BELAJAR KONSERVASI DARI MASYARAKAT ADAT
Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang jatuh setiap tanggal 9 Agustus adalah saat yang tepat bagi kita merefleksikan tentang konservasi. Mengapa? Karena kita bisa belajar banyak dari masyarakat adat tentang konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan perawatan bumi.
Selama ini, konservasi yang dilakukan oleh pemerintah atau organisasi masyarakat madani dianggap sebagai model konservasi yang sah. Terkadang, perlindungan kawasan konservasi diartikan sama dengan melarang masyarakat untuk beraktivitas di dalamnya—sebuah pandangan tentang konservasi tanpa ada unsur manusia. Namun pada kenyataannya, tidak semua kegiatan manusia bersifat eksploitatif dan anti konservasi.
Misalnya, masyarakat Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Bagi mereka, konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam adalah hal yang sama: merawat hutan sebagai sumber penghidupan, sumber pangan dan kesehatan, dan bagian dari identitas budaya. Ada hubungan kuat dan mendalam antara masyarakat adat dan ruang hidupnya. Hal ini menimbulkan keyakinan bahwa hutan dan keanekaragaman hayati yang ada akan terus menunjang kehidupan komunitas di masa depan. Mereka berprinsip “jika alam dihargai maka alam akan menyediakan yang dibutuhkan.”
Tidak ada perbedaan atau garis pemisah yang jelas antara konservasi, kehidupan, dan budaya. Konservasi termasuk kegiatan manusia, kearifan lokal dan nilai-nilai masyarakat adat yang tergantung pada sumber daya alam untuk hidup dan untuk kelanjutan warisan budaya. Konservasi masyarakat adat adalah konservasi yang inklusif dan holistik.
Global Environment Facility (GEF) mengadopsi ‘inclusive conservation’ dalam strategi menjaga keanekaragaman hayati terbaru. Areal yang dikelola masyarakat adat dan masyarakat setempat di dunia ini mengandung 80% dari seluruh kenekaragaman hayati sedunia. Kemudian, hasil penelitian membuktikan bahwa di mana hak masyarakat atas ruang hidupnya diakui dan dihargai, maka tingkat deforestasi lebih rendah, dan keterlibatan masyarakat adat sebagai aktor konservasi menghasilkan capaian yang lebih baik.
Kawasan konservasi masyarakat adat (KKMA) atau ICCAs adalah contoh baik konservasi oleh masyarakat adat yang berasal dari keterpaduan antar beberapa aspek yaitu penghidupan, ketahanan pangan dan air, konservasi dan keamanan lingkungan. Dari sudut pandang hak, KKMA atau ICCAs adalah realisasi hak atas ekonomi dan lingkungan, sosial dan budaya. KKMA atau ICCAs tidak hanya berkontribusi terhadap konservasi beberapa habitat penting, kenekaragaman hayati dan jasa lingkungan, namun mereka juga mendukung kehidupan jutaan manusia.
Pengakuan terhadap KKMA atau ICCAs bisa menjadi upaya mencari keseimbangan antara pentingnya melindungi habitat tertentu dan menghargai hak masyarakat adat yang akan memelihara ruang tersbeut. Dengan adanya pendekatan ini, maka dapat kita lihat bahwa nilai budaya dan alam sangat terikat dalam lanskap tertentu, dan masyarakat adat adalah bagian inti dari upaya menjamin nilai-nilai tersebut tetap hidup.
Kekuatan KKMA atau ICCAs dan konservasi yang inklusif sangat bergantung pada kekuatan masyarakat sendiri. Lembaga adat dan nilai yang selama ini mendasari cara konservasi yang inklusif dan holistik perlu terus didukung dan dikuatkan melalui pengakuan, informasi dan peningkatan kapasitas. Sehingga masyarakat adat mampu menjadi aktor konservasi yang bertanggung jawab dan setara, baik di Indonesia maupun di luar negeri.