CERITA HIU DI JARING DAN RAWAI NELAYAN SELAYAR, SULAWESI SELATAN
Oleh: Faqih Akbar (Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Bycatch & Sharks Conservation Intern, WWF-Indonesia)
Kabupaten Kepulauan Selayar terletak di selatan lepas pantai Tanjung Bira, Sulawesi Selatan. Selayar dapat diakses dengan pesawat dari Makassar atau kapal feri dari Bira. Keduanya hanya berangkat satu kali setiap harinya. Pagi itu (10/01), pesawat kecil yang kami naiki tiba di Bandara H. Aroeppala, Selayar, meski cuaca kurang bersahabat selama penerbangan.
Kedatangan kami ke Selayar selama 10-23 Januari 2017 membawa misi survei hasil tangkapan sampingan biota Endangered, Threatened, and Protected (ETP) dan profil perikanan di kepulauan ini.
Tidak sendiri, WWF-Indonesia bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Selayar dan Balai Taman Nasional (BTN) Takabonerate dalam menggali informasi mengenai alat penangkapan ikan yang berpotensi menangkap biota ETP. Kami juga menghimpun data mengenai penanganan nelayan terhadap biota ETP – salah satunya adalah hiu.
Mayoritas penduduk Selayar adalah nelayan dengan dominasi armada skala kecil, yaitu kapal motor tempel dan sampan. Alat tangkap yang banyak digunakan di antaranya adalah jaring insang (gill net) dan rawai (longline), dan beberapa alat tangkap lain seperti bagan tancap, bagan perahu, sero, dan pancing ulur (handline).
Terhitung sembilan desa yang menjadi target survei kali ini. Desa Binanga Sumbaia, Parak, Kahu Kahu, Bontoborusu, Bontolebang, Barugaia, Buki, Mekar Indah, dan Maharayya; seluruhnya tersebar di bagian selatan dan timur bagian barat Kepulauan Selayar.
Hasil survei ini cukup mengejutkan. Sebanyak 43,3% dari nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring insang (gill net), dan 41,9% nelayan yang menggunakan alat tangkap rawai (long line) mengaku pernah tidak sengaja menangkap hiu. Hiu – hiu ini adalah hasil tangkapan sampingan, sebab ikan tangkapan target nelayan Selayar utamanya adalah ikan karang seperti kerapu, kakap, dan baronang.
Lalu, apa yang terjadi pada hiu – hiu di jaring insang dan rawai nelayan Selayar? Mayoritas nelayan – dengan persentase 42,3% nelayan jaring insang dan 76,9% nelayan rawai – melepaskan kembali hiu hidup – hidup. Namun, tidak sedikit yang memakan dan menjual hiu hasil tangkapannya.
Sebanyak 46,2% nelayan jaring insang dan 23,1% nelayan rawai mengaku memakan hasil tangkapan hiunya. Bahkan, memberinya secara cuma – cuma kepada masyarakat desa untuk dikonsumsi. Angka penjualan hiu pun cukup tinggi - 26,9% nelayan jaring dan 15,4% nelayan rawai menjual hasil tangkapannya. Pembeli biasanya berasal dari negara – negara Asia Timur.
Hiu blacktip reef, zebra, dan whitetip reef biasa tertangkap di sekitar perairan Pulau Gusung, Pulau Pasi, dan Pulau Guam. Hiu juga banyak ditemukan di daerah terumbu karang yang tersebar di bagian barat Kepulauan Selayar. Meski populasi blacktip reef dan beberapa hiu kecil lainnya cukup banyak, interaksi dengan nelayan biasanya berujung kematian bagi hiu – hiu yang hanya berlalu lalang di perairan Kepulauan Selayar.
Hal ini tentunya cukup memprihatinkan, melihat lebih dari 25% jenis hiu telah terdaftar dalam Red List dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status rentan terhadap kepunahan hingga menuju kepunahan.
Peran hiu sebagai apex predator pada ekosistem laut menjadikan biota ini semakin penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Tentunya, hasil tangkapan nelayan akan melimpah ketika ekosistem laut terjaga.
Hasil survei ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk melakukan pendampingan nelayan di Kepulauan Selayar. Mereka dapat dilatih untuk menangani hiu dan biota ETP lain yang tertangkap. Kelestarian populasi biota ETP akan menjaga keseimbangan ekosistem perairan, yang pada akhirnya menyejahterakan mereka, nelayan Selayar.