MELINDUNGI HAK ASASI MANUSIA DALAM RANTAI BISNIS: KOLABORASI WWF-INDONESIA, EPISTEMA DAN KOMNAS HAM
Jakarta, Rabu, 6 Agustus 2025 - Sebagai bagian dari komitmen mendukung praktik bisnis yang beretika dan bertanggung jawab terhadap hak asasi manusia (HAM), WWF-Indonesia bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Epistema Institute memulai langkah awal penyusunan Instrumen Uji Tuntas HAM, yang dirancang sejalan dengan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 13 tentang Bisnis dan HAM dari Komnas HAM. Diskusi ini turut menghadirkan sejumlah pemangku kepentingan, termasuk Aditya Bayunanda, CEO WWF-Indonesia, serta Dr. Prabianto Mukti Wibowo, M.Sc., selaku Wakil Ketua Bidang Internal dan Komisioner Pengaduan Komnas HAM. Pandangan akademik turut memperkaya diskusi melalui kehadiran Prof. Dr. Iman Prihandono, Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dan Dr. Patricia Rinwigarti, Direktur Djokosoetono Research Center Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk memastikan instrumen Uji Tuntas HAM dapat diterapkan secara efektif di Indonesia.
Langkah ini menandai keterlibatan aktif WWF-Indonesia dalam mendorong pelaku usaha agar semakin sadar akan dampak operasional bisnis mereka terhadap HAM, baik secara langsung maupun melalui rantai pasok dan mitra kerja. Hal ini menjadi semakin relevan di tengah meningkatnya kasus pelanggaran HAM, termasuk di antaranya akuisisi lahan, konflik dengan masyarakat adat, kerusakan lingkungan hidup, hingga pencemaran yang berdampak pada kesehatan dan sumber penghidupan masyarakat.
Apa Itu Uji Tuntas HAM?
Uji Tuntas HAM(Human Rights Due Diligence/HRDD) adalah proses sistematis yang dilakukan oleh perusahaan untuk:
- Mengidentifikasi potensi dan risiko pelanggaran HAM,
- Mencegah dan memitigasi dampak negatifnya,
- Serta merancang langkah pemulihan yang efektif apabila pelanggaran telah terjadi.
Proses ini menjadi penting karena dalam praktiknya, perusahaan memiliki potensi untuk terlibat dalam situasi yang berdampak terhadap hak asasi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, risiko dapat timbul melalui praktik ketenagakerjaan yang tidak sesuai standar, proses pengadaan lahan yang kurang partisipatif, atau melalui keterlibatan mitra usaha . Selain itu, perusahaan juga dapat menghadapi risiko keterkaitan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak lain dalam rantai pasok, meskipun mereka bukan pelaku utama.
Mengacu pada Instrumen Global Bisnis dan HAM
Penyusunan uji tuntas ini merujuk dan sejalan dengan instrumen global utama tentang bisnis dan HAM, antara lain: UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), OECD Guidelines for Multinational Enterprises, ILO Declaration on Multinational Enterprises and Social Policy dan Perjanjian HAM Internasional (ICCPR, ICESCR, Konvensi ILO) yang menjadi fondasi umum hak-hak dasar yang wajib dihormati oleh pelaku usaha di seluruh dunia.
Referensi terhadap instrumen-instrumen ini membantu memastikan bahwa pendekatan Uji Tuntas HAM di Indonesia selaras dengan standar internasional dan memiliki legitimasi global.
Tantangan dan Prinsip yang Perlu Diwujudkan
Penyusunan instrumen ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga harus menjawab berbagai tantangan di lapangan. Misalnya:
- Bagaimana menilai dampak HAM dalam praktik akuisisi lahan yang berpotensi meminggirkan masyarakat adat?
- Bagaimana menilai dampak dari limbah dan kerusakan lingkungan terhadap kesehatan masyarakat?
- Bagaimana mengukur kerugian akibat hilangnya sumber penghidupan?
Untuk itu, proses penyusunan Uji Tuntas HAM akan dilakukan secara transparan, multipihak, dan komunikatif. Artinya, seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, hingga kelompok rentan akan dilibatkan secara bermakna dalam proses konsultasi dan pengambilan keputusan.
Dukungan Program Leading the Change (LtC)
Inisiatif ini didukung oleh program Leading the Change (LtC) WWF yang diimplementasikan di 15 negara termasuk Indonesia. LtC berfokus pada penguatan kapasitas masyarakat sipil, perlindungan lingkungan, dan pemajuan hak asasi manusia, khususnya bagi masyarakat adat dan kelompok rentan yang kerap terdampak oleh investasi skala besar.
Di Indonesia, LtC secara aktif;
- Mendorong penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)
- Memfasilitasi dialog antara komunitas lokal, pelaku usaha, dan pemerintah
- Meningkatkan kesadaran sektor swasta tentang pentingnya due diligence berbasis HAM
- Membangun ekosistem kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Di Indonesia program LtC secara aktif berkontribusi dalam mendorong praktik bisnis yang lebih adil dan bertanggung jawab. Upaya ini diwujudkan melalui berbagai inisiatif, seperti mendorong penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), memfasilitasi dialog antara komunitas lokal, pelaku usaha, dan pemerintah, serta meningkatkan kesadaran sektor swasta akan pentingnya pelaksanaan uji tuntas berbasis hak asasi manusia. Selain itu, LtC juga berperan dalam membangun ekosistem kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan, guna memastikan perlindungan hak-hak masyarakat yang terdampak oleh aktivitas bisnis
Menuju Bisnis yang Lebih Manusiawi
Inisiasi awal ini menjadi langkah penting dalam menetapkan arah dan kerangka kerja awal yang akan menjadi dasar bagi para tim penulis dan penyusun dalam merancang draft instrumen tersebut.
Melalui inisiatif ini, WWF-Indonesia berharap tercipta ekosistem bisnis di Indonesia yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dengan adanya Instrumen Uji Tuntas HAM yang terukur dan akuntabel, perusahaan akan memiliki panduan jelas untuk menjalankan bisnis secara berkelanjutan dan adil bagi semua pihak.Karena pada akhirnya, bisnis yang menghormati hak asasi manusia adalah fondasi bagi masa depan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.