SI MANIS DARI UNCAK KAPUAS
"Oleh: Shella Rimang
Wartawati Suara Pemred
Tulisan ini dibuat dalam rangka Pre-event Festival Danau Sentarum 2018
Jika berkunjung ke Danau Sentarum, tidak sah jika tidak membawa oleh-oleh madu hutan Danau Sentarum. Sebab, madu Danau Sentarum memiliki kekhasan dibandingkan dengan madu dari daerah lain di Kalimantan. Daerah di sekitar Danau Sentarum, lebih didominasi lahan gambut. Pepohonan yang tumbuh pun khas. Bunga dari pohon-pohon yang ada di kawasan danau, akan memengaruhi rasa madu hutan Danau Sentarum. “Karena rasa bergantung dengan bunga yang dikonsumsi oleh lebah. Bunga yang paling khas di Danau Sentarum adalah bunga pohon putat dan bunga pohon emasung,” ujar Manager Pengolahan Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS), A.M. Erwanto, Rabu (26/9) lalu.
Selain memengaruhi rasa, bunga pohon di kawasan Danau Sentarum juga berpengaruh pada warna madu. Misalnya, jika lebah mengonsumsi bunga putat, warna madu agak jingga. Sementara bunga emasung, madu agak bening. Sistem panen juga turut menjadi kekhasan madu hutan Danau Sentarum. Sistem panen madu masyarakat di kawasan danau adalah sistem panen lestari. Jika panen pertama di bulan Desember, sarang masih bisa bertahan sampai Maret. Karena, panen pertama hanya mengambil bagian kepala sarang. “Itu keistimewaan panen madu secara lestari. Intinya, panen lestari tidak membunuh anak lebah. Kita adopsi panen lestari ini dari Vietnam,” ungkap Erwanto sambil mengecek kemasan madu di sekretariat APDS.
Lebah madu di kawasan Danau Sentarum sangat sensitif dengan alam. Lebah akan datang sekali dalam setahun, pada musim penghujan antara September-Maret. Enam bulan itu terhitung dari proses pembuatan sarang hingga panen. Oleh sebab itu, selain menjaga hutan, petani madu di kawasan Sentarum mengakali lebah dengan dahan buatan. Menurut Erwanto, di kawasan Sentarum, tempat lebah bersarang ada tiga, yaitu tikung (dahan buatan), repak (dahan alami), dan lalau atau pohon besar tempat lebah berkoloni, bisa mencapai 100 sarang.
Jika baru pertama kali mendengar tentang jenis tempat sarang lebah, “tikung” akan menjadi sesuatu yang menarik perhatian. Tikung bukanlah hal baru bagi petani di kawasan Sentarum. Pasalnya, tikung sudah menjadi tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Tempat memasang dahan buatan yang berbentuk sampan kecil itu pun tidak sembarangan. Tikung biasanya dipasang pada pohon yang rindang. Sebab lebah tidak mau berada di tempat terang, maka pohon kecil tidak bisa dijadikan tempat memasang tikung. Jika sudah menemukan pohon rindang, tikung dilekatkan pada pohon tersebut, dengan syarat, di belakang pohon harus gelap. “Lebah tidak mau terang. Jadi, hanya kepala tikung yang kelihatan, bagian lainnya tersembunyi. Lebah juga begitu menjaga suhu sarangnya. Suhu sarang harus 33 derajat,” papar Erwanto.
Madu yang telah dipanen oleh petani di kawasan Sentarum, selanjutnya akan dijual di koperasi APDS yang terletak Dusun Semangit, Desa Nanga Leboyan, Kecamatan Selimbau, Kapuas Hulu. Di APDS, madu-madu yang masih banyak mengandung air, diolah kembali.
APDS sendiri merupakan asosiasi berbentuk koperasi itu berdiri pada Mei 2016. APDS membawahi 15 periau yang ada di kawasan Danau Sentarum. Perlu diketahui, periau adalah nama tempat (kampung) berdasarkan kearifan lokal. 15 periau yang menjadi wilayah kelola APDS antara lain: Tikung Periau Tempurau, Tikung Periau Semangit, Tikung Periau Semalah, Tikung Perian Majang, Tikung Periau Pengembung, Tikung Periau Pengembung, Tikung Periau Telatap-Pelaik, Tikung Periau Sumpak, Tikung Periau Meresak, Tikung Periau Melingkung, Tikung Periau Lupak Mawang, Tikung Periau Lubuk Pengail, Tikung Periau Lubuk Kalakati, Tikung Periau Danau Luar, Tikung Periau Belibis Panjang, Tikung Periau Bekuan, dan Tikung Periau Suda. Di setiap periau, masing-masing ada pengurusnya. “Semua diorganisir di periau masing-masing, sebelum masuk ke gudang ini,” tutur Erwanto.
