PELESTARIAN TRADISI DAN BUDAYA MELALUI BORNEO YOUTH PROGRAM 2025: JAMBORE PEMUDA PEDULI PANGAN LOKAL
Masyarakat adat dan pangan lokal merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling mengait dan saling membutuhkan. Masyarakat adat melalui praktik-praktik tradisionalnya amat memahami bagaimana budidaya pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian komunitasnya, dan pangan lokal yang dikembangkan melalui nilai-nilai filosofis komunitas, akan membantu masyakat adat mempertahankan sumber daya alam yang dalam ruang lingkup hidupnya. Di lain pihak, ada kaum muda, yang seiring perkembangan zaman, secara amat perlahan telah tercerabut dari akarnya sebagai bagian dari masyarakat adat, dan mulai memudar identitas dan pengetahuannya terkait nilai dan budaya tradisional.
Gagasan inilah yang menjadi pemantik bagi Konsorsium Sempekat Lestari, salah satu mitra Leading the Change (LtC) di Kutai Barat, Kalimantan Timur, untuk memulai gerakan bagi kaum muda di Kabupaten Kutai Barat untuk kembali menyadari bahwa pangan lokal bukan hanya jalan untuk ketahanan pangan bagi penduduk bumi di masa mendatang, melainkan juga sebagai alat untuk melestarikan alam dan tradisi, dan jalan untuk kembali kepada akar, yaitu sebagai masyarakat adat.
Pada tanggal 24-27 Juli 2025 yang lalu, Konsorsium Sempekat Lestari bekerja sama dengan WWF Indonesia Mahakam-Kayan Project, Direktorat Bina Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat (BKMA) Kementerian Kebudayaan, Parara, dan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, telah melaksanakan kegiatan Jambore Pemuda Peduli Pangan Lokal. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan tradisi budaya masyarakat adat tentang pangan lokal kepada para peserta, membangun kesadaran para pemuda sebagai agen perubahan di masyarakat dalam menghadapi pesatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, membantu kaum muda membangun jejaring dari relasi, membentuk karakter, serta memulai suatu gerakan di Kutai Barat, di mana kaum muda juga ikut terlibat dalam mengembangkan potensi pangan lokal di wilayahnya masing-masing.
Kegiatan ini melibatkan 20 sekolah dari 16 kecamatan di Kabupaten Kutai Barat, dengan total 85 siswa dan siswi sebagai peserta. Para peserta saling berdinamika dan berkegiatan selama 4 hari 3 malam di Kampung Linggang Melapeh, yang merupakan rumah bagi komunitas adat Tonyooi Rentenuukng. Selama empat hari, mereka menerima materi-materi seputar pengelolaan komoditas dan pangan lokal, ekonomi hijau, serta pengembangan dan peningkatan kulitas diri. Terdapat juga kunjungan-kunjungan ke kebun yang dikelola oleh komunitas lokal, kebun kopi, kebun hidroponik, dan kebun Kelompok Wanita Tani, yang mengelola pangan lokal. Tidak hanya itu, diadakan pula lomba-lomba dan games yang menuntut kreativitas dan kerja sama tim.
Salah satu sorotan dalam kegiatan ini adalah, para siswa diminta untuk membawa produk-produk olahan pangan lokal dari wilayahnya masing-masing, hasil inovasi para siswa itu sendiri. Produk-produk olahan ini kemudian dilombakan, dan hasilnya, diperoleh 6 produk dari 6 sekolah pemenan yang akan memperoleh pendampingan dari Konsorsium Sempekat Lestari untuk pengembangan dan pemasarannya. Hasilnya? Generasi Z tampil mengesankan! Seluruh sekolah peserta dengan antusias mempresentasikan beragam produk olahan pangan lokal yang mereka kreasikan secara kreatif. Beberapa produk yang menonjol antara lain tortilla singkong, sagon kriuk mantap, dan permen dari tanaman obat—semuanya tidak hanya menarik secara tampilan, tetapi juga menjanjikan dari segi rasa.
Di lain pihak, masih dalam kegiatan yang sama, masyarakat adat Tonyooi Rentenuukng di Kampung Linggang Melapeh dilibatkan secara aktif, di mana terdapat empat orang perwakilannya menjadi narasumber untuk mempresentasikan praktik nilai-nilai tradisional di komunitas Tonyooi Rentenuukng dalam proses perladangan, dan juga pengolahan bahan pangan lokal menjadi masakan.
Tokoh-tokoh inilah yang menyimpan kekayaan pengetahuan tentang tradisi Tonyooi Rentenuukng, terjaga baik dalam ingatan jangka panjang mereka. Mereka juga mampu menjelaskan secara tepat dan menarik kepada para peserta. Hal ini berbanding terbalik dengan anggapan bahwa kaum muda cenderung apatis terhadap budaya dan tradisi. Justru, anak-anak muda menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka aktif bertanya dan berdiskusi dengan para narasumber, hingga akhirnya memahami benang merah antara masyarakat adat, tradisi, pangan lokal, dan nilai-nilai yang menyatukan ketiganya sebagai bagian dari praktik konservasi.
Melalui kegiatan ini, terbangun pula komitmen antara Dirjen BKMA, WWF Indonesia Mahakam-Kayan Project, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, dan Konsorsium Sempekat Lestari untuk kembali menyediakan wadah bagi para peserta dalam berkarya. Salah satu bentuknya adalah pameran produk-produk pangan lokal hasil karya mereka yang akan ditampilkan dalam rangka peringatan ulang tahun Kabupaten Kutai Barat pada bulan November mendatang.
Jambore Pemuda Peduli Pangan Lokal mungkin hanya berlangsung selama empat hari, namun dampaknya diharapkan dapat menjangkau lebih banyak anak muda di luar sana—mendorong mereka untuk terus bergerak, mengenali tradisi, terlibat dalam upaya pelestariannya, dan mulai berkarya untuk memperluas pengaruhnya. Menjadikan gerakan ini nyata adalah tanggung jawab bersama, karena jika wadahnya tersedia, anak-anak muda akan dengan antusias mengambil peran.