PENGAKUAN NEGARA TERHADAP KETEGUHAN WARGA DESA
Wajah Bupati Sintang Jarot Winarno tampak semringah. Pada hari yang cerah, kepala daerah Kabupaten Sintang di wilayah Provinsi Kalimantan Barat ini membuncah usai melihat langsung prestasi warganya. Menjejak bilah-bilah kayu yang menyangga tubuhnya saat berada di atas air berwarna coklat, Jarot menyaksikan panen raya di Danau Jentawang. Kawasan perairan darat ini berada di Desa Jentawang Hilir, Kecamatan Ketungau Hilir.
Jarot begitu senang melihat hasil tangkapan warga pada 6 Juni 2023. Beragam jenis ikan air tawar berhasil terjaring. Ada lais, belidak, toman, gabus, patik hingga baung. Jumlahnya bisa mencapai ratusan ekor.
Saat menyaksikan panen ikan, Jarot didampingi Ketua DPRD Kabupaten Sintang, Florensius Ronny. Dalam kesempatan yang sama, Jarot menyerahkan Surat Keputusan Bupati Sintang Nomor : 523/1300/KEP-DKPP/2022 tentang Penetapan Kawasan dan Zonasi Danau Jentawang kepada Pemerintah Desa Jentawang Hilir.
Prestasi warga desa membuat Ronny berseri-seri. Kepada wartawan yang mewawancarainya, politikus kelahiran Nanga Silat, 30 Mei 1989 ini mengucapkan terima kasih kepada WWF-Indonesia. Berkat kerja sama nan apik, warga Desa Jentawang Hilir mampu mengelola danau secara berkelanjutan.
“Saya mengapresiasi kepada WWF telah mendampingi masyarakat di Jentawang Hilir. Mudah-mudahan tetap terus bekerja sama. Atas nama Ketua DPRD Sintang, saya mengucapkan ribuan terima kasih. Jangan berhenti hanya di Jentawang Hilir, kami berharap merambah ke danau lain, ujar Ronny kepada wartawan yang mengikuti panen raya bersama warga desa.
Danau Jentawang selama bertahun-tahun mengalami ancaman penurunan kualitas lingkungan. Ada banyak masalah yang menyertainya, mulai dari penambangan liar, eksploitasi lahan untuk perkebunan kelapa sawit hingga penangkapan ikan dengan cara penyetruman dan tuba.
Kebanggaan pengelola negara dan wakil rakyat itu tentu saja menular kepada Ketua Lembaga Danau Batu Nyadi Yoshua Arai. Sebagai tokoh masyarakat, pria kelahiran 1978 ini mengisahkan proses panen ikan yang telah berjalan selama tiga kali itu. “Waktu panen raya pertama, saya sibuk dalam persiapan acara penyambutan Pak Bupati. Jadi saya nggak terlalu sibuk di airnya,” cerita Arai.
“Waktu panen raya ketiga itu, itu lebih banyak dari panen raya kedua, karena orang sudah tahu cerita dari panen raya kedua, rupa ikannya banyak. Sekarang mau uji coba lagi di panen raya ketiga, ternyata ikannya memang luar biasa banyak. Kami sudah mulai dari jam 9 pagi, kami selesainya jam 2 siang. Ada yang bilang, masih ayo, kita masih nyari lagi. Saya bilang, stop. Karena sistem kita, kita berbagi hasil.”
Pria yang sehari-hari bekerja di ladang dan kebun ini menjelaskan sistem bagi hasil yang mereka terapkan dalam panen raya. “Beri hasil dari 150 kilo, ibaratnya atau 600 kilo itu kita bagi dari semua yang hadir. Misalnya yang hadir satu keluarga itu, ada dua atau tiga orang, yang dapat bagi itu hanya dua orang, hanya dua keluarga, hanya dua orang.”
Pendidikan terakhir Arai hanya sampai pada tingkat sekolah dasar. Namun, ia mampu memimpin lembaga pelestarian yang terus mengajak warga desa untuk mengelola danau secara berkelanjutan. Arai pun menjadi saksi atas kondisi Danau Jentawang pada masa lalu.
“Kalau menurut cerita orang-orang tua kita, yang memang karena Jentawang ini terkenal dengan sumber daya alam, seperti ikan. Karena memang tahun 1980-an saya sudah ingat betul bahwa di Sungai Jentawang ini ikannya memang cukup banyak, Pak. Cukup banyak.”
