WASIR, SANG PENIMANG RATU LEBAH
Oleh: Shella Rimang
Wartawati Suara Pemred
Tulisan ini dibuat dalam rangka Pre-event Festival Danau Sentarum 2018
Selanjung suang nak mudit
Turus pakau turus lalau
Wasir, pria yang tidak bisa menebak lagi berapa usianya itu, terus menimang (menyanyikan syair) dalam bahasa Melayu Selimbau. Di rumahnya, Dusun Semangit, Desa Leboyan, Kecamatan Selimbau, pria yang rambutnya sudah dimakan usia itu, mengingat-ingat urutan timang. Sesekali, di akhir bagian timang, ia menepuk tangannya. Sebab, begitulah cara menimang. “Itu timang untuk manjat (lalau),” ujarnya dengan dialek Melayu yang kental, Rabu (26/9) lalu.
Wasir mengakui, ia belajar timang secara otodidak dari neneknya. Sejak kecil, ia sering mengikuti orang memanen madu, baik pada lalau maupun pada tikung. Ketika memanen madu pada lalau, ia selalu mendengar neneknya menimang dari karung. Dulu, kata Wasir, belum ada jaring seperti sekarang. Jadi, satu-satunya cara mewaspadai sengatan lebah, masuk dalam karung. “Mau nengok orang memanen tikung, saya masuk dalam karung,” tuturnya sambil menerawang dan terkekeh.
Ada beberapa urutan timang yang masih Wasir ingat. Selain timang untuk memanjat lalau, ada juga timang ketika pemanen madu sudah berada di dahan lalau. Selanjutnya, ada timang untuk meminta izin (pada penunggu lalau) agar dibukakan pintu. Selayaknya mendatangi rumah seseorang, sebagai tamu, harus meminta izin terlebih dahulu. Jika tidak dibukakan pintu, maka tidak akan bisa masuk. Ada juga timang agar tidak disengat lebah. Bahkan, kalau menuruni lalau juga ada timangnya. Setiap timang ada tujuannya masing-masing.
Pria yang memilih tetap tinggal di kampung meskipun beberapa anaknya sudah tinggal di kota itu juga mengaku, hingga sekarang hanya dirinya sendiri yang bisa menimang di dusunnya. Memang, timang-timang yang sudah dihafalnya, sudah ditulis oleh anak-anaknya. Masalahnya, anak-anaknya tidak mau menimang. “Saya sudah mengajari anak juga, tapi dia tidak mau,” kata Wasir dengan nada rendah.
Menurut pria yang suka tersenyum ketika berinteraksi dengan lawan bicara itu, setidaknya faktor yang mengacu pada kata “tidak mau”. Pertama, memang orang yang tidak belajar menimang. Kedua, ada yang bisa menimang, namun lebahnya “tidak mau mendengarkan”; tidak mau datang. Timang didengarkan lebah bergantung dari suara. Jika tidak bagus, tidak akan berhasil. Sebabb, tujuan dari timang sendiri adalah menyemangati si pemanen dan membuat ratu lebah tersenyum.
Wasir mengatakan, ia termasuk baru bisa menimang. Keahlian itu mulai diaplikasikan terhitung sejak 2006 silam. Selama ini, sudah cukup banyak yang belajar timang padanya. Hanya, sekali lagi, belum ada yang bisa menarik perhatian lebah. Di rumahnya yang dipenuhi aroma ikan, Wasir yang didampingi oleh istri, anak, dan cucunya, mengatakan bahwa ia sudah mengajarkan cucunya menimang. Apakah cucunya akan melestarikan tradisi menimang yang terancam itu? Entah, Wasir yang masih menebak-nebak usia senjanya, tentu tidak bisa menebak jawaban waktu yang tertulis garis tangan sang cucu.