PENTINGNYA AREAL KONSERVASI BAGI MASYARAKAT ADAT
Alam dan konservasi merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Papua. Persoalan pengelolaan wilayah adat dan tempat penting tidaklah sederhana, karena menyangkut proses pengakuan formal, bersentuhan dengan isu konservasi, hak, dan kesejahteraan masyarakat adat, serta praktik tata kelola.
Pelatihan AKKM dan wilayah adat dilakukan pada akhir bulan Juni lalu bagi staf WWF di Jayapura melibatkan program manajer dan mitra Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sebagai nara sumber.
Hubungan yang sangat dekat dan sulit dipisahkan antara masyarakat Papua dan alam diungkapkan oleh Benja Mambai, Direktur WWF-Indonesia Program Papua, yang juga menjelaskan bahwa filosofi masyarakat Papua adalah ‘ambil secukupnya’, sehingga keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem di ruang hidup masyarakat tetap terjaga.
Masyarakat yang memutuskan
Dijelaskan oleh Cristina Eghenter (Indigenous People and Local Food System Programmatic Outcome/PO Manager), ada tiga pilar utama yang dimiliki AKKM, pertama; bahwa masyarakat berhak menjaga suatu kawasan karena budayanya atau karena kehidupannya, pilar kedua; masyarakat tergantung pada sumber daya alam yang ada di dalamnya, pilar ketiga; adanya dampak positif terhadap konservasi lingkungan, apa pun jenis kegiatan tradisional yang dilakukan masyarakat di dalamnya.
Oleh karenanya masyarakat sendirilah yang mengambil keputusan demi masa depan pengelolaan ruang hidupnya termasuk kawasan konservasi (AKKM) atau wilayah adat, sementara pekerja konservasi seperti WWF-Indonesia berperan mengintegrasikannya ke dalam agenda kerja. “Kita memperkaya pemahaman dan membantu masyarakat adat untuk meningkatkan kapasitas; namun mereka sendirilah yang mengelola dan merawat lingkungan alam, sesuai dengan persetujuan masyarakat sebagai bentuk penerapan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau PADIATAPA,” kata Didiek Surjanto (Community Forestry PO Manager).
Seperti disebutkan oleh Albertus Tjiu (Protected & Conservation Areas Program Outcome Manager), selain karena adanya Permen LHK RI NO.P. 83/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/ 10/2016 tentang Perhutanan Sosial dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Meski memang belum mengatur tentang AKKM, Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2015 (MK-35) mengenai Pengakuan Hutan Adat juga menjadi alasan mengapa WWF-Indonesia bersama mitra seperti BRWA mulai bekerja lebih jauh dalam mendorong pengakuan dan pengelolaan wilayah adat.
ICCA/AKKM dan Agenda Konservasi WWF
ICCA/AKKM sendiri mulai dikawal WWF-Indonesia sejak 2008 khususnya dalam wilayah kerja Heart of Borneo (HoB). Sementara strategi perencanaan 2019-2023 adalah melanjutkan program yang sudah dimulai sebelumnya dituangkan ke dalam dokumen strategis dengan menetapkan target pencapaian Kawasan Konservasi-AKKM di wilayah kerja WWF Indonesia seluas 350.000 hektare. Khususnya di bentang-bentang laut dan darat terkait seperti di Kalimantan, Sumatera, Papua, dan Nusa Tenggara.
Perkembangan pendampingan wilayah AKKM di Pulau Kalimantan sampai tahun 2019 ini telah dilakukan di Kalimantan Barat, Tengah, Timur dan Utara, dengan lokasi-lokasi di Danau Empangau, Danau Hai, Danau Bulat, Danau Payawan, Danau Desa Parupuk, Tajahan Teluk Emba, Tajahan Himba Rawi, Tajahan Handiwung, Danau Sulup, Gunung Eno, Sebaju, Mungguk Kersik dan lebih dari 10 kawasan konservasi tradisional Tana’ Ulen.
Peluang-peluang AKKM di Papua
Sejalan dengan apa yang telah didiskusikan oleh rekan-rekan WWF Program Papua dalam pelatihan, terlihat bahwa nilai konservasi yang berasal dari fasilitasi pengelolaan wilayah adat dan tempat penting harus selalu dimunculkan. WWF-Indonesia sendiri dapat membantu masyarakat adat Papua untuk memperoleh hak dan meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Didiek target pengelolaan wilayah adat dan tempat penting memberikan kontribusi target konservasi yang lebih besar, misalnya dalam penyelamatan jenis satwa langka seperti cenderawasih, kura-kura moncong babi, dan sebagainya. Selain memberikan perlindungan kawasan dalam bentuk koridor, Kawasan Strategis Provinsi, serta Kawasan Ekosistem Esensial.
Sementara itu, menurut Cristina, AKKM yang terletak dalam kawasan konservasi seperti Taman Nasional, namun bagaimana penerapan dan proses fasilitasinya perlu terlebih dahulu digodok, termasuk melihat proses legalitasnya. Pilihan lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebijakan sosial WWF-Indonesia adalah penguatan kolaborasi dalam pengelolaan taman nasional dan ruang hidup di zona pemanfaatan tradisional seperti di Taman Nasional Wasur dan Lorentz. Nilai konservasi tinggi atau NKT mungkin menjadi bagian dalam AKKM, meskipun AKKM mencakup konsep perlindungan dan pengelolaan sumber daya yang lebih luas dan terhubung dengan budaya masyarakat.