Madu di yang ada APDS, selanjutnya dikirim ke Jakarta. Ada yang diolah juga di APDS. Menurut Erwanto, madu yang dikirim ke Jakarta berjumlah 7 ton, sementara stok di APDS 3 ton. Hingga kini, setidaknya 1 ton madu yang sudah dimuat ke botol kemasan 300 gram. Keseluruhan jumlah madu itu adalah stok untuk seluruh Indonesia. “Stok ini dimaksudkan agar kita menjaga suplai madu, supaya madu tahun 2018 sampai dengan panen di 2019,” imbuh Erwanto.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ardi Andono, Kepala Bidang Konservasi Balai Besar Betung Kerihun dan Danau Sentarum. Menurutnya, Kapuas Hulu merupakan daerah penghasil madu organik. “Kita penghasil madu organik minimal 20 ton per tahun. Dan, yang paling terkenal adalah madu Danau Sentarum (merujuk pada APDS). Karena lebahnya makan pohon-pohon yang ada di sekitar danau itu,” ujarnya.
Selain fokus pada pengolahan dan penjualan madu, APDS juga fokus pada kesejahteraan petani. Jadi, keuntungan dari adanya asosiasi yang telah menerima sertifikat produk organik dari BIOCert dan sertifikat halal dari MUI Kalbar itu terletak pada harga. Dulunya, pada panen pertama yang berlangsung pada bulan Desember, petani akan rebutan panen, mengejar harga tertinggi. Alhasil, pada panen kedua dan ketiga, madunya sudah banjir. Akibatnya, madu tidak tertampung lagi dan harga pun jauh menurun. Sekarang, dengan hadirnya APDS, di semua musim panen, harga menjadi standar.
APDS sarat dengan nilai konservasi, maka mereka begitu mendukung warga yang menjaga hutan. Lebah madu ini sangat sensitif dengan alam. Kalau alamnya rusak atau terjadi kebakaran, tahun berikutnya, lebah pasti tidak ada. Menurut Erwanto, itu sudah pernah terjadi, terakhir tahun 2005. Karena ada asap kiriman dari tempat lain, lebah tidak datang. Petani madu menjadi kesusahan. Pasalnya, lebah merupakan pengganti musim ikan. Kalau musim kemarau, musim ikan. Kalau musim hujan dan pasang berarti musim lebah dan madu.
Asosiasi yang sudah memiliki lebih dari 300 anggota itu, dibantu oleh Balai Besar Betung Kerihun dan Danau Sentarum, serta mendapat perhatian dari WWF-Indonesia. Sebabnya, asosiasi tersebut berlandaskan pada tradisi masyarakat adat, yaitu menjaga hutan. Untuk periau-periau terpilih yang termasuk dalam wilayah kelola APDS, di setiap periau ada Masyarakat Peduli Api (MPA) lengkap dengan alat pemadam kebakaran. Tinggal di kawasan lahan gambut, membuat masyarakat sangat waspada. “Ketika musim kemarau, mereka begitu menjaga hutan, misalnya tidak membuang puntung rokok secara sembarangan. Karena tikung dan lebah merupakan aset masyarakat,” terang Erwanto, pria yang mengaku sering disengat lebah dan tidak pernah bosan minum madu itu.
Erwanto juga mengatakan, pengolahan madu di APDS sangat membantu masyarakat. Di salah satu kawasan taman nasional di Uncak Kapuas itu, masyarakat hanya mengenal dua musim: musim madu dan musim ikan. Ketika musim madu, musim ikan tidak ada. Maka, untuk mengantisipasi terjadi kebakaran lahan, yang bisa menyebabkan hilangnya lebah penghasil madu, masyarakat di sekitar Danau Sentarum, membuat kesepakatan. Jika ketahuan ada yang membakar hutan, pelaku harus membayar ganti rugi. “Satu tikung diganti Rp 50.000.- Misalnya, di satu lokasi ada ribuan tikung, kan sakit juga jadinya,” pungkas Erwanto berkelakar. "