SISI HUMAN DARI HEART OF BORNEO
Oleh Cristina Eghenter
Dua event international terbaru dari Inisiatif HoB, diselenggarakan di Singapura (Roundtable on Protecting Nature in the Heart of Borneo, oleh Institute of Southeastern Asian Studies) dan di Kuching (pertemuan tahunan tiga negara Borneo), menandai perhatian yang lebih jelas lagi terkait dengan masyarakat dan aspek sosial budaya dari Heart of Borneo.
Kekayaan alam HoB sudah terkenal di tingkat lokal dan global, dan meski telah banyak mendapat pujian, tidak banyak perhatian yang diberikan pada sisi human dari HoB, dan satu hal yang membuat HoB menjadi sebuah tempat yang unik dan kaya: interkoneksi antara tanah dan masyarakatnya, antara sumberdaya alam dan pengetahuan tradisional dari kelompok masyarakat adat, antara flora dan fauna Borneo, dan warisan budaya serta artistik dari masyarakat.
Sejarah dari lanskap alam Heart of Borneo sangat terkait erat dengan sejarah orang-orangnya yang telah mengelolanya selama berabad-abad. Banyaknya peninggalan arkeologi di kawasan tersebut adalah saksi bisu bagi sebuah sejarah panjang dari peradaban manusia di pulau tersebut.
Sudah seharusnya dan memang sangat penting bagi Inisiatif Heart of Borneo untuk berbicara mengenai emosi dan perasaan, dan menggarisbawahi sisi human dari Borneo. Visi Heart of Borneo mengenai pengelolaan lanskap secara berkelanjutan dan jasa ekosistem tidak akan menjadi sukses dan tidak akan membawa transformasi terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan kecuali hal tersebut dikenali dan dikaitkan dengan masyarakat di HoB. Agar jantung hijau tersebut bisa terus berdetak, kita perlu memperhatikan degup kemanusiaan dan sosialnya Borneo.
Kelompok etnis Dayak di Heart of Borneo menyebut daerah ini sebagai kampung halaman. Rasa memiliki dan kedekatan dengan lingkungan merupakan alasan utama dari masyarakat adat untuk menjaga tanah leluhur dan menemukan cara untuk memanfaatkan sumberdayanya dengan cara yang lebih berkelanjutan, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman tradisional. Dari generasi ke generasi, mereka telah mengembangkan praktik untuk menanam, bereksperimen dengan kultivar/tanaman baru, pemanfaatan produk hutan, berburu dan mencari ikan di pedalaman hutan dan sungai.
Dalam pertemuan di Singapura, pentingnya memperhatikan dan melibatkan masyarakat di Heart of Borneo dan di sepanjang perbatasan internasional yang membagi kawasan, disampaikan oleh panelis yang merefleksikan peran dan aspirasi dari Masyarakat Adat di Sarawak, Sabah dan Kalimantan.
Hal yang sama, terkait pandangan, sejarah dan harapan dari masyarakat lokal untuk pembangunan berkelanjutan di Heart of Borneo dituangkan dalam kumpulan tulisan pendek oleh beberapa orang dari masyarakat adat dan tokoh adat, dan kutipan dari studi penelitian yang tersusun dalam Laporan Human Heart of Borneo.
Perspektif dari laporan itu bukan saja menyorot masa lalu, tetapi juga masa kini dan masa depan masyarakat di Heart of Borneo, terutama mereka yang tinggal di daerah perbatasan internasional antara Indonesia dan Malaysia. Dari waktu ke waktu, perbatasan tidak terlalu mempengaruhi dan memisahkan masyarakat dan keluarga. Tidak ada pemisahan tetapi lebih pada kenyataan bahwa kelompok etnis ini tinggal di kedua sisi perbatasan. Perbatasan ini memfasilitasi pergerakan dan lalu lintas orang-orang di sepanjang di bagian alami antara bagian timur dan barat Borneo di Apau Kayan, di dataran tinggi Krayan di Kalimantan Timur, dan kawasan lainnya di Kalimantan Barat.
Keterkaitan antara modal alam dan modal sosial telah membentuk Borneo sepanjang waktu. Ini merupakan batasan ‘terbuka’ dan keterlibatan dinamis dari masyarakat yang juga merupakan kunci dari masa depan yang berkelanjutan dari pulau Borneo.
Konferensi ISEAS Singapura, http://www.iseas.edu.sg/
Pertemuan Trilateral HoB ke-6 di Kuching, Sarawak
http://www.forestry.sarawak.gov.my/modules/web/news_view.php?nid=106