MEMBANGKITKAN ADAT DAN BUDAYA ALA WARGA DUSUN KEDUNGKANG
Oleh: Shella Rimang
Wartawati Suara Pemred
Tulisan ini dibuat dalam rangka Pre-event Festival Danau Sentarum 2018
Danau Sentarum agaknya tak hanya sekadar danau yang menghubungkan berbagai daerah di Kapuas Hulu, namun juga menghubungkan masyarakat dari berbagai latar belakang. Masyarakat yang tinggal di danau lebih dekat ikan, sementara masyarakat yang tinggal di pesisir danau lebih dekat dengan hasil hutan, misalnya warga Dusun Kedungkang, Desa Sepandan, Kecamatan Batang Lupar.
Warga Dusun Kedungkang yang tinggal di betang atau rumah panjang, menggunakan kayu-kayu dari hutan di sekitar untuk membangun betang. Betang yang telah mereka tempati sejak 1987, baru direnovasi pada 2017 lalu. Walau telah direnovasi, bahan-bahan rumah betang tetap menggunakan kayu untuk mempertahankan keaslian budaya masyarakat Dayak. Kayu yang paling mendominasi adalah kayu ulin (belian). Tampilan itu tampak mulai dari lantai, dinding, hingga atap betang.
Oleh sebab itu, dusun terujung di pesisir Danau Sentarum yang berada di Kecamatan Batang Lupar itu, sering menjadi tujuan para wisatawan. Setiap hari, setidaknya tetap ada 2-3 wisatawan mengunjungi dusun yang memiliki dua betang dengan posisi berhadap-hadapan. Tujuan para penikmat alam ada di sebuah bukit, sebelum memasuki dusun. Bukit itu dinamakan Bukit Babi, entah karena apa. Panorama yang tersaji di bukit sungguh berbeda dengan namanya. Dari yang dipenuhi hijau ilalang itu, akan terlihat sudut pandang Danau Sentarum yang indah dan memanjakan mata.
Selain Bukit Babi, ada juga Jembatan Kedungkang yang posisinya tepat di samping betang. Posisi tersebut sangat menguntungkan wisatawan karena bisa berkunjung ke dua tempat sekaligus: menyinggahi betang dan mengitari jembatan sepanjang 700 meter. Jembatan yang sedang dalam proses penambahan itu, jika air danau sedang pasang, akan langsung menghubungkan betang dan Danau Sentarum. “Nantinya juga akan dibuat pentas hiburan dan tempat bersantai bagi pengunjung,” ujar Lom, Tuai Rumah sekaligus Kepala Dusun Kedungkang, Kamis (27/9) lalu.
Meskipun sering menerima kunjungan wisatawan dan berinteraksi dengan orang asing, warga dusun tetap setia pada kearifan lokal dan budaya. Mereka yang rata-rata petani, tidak tergoda dengan kemajuan zaman. Meskipun membuka lahan untuk berladang, mereka akan mereboisasi dengan tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan, seperti durian, jengkol, dan karet. Mereka akan membuka lahan seperlunya untuk menanam padi dan jagung, namun tetap menjaga agar tidak terjadi kebakaran hutan.
Mengantisipasi agar tidak terjadi kebakaran lahan, bagi yang berladang, warga Dusun Kedungkang menyepakati dibuat hukum adat. Hukum adatnya berupa ganti rugi tanaman yang terbakar. Satu pohon yang terbakar, akan dibayar ganti rugi oleh si pembakar, bergantung jenis dan diameter pohon. “Hukum adatnya belum dicantum benar-benar (tertulis-red). Biasanya Rp.25.000,- per batang untuk karet. Durian beda lagi, bisa jutaan,” tutur Lom.
Adanya hukum adat yang menjerat, seimbang dengan peraturan adat yang adil. Misalnya, ketika warga dusun ingin mengambil pohon kayu ulin untuk memperbaiki bangunan yang rusak, maka warga dusun akan bersama-sama ke hutan, menebang pohon, dan mengangkut hasilnya sampai ke betang. Kemudian, kayu ulin yang telah diolah, akan dibagi rata per betang. “Untuk kayu ulin karena sulit didapatkan, biasanya ada pembagian hasil kayu. Misalnya jika kayu ulin dibuat menjadi atap. Atap akan dibagi rata, biar cuma lima keping per KK,” papar Lom.
Seharian pergi bekerja di ladang atau di kebun, tak mengurangi keramahan penduduk Dusun Kedungkang. Bahkan, mereka sudah melakukan persiapan Festival Danau Sentarum dari jauh hari. Warga sudah menyiapkan berbagai macam kerajinan tangan, seperti kain tenun yang menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan hutan. “Kalau menggunakan pewarna alami, kalau basah tidak akan luntur. Kalau pewarna buatan, mudah luntur,” papar Lom.
Berbeda dengan kain tenun yang biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan, warga laki-laki ada yang membuat parang, sabit (tas gendong tradisional yang terbuat dari rotan, biasanya digunakan untuk mengangkut hasil alam), dan uyut alias tas gendong tradisional berbentuk bulat, juga terbuat dari rotan. Warga begitu antusias menyambut festival yang akan diselenggarakan pada akhir Oktober ini. Apalagi, Dusun Kedungkang juga menjadi satu di antara tuan rumah lomba perahu naga/bidar.
Ada beberapa alasan, warga Kedungkang begitu antusias menyambut festival bertajuk Heart of Borneo inisiasi tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Pertama, ingin menunjukkan jati diri mereka. Kedua, menghidupkan kembali adat dan budaya mereka. “Dulunya, adat kami hampir punah. Namun karena dorongan dari berbagai pihak, termasuk WWF-Indonesia, adat dan budaya kami hidup kembali,” pungkas Lom.