THE MIRROR NEVER LIES RAIH EMPAT PENGHARGAAN FFI
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Jakarta (11/12)-Film layar lebar perdana WWF “The Mirror Never Lies” berhasil meraih empat penghargaan pada Festival Film Indonesia (FFI) untuk kategori Penulis Cerita Asli, Penata Musik, Artis Berbakat, dan Sutradara Pendatang Baru. Film yang bercerita tentang kehidupan suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara ini merupakan kolaborasi antara Pemerintah Kabupaten Wakatobi, WWF-Indonesia,dan SET Film Workshop.
Diluncurkan bertepatan dengan perayaan hari bumi tahun lalu, film yang disutradarai oleh Kamila Andhini ini pun mendapat respon yang positif di sejumlah festival internasional. Penghargaan “Honorable Mention” dari Global Film Initiative untuk kategori penyajian artistik, alur cerita, dan perspektif budaya dalam kehidupan sehari-hari, Bright Young Talent Award pada Mumbai Film Festival 2011 kepada Kamila Andhini sebagai sutradara baru yang dinilai memiliki potensi luar biasa, serta Earth Grand Prix Award dan Special Mention Winds of Asia-Middle East.pada Tokyo International Film Festival.
“Awalnya saya membuat film ini karena saya ingin mengangkat tema lingkungan ke masyarakat luas. Saya tertarik dengan kehidupan masyarakat suku Bajo yang sangat bergantung pada laut dan sumber dayanya. Bagaimana perspektif mereka tentang laut itu sendiri. Dan sekarang saya mendapat banyak penghargaan. Ini membuat saya semakin yakin untuk terus berkarya. Energinya sungguh luar biasa. Saya harus terus melakukan ini, menceritakan isu-isu lingkungan yang terjadi di negeri kita melalui medium film,” jelas Kamila Andhini.
Sementara Direktur Marketing WWF-Indonesia Devy Suradji mengemukakan, kesuksesan The Mirror Never Lies di berbagai festival film merupakan angin segar bagi upaya membangun kesadaran kolektif masyarakat terhadap pentingnya konservasi alam, khususnya kawasan perairan laut.
“Media komunikasi kreatif ini diharapkan mampu menumbuhkan kecintaan public terhadap laut Indonesia, sumber daya alam yang ada di dalamnya serta kebudayaan laut yang diwakili oleh suku Bajo di Waktobi. Melalui The Mirror Never Lies, kami juga ingin membangun pemahaman publik bahwa bahwa sesungguhnya konservasi tidak hanya menjamin keberlanjutan alam dan sumber dayanya, tetapi juga kehidupan manusia dan budayanya, dan yang lebih penting lagi menjaga keutuhan identitas suatu bangsa, imbuh Devy.
Potret keindahan hayati laut Wakatobi dan kearifan lokal masyarakat Suku Bajo dikemas dalam sebuah drama kehidupan seorang anak perempuan bernama ""Pakis"" yang tengah berupaya mencari ayahnya yang hilang ketika melaut. Dibesarkan di lingkungan Suku Bajo, yang dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada di atas lautan, Pakis menaruh harapan besar ayahnya akan kembali.
Konflik terjadi ketika ibunda Pakis justru kerap kali mematahkan harapan gadis Bajo itu bahwa sang kepala keluarga telah pergi untuk selamanya. Di tengah gejolak emosi ini, datang seorang mahasiswa peneliti (Tudo) yang hendak meneliti kehidupan lumba-lumba di daerah tempat tinggal suku mereka. Ketiga tokoh ini memiliki interpretasi masing-masing terhadap kehidupan laut dan hubungan mereka satu sama lain. Cerita manusia di tengah keindahan alam dan budaya Bajo dikemas secara apik sebagai sebuah drama keluarga.