BUKIT TIGAPULUH EKOSISTEM HUTAN DATARAN RENDAH TERAKHIR DI SUMATERA BAGIAN TENGAH
Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) terbentang antara Provinsi Riau dan Provinsi Jambi di bagian tengah Pulau Sumatera. Satu-satunya perwakilan ekosistem hutan dataran rendah (low land tropical rain forest) tak-terfragmentasi yang tersisa di Central Sumatera.
Ditetapkan pertama kali pada tahun 1995 dengan luas kawasan 127.648 Ha, TNBT merupakan kawasan konservasi pertama di Indonesia yang ditetapkan dari perubahan fungsi lahan. Di masa lalu area TNBT adalah dua kawasan hutan lindung, Hutan Lindung Haposipin di Provinsi Riau, dan Hutan Lindung Sengkati Batang Hari di Provinsi Jambi, dikelilingi area Hutan Produksi Terbatas (HPH) aktif. Pada tahun 20202, melalui SK Menteri Kehutanan Nomor : 6407/Kpts-II/2002 kawasan TNBT diperluas menjadi 144.223 Ha.
Terpisah sama sekali dari pegunungan Bukit Barisan, Bukit Tigapuluh memiliki ekosistem yang unik. Dengan ketinggian antara 60-843 meter di atas permukaan laut, area TNBT berupa perbukitan, dengan ekosistem peralihan antara hutan rawa pasang surut dan hutan pegunungan. Ini menjadikan TNBT punya tingkat keanekaragaman hayati yang sangat beragam, bahkan disebut sebagai salah satu yang paling tinggi di dunia.
Ada lebih dari 1500 spesies flora yang bisa ditemukan di sini. Beberapa di antaranya adalah flora endemik, seperti Cendawan Muka Harimau (Rafflesia hasselti) dan Salo (Johannesteijmania altifrons) sejenis palem langka berdaun raksasa, yang diduga hanya ditemukan dia Bukit Tigapuluh. Taman nasional ini juga menjadi area pelestarian tiga-dari empat- spesies kunci Sumatera, yaitu Hariamau, Orangutan dan Gajah Sumatera. Tak hanya itu, TNBT juga habitat bagi lebih dari 500 spesies burung dan mamalia lainnya.
Ada tiga komunitas masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yaitu masyarakat Melayu, Orang Rimba atau Suku Anak Dalam, dan Suku Asli Talang Mamak atau kerap disebut sebagai Suku Melayu Tua. Masyarakat Melayu tinggal di luar kawasan, sementara Orang Rimba dan Talang Mamak sudah menghuni belantara Bukit Tigapuluh, jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Orang Rimba hidup nomaden, berpindah melalui hutan alami dan bergantung pada sumberdaya hutan untuk dapat bertahan hidup. Sementara Suku Talang Mamak hidup menetap, menghuni area-area di sepanjang aliran sungai Batang Gansal, sungai yang membelah taman nasional. Hingga tahun 2015, setidaknya tercatat lebih dari 319 kepala keluarga Suku Talang Mamak, hidup di Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Suku Talang Mamak hidup dari meramu hutan, mencari perbagai hasil hutan bernilai ekonomi, seperti buah rotan Jernang dan Klukup, buah pinang, petai, durian, juga madu hutan dari Pohon Sialang. Namun belakangan, masyarakat Talang mamak juga mulai melakukan budidaya pertanian seperti padi ladang, dan kebun karet.
Kehadiran masyarakat di dalam kawasan taman nasional, mendorong pengaturan zonasi yang sedikit berbeda dibanding kawasan taman nasional lain. Selain zona Inti, zona Rimba, zona Pemanfaatan dan zona Rehabilitasi, TNBT memiliki zona khusus yaitu zona Tradisional tempat masyarakat bermukim.
Lahan eks HPH di sekitar taman nasional, kini umumnya dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit. Menyebabkan akses menuju area taman nasional sangat terbuka dan mudah dijangkau. Hampir seluruh kawasan memiliki jaringan jalan masuk dan dikelilingi oleh banyak desa. Kondisi ini menyebabkan TNBT rentan terhadap berbagai gangguan dari luar, seperti Perambahan hutan, pencurian kayu dan perburuan satwa liar.
WWF-Indonesia pernah menjadi salah satu pihak yang melakukan inisiasi pembentukan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Kini WWF kembali mendukung Balai TN Bukit Tigapuluh dalam pengelolaan kawasan, melalui berbagai kegiatan patroli, aktivitas ilmiah dan pemantauan satwa, khususnya Harimau Sumatera.
Sejak September 2016 hingga Juli 2017, WWF-Indonesia Central Sumatera berkolaborasi bersama pihak Balai Taman Nasional melakukan kegiatan pengukuran Valuasi Karbon di 17 lokasi yang tersebar di seluruh area taman nasional.
Pada Oktober 2017, WWF-Indonesia dan Balai TN Bukit Tigapuluh juga melakukan Ekspedisi bersama. Tujuannya untuk memperbaharui data-data dan informasi terkait keragaman hayati di Bukit Tigapuluh. Ekspedisi ini juga melibatkan berbagai elemen masyarakat, serta anggota TNI dan Polri. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain sosialisasi batas kawasan pada masyarakat di zona khusus, dan pemantauan satwa dengan memasang 6 camera trap di area restorasi habitat di Resort Keritang, Riau.
Dengan kondisi hutan yang masih baik, Taman Nasional Bukit Tigapuluh adalah harapan besar dalam pelestarian spesies terancam punah, seperti Hariamau Sumatera. Namun masih banyak tantangan yang dihadapi, antara lain keterbatasan jumlah personil Polisi Hutan (polhut), dan minimnya fasilitas pengawasan dan akses komunikasi, sehingga sulit untuk bisa segera menyebarkan informasi bila terjadinya pelanggaran hukum di dalam kawasan. (RD)