ROTAN, SANG PENJAGA HUTAN KALIMANTAN
Rotan yang diproduksi secara berkelanjutan membantu mengamankan habitat penting bagi satwa liar sekaligus meningkatkan mata pencaharian. Dalam sebuah langkah yang dapat menguntungkan petani dan keanekaragaman hayati, sebuah kabupaten di pulau Kalimantan telah menjadi tempat kedua di dunia yang memproduksi rotan yang disertifikasi oleh Forest Stewardship Council (FSC).
Kelompok Petani Rotan Katingan, atau P2RK, mewakili lebih dari 200 petani di Kalimantan Tengah, bagian dari pulau Kalimantan. Sertifikasi yang mereka dapatkan merupakan hasil dari kerja sama dengan WWF selama beberapa tahun.
Memanen rotan, tanaman palem yang merambat dan merupakan tanaman asli daerah tersebut, dapat menjadi cara yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat untuk mencari nafkah. Rotan banyak digunakan dalam mebel, kerajinan tangan, dan aplikasi lainnya, rotan mendukung industri global yang bernilai lebih dari US$4 miliar per tahun. Karena rotan membutuhkan pohon untuk tumbuh, rotan dapat memberikan insentif bagi masyarakat untuk melestarikan dan merestorasi hutan di lahan mereka.
Namun, harga yang dibayarkan kepada para pemanen rotan di Indonesia sangat rendah. Akibatnya, banyak petani kecil yang beralih dari produksi rotan ke alternatif lain yang lebih berkelanjutan. Dengan sertifikasi FSC, petani P2RK berada dalam posisi yang lebih kuat untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dari pembeli yang memasok pasar yang bernilai tinggi. Penelitian WWF menunjukkan bahwa operator bersertifikat FSC - terutama produsen kecil di negara-negara tropis - mendapatkan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bersertifikat.
"Karena mereka tidak mendapatkan keuntungan ekonomi, beberapa petani telah menjual ladang rotan mereka kepada perusahaan kelapa sawit, atau mengalihfungsikannya menjadi tanaman lain seperti pisang, sayuran, atau karet," ujar Joko Sarjito, manajer Global Forest & Trade Network (GFTN) WWF Indonesia. "Pilihan lainnya adalah penambangan emas ilegal, yang memberikan mereka uang tunai cepat untuk kebutuhan sehari-hari, namun saat ini menjadi ancaman utama bagi lingkungan di Katingan."
"Wilayah tempat P2RK beroperasi diidentifikasi sebagai hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT), sehingga melindunginya dengan menerapkan pengelolaan rotan yang bertanggung jawab sangatlah penting," kata Sarjito.
Pencapaian ini menandai untuk pertama kalinya sebuah hasil hutan bukan kayu (HHBK) disertifikasi oleh FSC di Indonesia.
Hutan dipterokarpa yang tumbuh tua ini memiliki habitat yang cocok untuk orang utan, serta primata dan burung-burung endemik lainnya. Karena sebagian besar orang utan yang terancam punah di Kalimantan hidup di luar kawasan lindung, maka melestarikan habitat mereka di lahan milik masyarakat sangatlah penting.
"Jika pohon-pohon terganggu atau ditebang, maka pertumbuhan rotan akan terganggu dan kualitasnya akan menurun," kata sekretaris jenderal P2RK, Oscar Sukah. "Para petani berpartisipasi dalam menjaga dan melestarikan hutan untuk mempertahankan sertifikasi."
WWF-Indonesia mulai bekerja sama dengan P2RK pada tahun 2011 untuk membantu mereka mempersiapkan diri untuk mendapatkan sertifikasi, dengan mengembangkan proyek serupa di Laos dan Greater Mekong. Proses mendapatkan sertifikasi merupakan proses yang penuh tantangan. Sebelumnya, tidak ada pengakuan formal mengenai siapa yang memiliki lahan, atau berapa banyak rotan yang dipanen. WWF bekerja sama dengan masyarakat, pemimpin desa dan pemerintah daerah untuk memetakan dan mendaftarkan kepemilikan lahan secara legal, dan melakukan survei untuk menentukan volume rotan di lahan petani dan berapa banyak yang dapat ditebang secara berkelanjutan setiap tahunnya.
WWF juga mendukung P2RK untuk mendaftarkan diri sebagai sebuah usaha, membuat rencana pengelolaan, dan menerapkan sistem pencatatan pemanenan dan pengangkutan. P2RK kini memiliki sistem lacak balak yang dapat dilacak, yang berarti rotan dapat dilacak dari ladang hingga ke pabrik pengolahan.
Saat ini, 209 anggota petani dapat memanen maksimal 29 ton rotan kering per bulan, di lahan seluas 691 hektar. Untuk memastikan keberlanjutan, tanaman hanya dapat dipanen setiap dua tahun sekali, setelah mereka mencapai usia dewasa, dan ditebang secara selektif, bukan secara keseluruhan rumpun. WWF-Indonesia telah menghitung bahwa dalam lima tahun, P2RK akan mengelola 11.791 hektar, dengan produksi 474 ton berat kering per bulan seiring dengan bertambahnya anggota yang bergabung. Ada juga rencana untuk mereplikasi program ini di seluruh lanskap.
"Dengan adanya sertifikasi, ada peningkatan nilai produk rotan sehingga petani merasa aman dan menjaga kebun rotan mereka," kata Sarimanto, salah satu anggota P2RK. "Dengan begitu, mereka bisa menyekolahkan anak atau membangun rumah."
Proyek ini didukung secara finansial oleh IKEA, melalui kemitraan mereka dengan WWF. Raksasa perabot rumah tangga asal Swedia ini menggunakan rotan pada lebih dari 100 produknya, mulai dari perabot luar ruangan hingga keranjang dan penutup lampu. Mulai awal tahun 2018, IKEA akan memasukkan rotan ke dalam cakupan standar kehutanannya - yang berarti semua pemasok harus memenuhi standar minimum, dan mulai bekerja menuju produksi yang lebih berkelanjutan.
"Ini adalah area baru bagi kami dan para pemasok kami, jadi kami telah bekerja sama dengan WWF untuk mendefinisikan seperti apa produksi rotan yang lebih berkelanjutan, dan memahami isu-isu seperti hak kepemilikan dan keterlacakan dari hutan ke furnitur," kata Mikhail Tarasov, Manajer Kehutanan Global IKEA.
"Kami berharap bahwa bersama-sama kita akan dapat mengamankan pasokan rotan yang dapat dilacak dan berkelanjutan. Saya yakin ada peluang besar untuk memperbaiki cara rotan ditanam dan diekstraksi. Dengan mendukung proyek-proyek seperti ini, kami memiliki peluang besar untuk meningkatkan mata pencaharian petani dan memastikan hutan akan terus ada."