Sehari-hari, masyarakat disana mencari ikan hanya untuk kebutuhan harian konsumsi di rumah. Namun bila mendapatkan ikan lebih banyak, mereka akan menjualnya ke orang lain. Karena terjaganya lingkungan di sekitar Sungai Tepai, ikan yang tersedia pun cukup melimpah untuk memenuhi kebutuhan sekitar 439 orang yang tinggal di Kampung Long Tuyoq.
Masyarakat adat disana memiliki keyakinan bahwa dalam hidup sehari-hari, mereka tidak boleh berlebihan dalam mengambil sesuatu dari hutan. Filosofi ini dipegang kuat oleh warga Kampung Long Tuyoq dan mereka percaya jika ada warga mereka yang mengambil secara berlebihan apapun yang telah diciptakan Sang Maha Esa, maka akan musibah akan datang bagi keluarga yang melanggar kepercayaan tersebut. Dengan cara inilah, secara bersama-sama, masyarakat Kampung Long Tuyoq melindungi Sungai Tepai supaya tetap bersih dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
Dalam sistem hidrologi DAS (daerah aliran sungai), Sungai Tepai berada dalam kawasan ekosistem dengan terminologi lokal, yang mereka namakan dengan tene’ legaat (tanah warisan) dan tene’ begaiit (tanah disayangi), tene’ pehau loong gliit (tanah suku Long Gelaat). Kuatnya kepercayaan hukum adat dan tradisi untuk melindungi dan menjaga hutan membuat kawasan hutan di sekitar Sungai Tepai tetap menjadikan hutan disana sebagai hutan primer murni. Tidak ada seorang pun yang berani melanggar aturan adat tersebut, baik warga kampung maupun perusahan HPH yang ada disana.
Bagi warga pendatang, suku Long Gelaat merupakan masyarakat yang sangat bersahabat. Kehadiran WWF-Indonesia dianggap sesuai dengan nafas, jiwa dan tradisi warga kampung dalam merawat dan melestarikan hutan serta membangun kehidupan masyarakat yang hidup di sisi sungai serta berdampingan bersama alam.
Masyarakat lokal merupakan pelaku utama dalam kerja konservasi, aktivitas bersama mendorong terciptanya tatanan lingkungan dan sosial tampa meninggalkan kultur, tradisi dan budaya juga merajut mimpi tetap hidup sejahtera bersama alam terus dibangun secara partisipatif dan berkelanjutan.