“Dulu kita kurang kalau tidak terlalu kenal yang namanya ‘serpang’ untuk mencari ikan itu, jadi kita pakai parang. Kalau kita mencari ikan malam-malam, cari pakai parang itu. Kalau untuk mencari yang 5-6 kilo itu sangat gampang. Kita tinggal pilih ikan yang mau kita makan, itu yang kita ambil.
Lantas, Arai bercerita mengenai proses pendampingan yang dilakukan bersama WWF-Indonesia. Pada awalnya, warga desa menyusun peraturan. Dalam pertemuan yang berlangsung maraton, para peserta yang hadir bersepakat perilaku menyimpang dalam memanen atau mengambil ikan harus disingkirkan.
“Dengan adanya peraturan desa (perdes), seperti penubaan, walaupun penubaan itu penubaan tuba adat, tapi itu tetap merusak dan tetap membunuh ikan keseluruhan. Itu yang kita buat peraturan. Lalu kita buat peraturan yang berikutnya juga, di perdes itu kita tuangkan supaya penangkapan ikan yang berlebihan yang menggunakan warin (jermal) itu juga kita larang dan kita atur di perdes itu supaya tidak lagi menggunakan alat tangkap yang ukuran yang paling kecil seperti warin,” papar Arai panjang lebar. Peraturan turut mengatur alat tangkap ikan. Pukat berukuran dua setengah inci tidak lagi diperbolehkan.
Arai mengakui pada awal penyusunan dia belum mengikutinya. Ketika itu, kepala adat dan tokoh masyarakat yang hadir bersama kepala desa. Mereka berkumpul untuk mendengarkan paparan bagaimana memulihkan kondisi lingkungan yang terancam rusak, membuat peraturan hingga menuangkan isinya. Arai mulai mengikuti pertemuan ketika peraturan sudah setengah jadi. Dia berperan aktif untuk menyeleksi bagian mana yang perlu direvisi atau justru ditambah agar semakin kuat.
Begitu penyusunan peraturan telah selesai, Lembaga Danau Batu Nyadi bergerak cepat. Mereka melakukan sosialisasi kepada warga. Penjelasan aturan menitikberatkan pada pembagian zona yang sudah mereka susun untuk mengelola Danau Jentawang secara berkelanjutan.
“Kita sudah tentukan, ini zona lindungnya. Ini zona intinya. Lalu masyarakat bertanya, itu terus bagaimana, kalau sudah ada danau lindungnya, kalau sudah ada zona intinya, terus masyarakatnya bagaimana, jadi memang aktivitas di zona itu memang kita larang, kita larang sepenuhnya, baik orang luar, orang dalam. Pokoknya, dilarang untuk melakukan aktivitas di zona inti,” Arai menjelaskan.
Peraturan yang telah mereka susun sangat penting diketahui seluruh lapisan masyarakat. Sebab, mereka ingin kualitas ekosistem di sekitar tempat tinggal dapat pulih kembali. “Jadi tidak ada alasan, oh saya tidak tahu aturan ini. Warga yang hadir harus bisa sosialisasikan ke tetangga, keluarga, supaya semuanya tahu, oh titik ini tidak boleh melakukan aktivitas.”
Dengan berlakunya peraturan bersama, warga ingin generasi penerus tetap mengenal jenis ikan lokal yang bisa mereka dapatkan dengan mudah di sistem perairan Jentawang. Sekalipun warga belum ada yang mengambil profesi sebagai nelayan, namun pengenalan jenis ikan lokal memainkan peran kunci pelestarian di masa mendatang.
“Kami hanya ingin supaya ikan kami ini bertahan dan bahkan berkembang. Di wilayah Desa Jentawang Hilir, belum ada yang mengandalkan mata usaha pencariannya di nelayan. Jadi semuanya masih berladang, semuanya masih buruh, kebun, jadi kalau mau cari pekerjaan, mengharapkan pekerjaan sebagai nelayan, belum ada,” Arai menerangkan dengan seksama.
Pria ramah ini mengungkapkan harapan masa depan. Ia ingin populasi ikan danau terus berkembang pesat. Dengan adanya ikan yang berlimpah, Arai ingin sumber daya air ini mampu menyokong warga desa. Terutama, bagi warga yang tidak memiliki lahan kebun atau ladang. “Kami berharap ada warga yang mau jadi nelayan. Kalau mereka tidak punya kebun, maka mereka bisa mendapatkan penghasilan dari menangkap ikan.”[]