MENJAGA ALAM, MENJAGA ADAT
Tim Pengamanan Hutan Adat Desa Tanjung Belit melakukan patroli perdana pada 19-21 Oktober 2019 menyusul penetapan tim ini pada April lalu. Tujuh orang perangkat adat dari dubalang hingga pucuk pimpinan adat turun langsung melaksanakan patroli kawasan hutan larangan adat “Imbo Batu Dinding".
Kegiatan patroli ini dilakukan dengan berjalan kaki dan bermalam di dalam hutan larangan adat menyusuri batas kawasan. Patroli ini dipimpin oleh 2 orang pimpinan adat tertinggi di Kenegerian Tanjung Belit, Datuk Singo dan Datuk Godang. Kegiatan ini untuk memastikan kondisi kawasan hutan larangan adat aman dari segala bentuk ancaman dan tekanan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Patroli ini menemukan adanya aktivitas ilegal yang sudah mendekati kawasan hutan larangan adat berupa penebangan kayu. Datuk Singo dan Datuk Godang sebagai pimpinan adat tertinggi akan menindaklanjuti temuan ini dengan mencari pelakunya untuk diberikan nasihat karena ancaman yang ditemukan keberadaanya di luar kawasan hutan larangan adat, sehingga sanksi adat tidak bisa diterapkan. Namun jika temuan ini berada dalam kawasan hutan larangan adat, maka sanksi akan diberlakukan.
Menanggapi temuan ancaman yang sudah mendekat ke kawasan Hutan Larangan Adat Imbo Batu Dinding, petinggi adat Tanjung Belit tidak tinggal diam.
“Kami tidak punya kuasa dan tidak punya kemampuan untuk melarang para oknum melakukan penghancuran hutan yang masih berlangsung sampai sekarang, karena itu wewenang Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), akan tetapi kami akan mempertaruhkan darah dan nyawa kami masyarakat Tanjung Belit terutama ninik mamak, apabila ada pihak atau oknum yang mau merusak kawasan hutan larangan adat kami ini. Ini adalah benteng terakhir kami dalam mempertahankan hutan sebagai tanda kami masyarakat yang beradat,” ucap Datuk Singo yang mempunyai nama asli Ujang dengan tegas.
Ia menambahkan,”kebanggaan kami para ninik mamak dengan adanya hutan larangan adat ini, selagi adat masih ada dan berjalan di Tanjung Belit selama itu pula hutan adat akan tetap ada. Di saat nanti para anak cucu kami bertanya nama dan bentuk kayu, kami akan menunjukkan dan mengenalkan kepada mereka di dalam kawasan hutan larangan adat ini, sehingga para anak cucu tidak cuma tahu nama tanpa kenal rupa.”
Desa Tanjung Belit merupakan salah satu desa yang berada di pinggir kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kabupaten Kampar, Riau. Masyarakatnya menjaga kawasan ini secara lestari dengan tidak merusak hutan yang berada di dalam kawasan suaka margasatwa karena masyarakat Desa Tanjung Belit banyak menggantungkan hidup dari hutan ini berupa pemanfaatan hasil hutan non kayu.
Kebijakan masyarakat Tanjung Belit ini tidak sejalan dengan tindakan yang dilakukan oleh oknum dari desa lain. Oknum melakukan tindakan perusakan hutan sampai masuk ke wilayah Desa Tanjung Belit. Aktivitas pembalakan liar dan pembukaan lahan bahkan menggunakan alat berat terus berlangsung, meskipun pada awal tahun 2018 temuan serupa telah dilaporkan masyarakat kepada otoritas saat itu. Para tokoh adat dan pemerintahan desa berupaya melakukan pencegahan, akan tetapi mereka terkendala dengan status hutan yang dirambah berupa kawasan konservasi.
Untuk mencegah ancaman dan tekanan terhadap kawasan hutan, masyarakat Desa Tanjung Belit sudah mengantisipasi melalui penetapan hutan larangan adat yang disebut "Imbo Batu Dinding" dengan luas 300 ha. Penetapan ini dituangkan dokumen melalui Surat Keputusan Adat Kenagarian Tanjung Belit dan didukung dengan Peraturan Desa Tentang Hutan Larangan Adat Tanjung Belit pada Januari 2018. Hutan larangan adat ini tidak boleh diubah fungsi dan peruntukannya, di mana hutan larangan Adat Ini hanya bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ekowisata atau wisata alam, tempat penelitian flora dan fauna, tempat pendidikan lingkungan dan konservasi alam dan sumber ekonomi alternatif dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu.
Menyusul penetapan ini, dibentuklah tim pengamanan hutan adat yag terdiri dari unsur ninik mamak, dubalang adat, pemerintahan desa dan unsur pemuda. Tugas tim adalah melakukan patroli pengamanan dan pengawasan serta mengidentifikasi segala bentuk potensi alam yang bisa dikembangkan secara lestari. Pada April lalu, tim ini telah mendapatkan pelatihan oleh WWF dan BBKSDA Riau untuk mampu melakukan patroli pengamanan kawasan hutan dengan memahami penggunaan alat navigasi dan pengambilan dan pencatatan data spasial. Patroli perdana ini menjadi ajang untuk penerapan ilmu yang telah didapat agar ke depannya dapat melaksanakan patroli secara mandiri.
Hutan Larangan Adat Imbo Batu Dinding sebagian berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, dan sebagiannya lagi berada di kawasan hutan berstatus Hutan Produksi Konversi (HPK). Hutan ini dari nenek moyang masyarakat Tanjung Belit sudah menjadi rimba yang tidak boleh diganggu dan sempat terkesan “angker “ karena tidak adanya aktivitas di kawasan tersebut. Namun kini, kawasan yang masuk dalam Imbo Batu Dinding sudah banyak dikunjungi orang baik warga sekitar maupun mancanegara hal ini dikarenakan keberadaan air terjun Batu Dinding di area tersebut. Setiap penghujung minggu kawasan ini ramai dengan pengunjung yang berlibur menikmati keindahan hutan dan air terjunnya dan oleh pemerintah Desa Tanjung Belit telah dijadikan sebagai lokasi wisata. Konsorsium Imbau yang terdiri dari WWF-Indonesia, Yapeka dan Indecon turut serta melakukan pendampingan masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan di desa ini.
Pemerintah Desa Tanjung Belit telah mengajukan permohonan untuk penetapan Hutan Larangan Adat Imbo Batu Dinding ini kepada pemerintahan terkait. Masyarakat berharap proses yang dijalani akan mudah sesuai dengan wacana dari pemerintahan provinsi Riau dalam upaya percepatan capaian reforma agraria berupa Perhutanan Sosial dan TORA.