PERBAIKAN PRAKTIK PENANGKAPAN UDANG DI KOTABARU
Oleh: Buguh Tri Hardianto (Capture Fisheries Officer)
Kabupaten Kotabaru yang wilayahnya dikelilingi oleh pesisir memiliki potensi sumber daya perikanan yang terbilang besar. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kotabaru 2015, jumlah produksi udang di Kotabaru mencapai 4.930 ton. Ini menjadikan komoditas udang menempati posisi pertama dalam jumlah produksi yang menjadikannya salah satu komoditas perikanan unggulan di Kotabaru. Selain dipasarkan di wilayah Kotabaru, komoditas udang tersebut juga telah dipasarkan ke beberapa kota lainnya, seperti Banjarmasin, Makassar hingga Pulau Jawa. Sayangnya, komoditas unggulan Kotabaru ini belum dikelola dengan baik agar dapat termanfaatkan secara bijak dan berkelanjutan. Hal ini bisa dilihat dari masih adanya praktik penangkapan udang yang menggunakan pukat hela (mini trawl) disamping penggunaan jaring gondrong atau trammel net oleh para nelayan. Pada dasarnya, mini trawl sudah dilarang penggunaannya menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 tahun 2015, yaitu pelarangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
Informasi terkait adanya penangkapan udang yang menggunakan mini trawl diperoleh tim Seafood Savers saat melakukan kegiatan identifikasi praktik perikanan di Kotabaru. Dimana identifikasi tersebut merupakan tahapan proses keanggotaan Seafood Savers yang dilakukan oleh salah satu perusahaan kerupuk udang yang membeli bahan bakunya dari Kotabaru. Identifikasi ini dilakukan pada tanggal 9 – 14 November lalu melalui wawancara dan observasi langsung pada responden yang terlibat dengan menggunakan formulir identifikasi dari sekretariat Seafood Savers, seperti nelayan penangkap udang, pengepul udang, dan DKP Kabupaten Kotabaru.
Terkait dengan larangan penggunaan dua alat tangkap tersebut, nelayan meminta dispensasi kepada pemerintah Kabupaten Kotabaru agar memberikan keringanan waktu bagi nelayan untuk beradaptasi menggunakan alat tangkap lain yang ramah lingkungan. Akhirnya, DPRD Kotabaru memberikan dispensasi waktu hingga Desember 2016 bagi nelayan untuk melakukan adaptasi alat tangkap, dengan catatan tidak diperbolehkannya penggunaan papan pembuka jaring mini trawl atau otter board di perairan Kotabaru.
“Mayoritas nelayan udang yang menggunakan pukat hela (mini trawl) tidak mengganti alat tangkapnya setelah dikeluarkan larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik. Karena nelayan menganggap mini trawl sangat efektif dalam menangkap udang”, ucap Bapak Maspirin, nelayan yang juga pernah menggunakan mini trawl di Kotabaru.
Padahal menurutnya, dengan menggunakan mini trawl nelayan harus mengeluarkan biaya operasional bahan bakar yang terbilang mahal, karena perahu yang dioperasikan harus selalu dalam kondisi menyala. Selain itu, udang hasil tangkapan mini trawl mayoritas berukuran kecil ditambah banyak hasil samping yang tidak termanfaatkan, seperti sampah, ikan-ikan kecil, rajungan kecil, dan lainnya. Berbeda jika menggunakan trammel net yang mendapatkan udang dengan ukuran besar, bermutu baik, minim tangkapan sampingan, dan hanya membutuhkan bahan bakar yang jauh lebih sedikit.
Mengingat akhir Desember 2016 ini merupakan batas waktu penggunaan mini trawl di Kotabaru, Seafood Savers membaca adanya peluang untuk menginisiasi seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama menyikapi kondisi tersebut. Seluruh informasi yang didapat ini nantinya akan menjadi dasar Seafood Savers dalam merekomendasikan calon anggota untuk berkomitmen menjalankan bisnis perikanan berkelanjutan di Kotabaru. Hal ini diharapkan dapat menjadi momentum perusahaan untuk ikut serta menjalankan perbaikan perikanan udang berkelanjutan bersama seluruh pemangku kepentingan. Selain itu juga dapat menjadi semangat baru bagi para nelayan untuk menangkap udang dengan praktik terbaik yang bersinergi dengan alam agar sumberdaya udang di Kotabaru dapat semakin lestari.