MASYARAKAT ADAT KAMPUNG ASAI, YAPEN, PAPUA SEPAKAT LAKUKAN TASAMU RAWANANG DI KAWASAN PERAIRAN
Asai, Kep. Yapen, Papua, 29 Agustus 2022- Masyarakat adat kampung Asai yang terdiri dari marga Kewari, Abubar, Puari dan Raubia, sepakat melakukan Tasamu Rawanang. Tasamu Rawanang dalam bahasa Asai berarti “Pele Laut” untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Tasamu Rawanang merupakan bentuk konservasi tradisional yang mengakar di budaya masyarakat adat kampung Asai, prakteknya mulai hari ini hingga 22 Juni 2024 masyarakat sepakat menjaga dan tidak mengambil sumber daya alam di lokasi kesepakatan tersebut.
Kawasan Tasamu Rawanang ini mempunyai luas sekitar 284 Hektar yang terdiri dari marga Kewari 81 Hektar, Abubar 56 Hektar, Puari 140 Hektar dan Raubia 7 Hektar, maka telah disepakati bahwa dilakukannya pembatasan penangkapan ikan pada wilayah tersebut yang akan dimulai pada tanggal 29 Agustus 2022 hingga 29 Agustus 2023, pembatasan penangkapan ikan ini bertujuan untuk memulihkan kembali sumber daya alam yang ada disekitar perairan Kampung Asai.Turut hadir dalam upacara adat ini yaitu seluruh masyarakat Kampung Asai, Perwakilan 4 Marga Besar Kampung Asai dan Perwakilan Pemerintah Distrik Windesi dan Pemerintah Kampung Asai.
Menurut Abubar, masyarakat adat di Kampung Asai, “Tasamu awalnya digunakan penduduk Kampung Asai untuk membatasi pengambilan sumber daya alam di hutan”. Lebih lanjut Abubar mengungkapkan, “Jadi ada Tasamu pohon pinang, mangga, rambutan dan kelapa, tujuannya sebagai simpanan di alam agar dapat dimanfaatkan secaramaksimal nantinya”.
Sementara Tasamu di laut merupakan aturan lokal yang pertama kali diterapkan di perairan dengan cara menyilangkan bambu sebagai simbol pelarangan untuk mengambil hasil laut seperti ikan yang berukuran kecil, kerang, karang, dan biota laut lainnya dalam kurun waktu yang sudah ditentukan. Sebelum Tasamu laut ini ditetapkan, pada April 2022 lalu, Yayasan WWF Indonesia terlebih dahulu memberikan pelatihan monitoring dan pendataan kondisi perairan kepada nelayan. Caranya dengan melakukan pendataan tutupan terumbu karang, menghitung jumlah ikan yang ditemukan sepanjang jalur transek pengamatan, dan wawancara rumah tangga nelayan terkait persepsi mereka tentang kondisi perikanan di Kampung Asai dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Hasil pelatihan monitoring bersama nelayan, 30% kondisi karang hidup mengalami kerusakan, kondisi megabentos (Kerang dan Teripang) yang mulai berkurang di kawasan perairan Kampung Asai. Menurut Matheis Kewari, salah satu masyarakat adat di kampung Asai, hasil tangkapan ikan nelayan dalam lima tahun terakhir terus mengalami penurunan. Matheis mengungkapkan, “Seharusnya kegiatan tutup sasi atau Tasamu Rawanang sudah dilakukan dari 5-6 tahun yang lalu agar kondisi perairan kampung Asai ini terjaga” tegasnya.
Kesepakatan Tasamu Rawanang ini juga lahir dari proses diskusi secara kolaboratif di tingkat marga di kampung Asai dan masyarakat kampung sekitar di Distrik Windesi bersama Pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen antara lain BAPPEDA, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung dan Penyuluh Perikanan. Dari proses diskusi tersebut, didapati bahwa praktik-praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti pengambilan ikan dengan menggunakan akar tuba atau biasa disebut bobato, penggunaan kompresor dan potasium.
Sementara itu, Maklon Sineri, S.Pi Koordinator Penyuluh Kampung Asai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sangat setuju dengan apa yang telah dilakukan oleh masyarakat kampung Asai, “Saya siap bantu penerbitan kartu pelaku usaha Kelautan dan Perikanan atau e-KUSUKA untuk Nelayan Kampung Asai serta mendukung kegiatan-kgiatan pelatihan pengolahan produk perikanan”.
Wika A. Rumbiak, Manajer Program Papua, Yayasan WWF Indonesia pada saat upacara tutup Tasamu Rawanang menyampaikan bahwa di Papua, terdapat banyak jenis konservasi tradisional dengan berbagai sebutan, seperti Kadup di Teluk wondama, Nat Gato Tom Fowa di pesisir Tambrauw hingga Tasamu Rawanang di kampung Asai. Lebih lanjut Wika menjelaskan, “Selain memberi dukungan teknis seperti metode dan teknik pemantauan sumber daya perikanan dan kelautan, kami juga mendukung revitalisasi ataupun penguatan niai-nilai lokal yang berlaku kuat di masyarakat. sehingga kelompok ini saling terhubung dan menemukan solusi lokal yang efektif untuk pengelolaan yang berkelanjutan, resiliensi dan kolaboratif bersama pemerintah daerah, perguruan tinggi, mitra pembangunan dan masyarakat adat”, tutup Wika.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi :
● Simon Bonai - Kepala Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen, Hp; 0822-3912-2222
● Ruben Rumbiak, Community Development Officer Yapen, Yayasan WWF Indonesia Program Papua | Email: rrumbiak@wwf.id -Hp; 0812-4022-2485
● Ros Weyai, Communication Officer,Yayasan WWF-Indonesia Program Papua |Email: rweyai@wwf.id - HP: 0822-3903-3227