NASIB LUMBA-LUMBA YANG TERJERAT JARING NELAYAN DI SORONG SELATAN
“Saat saya menangkap ikan pakai jaring di dekat Pelabuhan Baru, terlihat lumba-lumba sudah terlilit, lalu saya mulai tarik jaring dan angkat ke atas perahu kemudian lumba-lumba tersebut saya bawa ke Kampung Safolo,” ujar Samuel saat diwawancarai. Samuel merupakan salah seorang nelayan aktif yang kesehariannya mengandalkan potensi perikanan di sekitar perairan estuaria Kabupaten Sorong Selatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia selalu menggunakan jaring sebagai alat tangkap utama.
Hari senin, 16 Maret 2020 sekitar pukul 9:00 WIT, ditemukan lumba-lumba diduga jenis Lumba-lumba Bungkuk (Sousa chinensis) terjerat secara tidak sengaja di alat tangkap jaring insang hanyut (gillnet) dalam kondisi mati atau termasuk dalam Kode 2 atau baru saja mati. Kode 2 ini dicirikan dengan; hewan tidak bergerak, tidak ada refleks, tidak bernafas, kondisi daging masih pejal/kencang, bangkai tidak berbau, dan mata hewan tidak berkilau.
Lokasi tertangkapnya lumba-lumba tersebut di dekat Pelabuhan Baru, Kampung Wersar. Wilayah ini merupakan salah satu tempat yang kerap kali sering ditemui jenis lumba-lumba yang berkelompok dan bermain di sepanjang muara Sungai Teminabuan. Daerah ini juga merupakan jalur transportasi laut regular yang keluar masuk Teminabuan, Ibu Kota Kabupaten Sorong Selatan.
Foto lumba-lumba yang di daratkan tersebar ke berbagai media sosial, berdasarkan informasi tersebut, tim lapangan Enumerator Perikanan WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) berkoordinasi dengan jejaring penanggap pertama (First Responder Network) penanganan mamalia laut terdampar Papua Barat untuk melakukan pengecekan lapangan. Pukul 13.00 WIT, tim melakukan penelusuran informasi dan didapati lumba-lumba tersebut sudah dipotong-potong untuk dikonsumsi. Dalam kondisi tersebut, tim lapangan tetap melakukan pengamatan dan mengumpulkan informasi tentang kejadian lumba-lumba terlilit jaring. Hasil pengamatan menunjukan ukuran panjang lumba-lumba mencapai 1,5 m, sedangkan untuk jenis kelamin tidak diketahui.
Masyarakat Kampung Safolo mulai berdatangan untuk melihat kondisi lumba-lumba yang sedang dipotong menjadi beberapa bagian di pinggiran sungai. Salah satunya Mama Maria yang merupakan salah seorang yang tinggal di pinggiran sungai Kampung Safolo, beliau mengaku sudah 2 sampai 3 kali melihat nelayan lain mendaratkan lumba-lumba selama setahun belakangan ini, bahkan dengan ukuran yang lebih besar. “Kasus sebelumnya lumba-lumba ditemukan dalam kondisi hidup sehingga dilepas kembali ke laut,” ujarnya.
Beliau juga menambahkan, “Sebagian masyarakat yang tinggal di Kampung Safolo tidak pernah mau mengambil lumba-lumba apalagi sampai mau dimakan. Kami tidak tega dikarenakan lumba-lumba diyakini sebagai penolong apabila terjadi musibah di laut dan merasa takut ada kejadian yang mungkin bisa berdampak bagi mereka yang tinggal di pinggiran sungai akibat dari mengambil dan mengkonsumsi lumba-lumba.” Namun sayangnya, tidak semua masyarakat yang tinggal di Kampung Safolo meyakini hal itu sehingga daging lumba-lumba tetap dikonsumsi oleh beberapa orang. Nelayan Kampung Safolo juga belum mengetahui peraturan tentang perlindungan lumba-lumba dan cara penanganan lumba-lumba jika terdampar atau tertangkap di jaringnya. “Belum ada sosialisasi dari pihak manapun,” tegas Mama Maria.
Selepas mengecek kondisi lumba-lumba, tim Enumerator Perikanan mencoba memberi pemahaman kepada beberapa orang yang tinggal di pesisir sungai tentang status perlindungan penuh terhadap lumba-lumba dan pentingnya menjaga populasi lumba-lumba di alam serta prosedur penanganan lumba-lumba bila tertangkap dalam kondisi masih hidup maupun yang sudah mati.
Saat ini, semua jenis mamalia laut termasuk paus, lumba-lumba, porpoise dan duyung yang ditemukan di perairan Indonesia sudah dilindungi secara penuh dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Keberlanjutan konservasi mamalia laut di Indonesia juga telah ditetapkan di dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 79/KEPMEN-KP/2018 tentang Rencana Aksi Nasional Konservasi Mamalia Laut Tahun 2018-2022.
Melihat masih seringnya kejadian mamalia laut terdampar, maka sosialisasi terkait hewan laut yang hampir punah, terancam dan dilindungi, serta cara penanganan mamalia laut terdampar, dan terjaring di alat tangkap nelayan baik dalam kondisi hidup ataupun sudah mati masih perlu dilakukan agar kedepannya masyarakat lebih sigap untuk melakukan penanganan secara benar dan mandiri bila terjadi kejadian seperti ini lagi. Selanjutnya, WWF-Indonesia dalam Proyek USAID SEA bersama mitra terkait akan mengadakan pelatihan penanganan mamalia laut kedua yang difokuskan di level pemerintahan, serta akan dilakukan evaluasi pelatihan di level masyarakat yang telah dilakukan pada tahun 2018. Pelatihan ini juga menjadi salah satu upaya untuk mempertahankan populasi lumba-lumba di Calon Kawasan Konservasi Perairan Seribu Satu Sungai Teo-Enebikia di Sorong Selatan.
Selain itu, upaya penanganan mamalia laut terdampar atau tidak sengaja tertangkap ini perlu dikembangkan secara kolaboratif dengan berbagai pihak, karena proses penanganannya membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai dan tersebar di instansi pemerintahan. Disamping itu, perlunya jejaring komunikasi dan koordinasi yang baik diantara para pemangku kepentingan supaya informasi kejadian yang tersebar dapat dengan cepat ditangani.