MENYIBAK POTENSI WISATA SI “RAKSASA IKAN” DI TELUK CENDERAWASIH
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Nabire (20/05)-Laut yang jernih dengan koleksi ikan dan terumbu karang yang beraneka warna adalah keindahan surga bawah laut yang selalu ditawarkan sejumlah kawasan perairan laut. Namun, di perairan Kwatisore, kawasan konservasi laut Teluk Cenderawasih (TNTC), Papua Barat, tersimpan pesona bahari unik yang menjadikan wilayah ini magnet bagi para pecinta wisata laut.
Di lokasi inilah, spesies ikan terbesar di dunia, Rhincondon typus atau hiu paus kerap kali muncul ke permukaan dan berenang mendekati bagan (rumah terapung nelayan). Fisiknya memang besar, panjangnya bisa mencapai 20 meter dan beratnya 21 ton, raut wajahnya pun sekilas terlihat misterius, namun hiu pemakan plankton ini sangat jinak.
Sisa-sisa ikan puri yang berkumpul di jaring para nelayan inilah yang menarik sekawanan raksasa ikan itu mendekati bagan. Di tiap bagan biasanya kita bisa menjumpai 5 sampai 7 individu. Pemandangan unik yang hanya bisa dijumpai di Teluk Cenderawasih. Untuk bisa melihat hiu yang merupakan satu satunya dari anggota genus Rhincodon dan familinya ini, kita cukup snorkeling atau bahkan mengamatinya dari boat mapun bagan. Tidak perlu menunggu berjam-jam untuk bertemu dengan hiu paus. Beberapa menit saja berdiam di sekitar bagan, gerombolan satwa laut unik ini akan terlihat berenang mendekati bagan, muncul di permukaan, membuka mulutnya yang lebar, dan siap menyantap ikan-ikan puri yang dibuang ke laut oleh nelayan.
“Di wilayah lain yang pernah saya teliti seperti Donsol di Filipina, Australia Barat, Maladewa, dan Kenya, umumnya sulit untuk memasang tag pada hiu. Biasanya kami hanya menemukan satu hiu. Kami tidak dapat melakukan banyak sampling dan pengamatan dalam waktu yang sangat singkat. Tapi tidak di Kwatisore. Disini, kami dapat berinteraksi lebih intim dengan hiu, mereka banyak ditemui di sekitar bagan. Bahkan kita dapat melakukan pengamatan hanya dengan duduk di atas kapal. Sungguh luar biasa,” jelas peneliti senior lembaga penelitian non profit berbasis di California, HUBBS Seaworld Institute, DR. Brent Stewart.
Keunikan hiu paus di wilayah ini mendorong pihak pengelola kawasan konservasi Teluk Cenderawasih untuk menjadikannya sebagai ekowisata unggulan kawasan konsevasi laut terluas di Indonesia itu. Namun data-data pendukung seperti berapa jumlah hiu paus yang ada di TNTC, di mana saja lokasinya, serta jalur migrasinya masih sangat minim. Oleh karena itu, pihak Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC) menyambut baik program riset hiu paus yang diinisiasi WWF.
Kepala Balai Besar TNTC, Djati Wicaksono, mengemukakan perlunya keterlibatan sejumlah pihak seperti Pemerintah Daerah Nabire dimana sepertiga wilayahnya terdiri dari perairan laut, sektor swasta (operator ekowisata setempat), serta masyarakat adat dalam upaya konservasi hiu paus dan pemanfaatannya untuk pariwisata alam.
“Pelatihan multipihak tentang hiu paus yang digagas WWF ini selain akan menghasilkan data pendukung hiu paus juga diharapkan dapat membangun komunikasi efektif dengan para pemangku kepentingan kunci dalam upaya pelestraian hiu paus yang akan dijadikan sebagai daya tarik wisata unggulan bagi TNTC, yang tidak hanya bermanfaat secara ekologis, tetapi juga memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal,” jelasnya.
Sementara Project Leader WWF-Indonesia Proyek TNTC, Beny Ahadian Noor menegaskan, pengembangan program ekowisata hiu paus harus diimbangi pula dengan kajian pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan, sehingga ancaman terhadap hiu paus bisa ditekan seminimal mungkin.
“Pengembangan ekowisata bukan semata-mata meningkatkan tingkat kunjungan wisata, tetapi juga perlu dikaji dan disusun semacam guideline atau code of conduct untuk ekowisata, misalnya pembatasan jumlah kapal yang boleh mendekat ke lokasi hiu paus, berapa banyak turis yang diperbolehkan turun untuk melihat atraksi hiu paus, pedoman interaksi dengan hiu paus, dan lain sebagainya. Semua pihak yang terlibat dalam bisnis ekowisata ini, baik itu operator ekowisata, masyarakat setempat, maupun turis harus mengacu pada pedoman tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin kelestarian hiu paus,” pungkas Beny.