KUALITAS KEPITING BAKAU OHOI EVU, MALUKU TENGGARA DIAKUI PEBISNIS KULINER MANCANEGARA
Oleh: Rafika Puspita Army (Writer and Documenter Assistant, WWF-Indonesia Inner Banda Arc Sub-seascape)
Di era modern saat ini, tidak sulit untuk dapat menikmati kelezatan seafood. Dari sekian banyak jenis seafood, kepiting bakau (Scylla sp.) termasuk menu yang paling banyak dipilih untuk dicicipi. Bergizi tinggi, berdaging tebal, dan gurih – tiga hal yang menjadikan kuliner satu ini begitu diminati.
Kepiting bakau tercatat sebagai komoditas perikanan unggulan di Indonesia. Permintaan kepiting bakau meningkat setiap tahun, baik di pasar domestik maupun mancanegara. Suatu keadaan membahagiakan bagi masyarakat yang menyambung hidup melalui hewan bercangkang keras ini. Termasuk, masyarakat di Ohoi (desa) Evu, Kecamatan Hoat Soarbay, Kabupaten Maluku Tenggara.
Sejak Oktober 2015, nelayan kepiting bakau Ohoi Evu telah berjejaring dalam kelompok Sinar Abadi. Didampingi oleh WWF-Indonesia, Sinar Abadi menjadi wadah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan penangkap kepiting bakau di desa ini.
Melaui Sinar Abadi, penangkapan kepiting bakau di daerah ini dilakukan dengan ramah lingkungan. Pengawasan ekosistem mangrove sebagai habitat kepiting bakau pun tak luput dari pemantauan mereka.
Misi tersebut menggiring pelaku usaha agar ikut berkomitmen menerapkan prinsip penangkapan berkelanjutan, demi perikanan Indonesia yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan yang dicanangkan Seafood Savers, inisiatif WWF-Indonesia untuk perikanan berkelanjutan.
”Selama ini, kami datangkan kepiting dari Prancis. Kini, kami membutuhkan alternatif kepiting dari Indonesia,” kata JC. Blachere, pebisnis asal Italia - CEO restoran berkelas di ibukota yang melirik kepiting bakau Ohoi Evu untuk menjadi bagian dari kesuksesan bisnisnya.
”Berbagai wilayah di Indonesia kami jajaki untuk mencari penyuplai kepiting unggul, tapi kami belum menemukan yang sesuai dengan kriteria dan standar restoran. Rekomendasi bermunculan, dan mengarahkan kami ke Kei ini,” lanjut ia dalam kunjungannya ke Ohoi Evu, 29/03/2017 lalu.
JC. Blachere tampak antusias saat menyusuri Teluk Hoat Sorbay menggunakan ketinting (perahu motor) untuk melihat kondisi lokasi penangkapan kepiting bakau bersama tim WWF dan Kelompok ‘Sinar Abadi’. “Mangrove di sini dilindungi oleh peraturan adat atau sasi. Biasanya kami tangkap kepiting pakai bubu dan ganco. Sehari, bisa dapat kurang lebih 10-15 ekor,” ucap Boscho Sirken, ketua kelompok Sinar Abadi.
Memang, fungsi ekologi dari ekosistem mangrove yang tumbuh baik di Ohoi Evu menjadi faktor tak terlupakan dalam menunjang kelimpahan kepiting bakau. Belum cukup puas menggali nilai plus kepiting di Ohoi Evu, JC pun mengajak chef andalannya, Chef Nicola, untuk mencicipi rasa otentik kepiting yang dihidangkan dengan bumbu khas Ohoi Evu. Menurutnya, usaha kuliner kepiting evu ini layak dikembangkan. Keindahan alam di Ohoi Evu dapat dijadikan kunci tambahan agar para wisatawan tertarik datang ke Evu.
JC berinisiatif mengadakan kelas memasak bersama ibu-ibu anggota kelompok kepiting Sinar Abadi. Hari itu, di kantor WWF-Indonesia Inner Banda Arc Sub-seascape, Chef Nicola mengajarkan cara menghidangkan makanan dari segi rasa, penampilan, dan packing. Ia memberikan alternatif menu sehingga dapat menambah variasi masakan.
Hasil tangkapan yang mengutamakan prinsip ramah lingkungan tentunya lebih aman dan nikmat untuk dikonsumsi. Di samping itu, ketersediaan stok tangkapan juga dapat terkontrol.
Kelompok nelayan kepiting bakau Sinar Abadi telah dikukuhkan secara resmi oleh Badan Penyuluh (BP4K), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku Tenggara dan WWF-Indonesia pada 28/04/2016. Kini, mereka tengah mencapai milestone baru – menjajaki kerjasama dengan restoran milik JC. Blachere ini secara bertahap.