INDONESIA BERI MASUKAN PADA PENGEMBANGAN STANDAR EKOLABEL ASC IKAN LAUT TROPIS BERSIRIP
Oleh : I Komang Dianto (Fasilitator Lokal Aquaculture Improvement Program, WWF-Indonesia)
Permintaan terhadap produk yang ramah lingkungan saat ini cenderung mengalami peningkatan. Untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang dihasilkan berasal dari praktik yang bertanggung jawab, diperlukan standar yang kuat dan kredibel.
Dalam praktik budidaya perikanan, standar Aquaculture Stewardship Council (ASC) dikembangkan sebagai alat untuk mempromosikan praktik budidaya bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial. Standar ASC disusun spesifik per komoditas, meskipun saat ini ASC pun tengah menyusun core standard yang nantinya dapat diaplikasikan untuk semua komoditas.
Terdapat 8 standar ASC yang telah berlaku bagi 12 komoditas ikan budidaya. Dua di antaranya sudah diaplikasikan di Indonesia, yaitu standar untuk udang dan tilapia.
Melihat kecenderungan permintaan ikan budidaya secara global, ASC saat ini tengah menyusun standar budidaya yang lain, yaitu untuk komoditas ikan laut bersirip baik untuk tropis maupun subtropis; dan komoditas rumput laut.
Pengembangan standar ASC untuk ikan laut bersirip (marine finfish) seperti kakap dan kerapu dimulai pada tahun 2013, dan difinalkan draft awalnya pada Desember 2016. Konsultasi publik terhadap draft ini dilakukan secara online dan offline, melibatkan stakeholder dari seluruh dunia.
Indonesia pun tidak ketinggalan. Kantor WWF-Indonesia Sunda Banda Seascape di Denpasar, Bali, hari itu (25/07) diramaikan oleh para stakeholder dari berbagai perwakilan dari akademisi, peneliti, praktisi, industri, dan asosiasi perikanan budidaya.
Tim Akuakultur WWF-Indonesia tengah memfasilitasi diskusi mengenai penetapan standar ASC untuk komoditas ikan laut tropis bersirip (grouper, snapper, barramundi, dan pompano). Diskusi ini digelar untuk memastikan standar ASC dapat diaplikasikan di Indonesia
“Terdapat 7 prinsip dalam draft standar ASC yang didiskusikan,” jelas Cut Desyana, National Aquaculture Program Coordinator, WWF-Indonesia.
“Pertama, prinsip kepatuhan terhadap peraturan lokal dan nasional; prinsip 2: konservasi habitat alami, keanekaragaman hayati lokal serta struktur dan fungsi ekosistem; prinsip 3: perlindungan terhadap kesehatan dan integritas genetik dari populasi alam. Keempat, penggunaan sumber daya secara efisien dan bertanggung jawab. Kelima, pengelolaan penyakit dan parasit dengan cara yang bertanggung jawab secara lingkungan. Keenam, pembangunan dan pengoperasian unit budidaya yang bertanggung jawab secara sosial. Sementara prinsip ke-7 adalah menjadi tetangga yang baik dan warga yang bertanggung jawab,” jelas ia.
Diskusi hari itu berlangsung kondusif, dengan respon yang memadai dari para peserta diskusi. Peserta diskusi banyak memberikan masukan pada prinsip 2, 3, 4, dan 6.
Kepatuhan terhadap ASC yang berhubungan dengan pihak ketiga, seperti perusahaan pakan untuk keberlanjutan sumber bahan pakan diusulkan agar jangan menjadi beban pembudidaya.
“Pembudidaya setuju mendorong praktik yang dilakukan pihak ketiga sebagai penyedia aqua-input memenuhi prinsip ASC, tetapi pembudidaya tidak bisa memastikan ataupun mewajibkan pihak ketiga patuh terhadap prinsip ASC,” ungkap salah satu peserta diskusi.
“Semua masukan yang kami kumpulkan hari ini, nantinya akan diserahkan ke tim ASC sebagai tanggapan terhadap draft standar ASC dari pihak Indonesia,” ungkap Cut Desyana.
Melalui kegiatan diskusi ini, harapannya, standar ASC untuk ikan laut tropis bersirip dapat segera dirilis. Sehingga, aplikasinya dapat menunjang kegiatan budidaya ikan kerapu dan kakap yang lebih bertanggung jawab di Indonesia.