KONTRIBUSI INDONESIA DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA YANG BERKELANJUTAN DI RAPAT TAHUNAN IOTC KE-28
Yayasan WWF Indonesia bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengadakan Diseminasi Hasil Pertemuan Tahunan IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) ke-28 yang dilaksanakan secara daring pada 22 Agustus 2024. Diseminasi ini bertujuan untuk mendukung penyebaran informasi mengenai capaian dan rencana pemerintah Indonesia pada pertemuan tahunan IOTC ke-28 yang berlangsung di Bangkok pada 13–17 Mei 2024 lalu. Kegiatan diseminasi ini dihadiri oleh 242 peserta yang terdiri dari Akademisi, Kelompok Nelayan, Perusahaan, Pemerintah daerah hingga pusat dan berbagai pihak terkait lainnya.
Diseminasi ini menyampaikan secara rinci untuk 5 ketentuan/resolusi terbaru dari 11 proposal yang sah diadopsi dari hasil pertemuan tahunan IOTC ke 28 di Bangkok oleh Bapak Hary Christijanto API, MSc, Ibu Mumpuni C. Pratiwi MS, dan Dr Yayan Hernuryadin, selain itu juga disampikan penjelesan terkait pendaftaran kapal ke RFMOs oleh Bapak Satya Mardi Spi.
Indonesia memiliki potensi perikanan yang melimpah, salah satunya adalah perikanan tuna. Berdasarkan data dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, ekspor tuna pada tahun 2023 mencapai 927, 13 juta dollar. Dengan nilai ekspor yang begitu besar, Indonesia pernah dihadapkan pada kondisi yang terancam dipasar internasional dan tidak bisa menangkap ikan tuna jika tidak menjadi anggota RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations). Lewat Ratifikasi Agreement IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) melalui Perpres. No 9/2007 Indonesia menjadi anggota penuh IOTC pada 5 Maret 2007, Wujud komitmen Indonesia sebagai salah satu negara penghasil tuna terbesar dalam pengelolaan tuna regional dan/atau internasional yang beradab.
Dalam sambutannya, Direktur Marine and Fisheries program WWF- Indonesia, Dr. Imam Mustofa Zainudin, menyampaikan apresiasi atas keberhasilan kontribusi pemerintah Indonesia terkait perikanan tuna berkelanjutan pada forum internasional. “Yayasan WWF Indonesia mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam mensosialisasikan informasi penting terkait pengelolaan regional ini. Diharapkan, informasi ini dapat dimanfaatkan oleh nelayan, perusahaan, pemerintah, dan LSM dalam berkontribusi terhadap pengelolaan perikanan tuna yang berkelanjutan.”
Dalam pengantar kegiatan diseminasi yang dibawakan oleh Putuh Suadela, S.Pi, MESM selaku Ketua Tim Kerja PSDI ZEEI &Laut Lepas, disampaikan bahwa Indonesia berhasil mencatatkan tingkat kepatuhan yang terus meningkat dari 80% menjadi 82,6% pada tahun 2023. Nilai ini menegaskan kesiapan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya laut yang berkualitas dengan melengkapi informasi kapal yang didaftarkan ke IOTC, standar pelaporan data catch and effort dan data size frequency, serta data nominal catch for longline fisheries and sharks.
Selain tingkat kepatuhan yang meningkat, Indonesia juga masuk ke dalam 10 negara anggota yang memiliki kontribusi luar biasa dan kenaikan kontribusi untuk Indonesia pada 2025 sebesar 7%. Kenaikan ini dipengaruhi oleh kontribusi GNI Indonesia dan peningkatan rata-rata tangkapan tuna Indonesia dari 2020-2022.
Indonesia juga turut andil dalam mendorongkan kesepakatan untuk pengadopsian proposal drifting fish aggregating device (dFADs) atau Resolution 24/01 melalui voting yang telah disepakati oleh 22 dari 27 anggota di pertemuan tahunan tersebut. Penjelasan meliputi resolusi 24/01 terkait Pengelolaan Rumpon Hanyut (dFADs) juga resolusi 23/01 Pengelolaan Rumpon Berjangkar (AFADS).
Program pemantauan diatas kapal (Resolusi 24/04) dan Program alih muatan pada kapal sekala besar (24/05) akan terus menjadi Pekerjaan besar dan berat bagi Indonesia, terlebih Pilot project Indonesia terkait alih muatan di laut yang akan berakhir pada tahun 2025, dimana Indonesia harus bisa melalui pelaporan dan penilaian yang memadai, untuk dilaporkan pada pertemuan Sidang Komisi IOTC ke-29 tahun depan.
Selanjutnya, yang patut digaris bawahi adalah mengenai Pendaftaran Kapal ke RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations). Regulasi ini mengatur pendaftaran kapal regional dan nasional yang melakukan penangkapan tuna atau spesies seperti tuna. Pembahasan lainnya juga meliputi resolusi penanganan dan dampak IUUF (Illegal, Unreported, and Unregistered Fishing) di area IOTC. Resolusi ini mengatur prosedur pelaporan kepada komisi terkait kapal yang terlibat dalam kegiatan IUU Fishing, terutama menyangkut kepentingan antarnegara.
“Regulasi ini diharapkan akan menekan kasus pencurian ikan besar-besaran yang terjadi di wilayah kita oleh negara asing. Semua negara berkomitmen pada resolusi ini,” ujar Mumpuni Cyntia Pratiwi, Ahli Muda dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap-KKP.
Kedepannya, pemerintah Indonesia akan memastikan kelancaran dan penyelesaian pilot project Indonesia terkait alih muatan di laut yang akan berakhir pada tahun 2025 melalui pelaporan serta penilaian yang sesuai standar untuk kemudian dipresentasikan pada sidang komisi IOTC ke-29 pada tahun berikutnya. Serta terus mengajak keikutsertaan stakeholder dan dukungan dalam berpartisipasi di pertemuan tahunan IOTC guna memperkuat posisi Indonesia dalam pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia.