NELAYAN DAN IKAN-IKAN DI JANTUNG BORNEO
Oleh: Shella Rimang
Wartawati Suara Pemred
Tulisan ini dibuat dalam rangka Pre-event Festival Danau Sentarum 2018
Kondisi pasang surut Danau Sentarum, membuat warga yang tinggal di kawasan danau yang masuk dalam wilayah Jantung Borneo itu hanya mengenal dua musim. Musim penghujan atau pasang yang dikenal sebagai musim madu dan musim kemarau berarti musim ikan. Pada musim antara penghujan dan penghuja, saat air danau mulai terisi kembali, aroma-aroma ikan masih menghiasi perkampungan nelayan.
Bahkan, ketika hanya melewati kampung nelayan menggunakan sepit, transportasi paling umum digunakan di kawasan danau, aroma ikan-ikan yang telah direndami garam bercampur terik matahari, tetap menyapa indra penciuman. Uniknya, nelayan-nelayan di kawasan Sentarum tetap mempertahankan kearifan lokal dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar dengan cara menangkap ikan dengan alat-alat tradisional. Pukat dan bubu adalah alat-alat penangkap ikan yang paling sering dijumpai di sepanjang aliran danau ketika musim kering.
Kedua alat penangkap itu memiliki bahan baku yang sama, yaitu tali berukuran kecil. Cara pembuatannya pun relatif sama, hanya pada bubu, tali-tali yang dijalin akan pada kayu berbentuk kotak segi empat sama sisi tanpa dinding pembatas. Namun, kedua alat penagkap yang sudah ada sejak lama itu, akan menghasil tangkapan yang berbeda. “Kalau pasang bubu, bisa mencapai 20-30 kilogram sekali panen. Tapi kalau pukat, tidak bisa dapat sebanyak itu, paling banyak 10-20 kilogram,” papar Ahmad Rofa’i (70), warga kampung nelayan Tekenang, Rabu (26/9) lalu.
Sistem pemasangan di area danau—yang jika musim kemarau membentuk aliran sungai-sungai kecil—juga memiliki perbedaan. Pukat bisa dipasang setiap hari, biasanya di area dalam di tengah sungai. Sementara bubu, sistem pemasangan lebih di area dangkal di tepi sungai. Panen dilakukan tiga hari sekali. Caranya, bubu dibiarkan dulu di dalam sungai, tiga hari kemudian baru diangkat untuk mengambil ikan.
Hasil tangkapan yang didapatkan di danau, tidak bisa dipastikan sama setiap tahun. Contohnya tahun ini, kata Rofa’i, hasil tangkapan lebih banyak dari tahun lalu. Penyebabnya, tahun lalu ikan biawan kurang. Sementara tahun ini ikan biawan lebih banyak, ikan jenis lain agak berkurang. Rofa’i, satu di antara nelayan yang mengaku sudah bersahabat dengan air mengatakan, pada tahun-tahun yang telah lewat, hasil tangkapan malah cenderung sedikit. “Lama tidak ada musim kemarau. Jadi, ikan-ikan tu masuk dalam tanah yang kebakaran,” ujarnya sambil memilih-milih ikan asin yang akan dijual.
Banyaknya hasil tangkapan juga bergantung pada musim. Rofa’i mengaitkan musim-musim yang dikenalnya dengan hasil tangkapan. Jika musim kemarau, hasil tangkapan banyak. Pertengahan musim antara musim kemarau dan penghujan, ikan-ikan sudah mulai berkurang. Apalagi jika sudah pasang, hasil tangkapan ikan menjadi sangat sedikit. “Ikan biawan yang paling banyak di sini. Ndak ada ikan lain. Biawan ada setiap hari. Cuma banyak sedikitnya, ndak pasti,” tuturnya.
Berbeda dari lebah, untuk memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak tidak ada ritual khusus yang dilakukan. Hasil tangkapan murni usaha sang nelayan dan bergantung keberpihakan dewa keberuntungan. Karena di sekitar Tekenang merupakan kampung nelayan, sumber penghasilan warga hanya ikan. Oleh sebab itu, hasil tangkapan biasanya segera diolah dan didistribusikan ke daerah-daerah lain. Ada ikan segar (dikemas dalam boks, diberi es batu), ikan asin, dan ikan salai (ikan asap). Khusus untuk ikan biawan, telurnya bisa diasinkan dan dijual terpisah.
Mengenai harga ikan, khususnya ikan asin, tanggapan datang Abang Usman, nelayan dari Dusun Semangit, Desa Leboyan, Kecamatan Selimbau yang juga lebih sering menggunakan bubu untuk menangkap ikan. Menurutnya, di Semangit, ada beberapa jenis ikan yang dijadikan ikan asin. Tidak hanya biawan, ada toman dan lais. Ikan selanjutnya akan dibersihkan, direndami air garam, dan dijemur setidaknya empat hari. “Kalau udah kering, (harga) bisa mencapai 30-40 sekilo,” ujarnya.