PENANGANAN KONFLIK MANUSIA – GAJAH DI REGISTER 39 KOTA AGUNG UTARA TANGGAMUS
“Setiap rumah membuat perapian. Mengeluarkan asap mengepul disertai bau menyengat kemenyan yang mereka tempatkan di depan rumah. Itu cara sederhana yang mereka tahu agar gajah tidak mendekat. Mereka takut jika gajah sewaktu-waktu menghampiri gubuk mereka. Malam itu gelap gulita. Listrik yang berasal dari pembangkit tenaga air padam karena kabelnya diinjak oleh rombongan gajah liar yang sudah berada dekat dengan pemukiman. Beberapa kelompok laki-laki keluar, bergerombol, mengikuti arah keberadaan gajah. Mereka membawa kentongan dan mercon sambil berteriak untuk menggiring gajah menjauh. Suara dari kejauhan memelan dan perlahan-lahan hilang terbawa angin.”
Gambaran itu yang kami temui ketika menginap di Register 39 Hutan Lindung Kota Agung Utara. Beberapa bulan terakhir, masyarakat resah dengan keberadaan 12 individu gajah yang seringkali mendatangi kampung. Ya, areal ini memang merupakan Hutan Lindung yang berada di bawah pengelolaan KPHL Kota Agung Utara. Wilayah ini menjadi salah satu habitat gajah Lampung yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Sayangnya, meskipun wilayah ini merupakan homerange gajah, namun luasnya praktek perambahan yang dilakukan menyebabkan konflik manusia – satwa tidak bisa dihindarkan. Dari hasil pemantauan menggunakan GPS Collar, tim menemukan bahwa kawanan gajah tersebut berada di sekitar talang Register 39 Kota Agung Utara yang kini telah banyak dialihfungsikan menjadi kebun kopi, bahkan banyak masyarakat yang bermukim di Talang tersebut.
Mirisnya, dari analisis tutupan lahan yang dilakukan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kota Agung Utara (analisis 2011 dan 2012), dari 56.000 Ha areal Hutan Lindung hanya 9.000 Ha yang merupakan kawasan hutan. Areal yang paling terdegradasi adalah resort Semaka Hulu dan Semaka Hilir. Sementara yang kondisinya masih baik adalah Resort 30 yaitu di Gunung Tanggamus. Meskipun dalam aturan dijelaskan bahwa Hutan lindung merupakan kawasan yang tidak boleh dimasuki apalagi membangun bangunan permanen, namun hal itu sudah berlangsung lama di daerah ini. Namun memindahkan masyarakat dari areal Hutan Lindung tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan upaya jangka panjang dan strategi yang komprehensif. Jalan tengahnya adalah mencari solusi agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan gajah.
KPHL selama ini telah melakukan rehabilitasi hutan, baik melalui program TNI maupun swakelola sejak tahun 2012 namun hasilnya mengecewakan. Melalui program Perhutanan Sosial, KPHL membina Kelompok HKm dan 2 gapoktan. Mereka berharap bahwa ke depannya perlu ada perbaikan tata batas, pendataan masyarakat yang bermukim di dalam talang, serta pengawasan dalam pemanfaatan kawasan. Untuk meningkatkan efrktivitas pengelolaan, mereka bermitra dengan masyarakat lewat skema mitra KPH yang direkrut untuk membantu tugas KPHL. Namun terkait dengan konflik satwa, KPHL tidak memiliki kewenangan untuk satwa yang ada di dalam KPHL karena menurut regulasi yang punya kewenangan adalah pusat, dalam hal ini BKSDA dan TNBBS.
Menurut cerita dari masyarakat, sejak 1970an, di wilayah ini sudah bermukim masyarakat dari berbagai wilayah. Mereka awalnya adalah pekerja yang bekerja pada perusahaan kayu PT Tanjung Jati yang beroperasi di daerah itu sejak tahun 1973 di bawah skema HPH. Seiring dengan itu masyarakat pendatang semakin padat mengisi dan setelah perusahaan berhenti beroperasi, masyarakat kemudian mengelola lahan di kawasan tersebut dan bermukim di sana. Setidaknya ada 1.470 Kepala Keluarga yang mendiami 35 talang di Register 39 ini. Hampir semuanya bekerja sebagai petani kopi. Namun bukan hanya menanam kopi, masyarakat juga menanam tanaman yang sangat disukai gajah, seperti pisang. Hal tersebut sering mengundang gajah untuk berlama-lama di areal tersebut. Beberapa gubuk mereka pun dirobohkan oleh gajah. Bahkan satu orang meninggal akibat konflik ini. Sayangnya, pemahaman tentang cara menghalau gajah yang dimiliki oleh masyarakat di sini sangat minim.
Untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mitigasi konflik manusia – gajah, maka pihak WWF Indonesia memfasilitasi kegiatan pelatihan penanganan konflik gajah dan manusia di sekitar Wilayah Register 39 KPHL Kota Agung Utara. Diharapkan melalui pelatihan ini tumbuh kesadaran masyarakat tentang arti penting konservasi gajah dan kemampuan untuk mengelola konflik gajah dan manusia. Dari tanggal 30 Mei sampai 1 Juni 2018, setidaknya 60 orang perwakilan masyarakat ambil bagian dalam pelatihan mitigasi konflik manusia – gajah. Pelatihan difasilitasi oleh Zulfahmi dari WWF Indonesia serta Siwanto yang merupakan coordinator Flying Squad di Taman Nasional Tesso Nilo Riau. Mereka belajar tentang metode penanganan konflik gajah seperti penggunaan cabe sebagai pagar cabe (chilli fence), braket cabe, sinar lampu, meriam karbit (annoying cannon), petasan, serta bunyi bunyian. Namun bukan hanya belajar tentang teknis strategi penanganan konflik gajah, mereka juga belajar tentang perilaku, pakan, manajemen habitat gajah serta pengenalan ekosistem dasar dan menerima penjelasan tentang GPS Collar yang sedang dipasang pada kelompok gajah untuk memantau pergerakan mereka. Ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melindungi gajah dan bisa hidup berdampingan dengan gajah.
Jika berpapasan dengan gajah, jangan terlalu panik karena gajah tidak akan menyerang secara tiba-tiba dan usahakan berlari ke tempat terbuka, jangan ke semak. Gajah pun tidak bisa tidak boleh dihadang. Untuk melakukan penghalauan, masyarakat bisa membentuk kelompok untuk melakukan komunikasi dalam penanganan konflik manusia – gajah ini. Yang terpenting adalah mencegah agar gajah tidak masuk ke kebun. Masyarakat diharapkan bisa lebih mandiri dalam penanganan konflik ini karena kalau menunggu bantuan dari luar prosesnya lama. Di akhir pelatihan, dibentuk Lembaga SATGAS di tingkat masyarakat, khususnya untuk penanganan konflik gajah secara swadaya. SATGAS juga diminta untuk mengindentifikasi plot jalur gajah dan mengidentifikasi tanaman dan lahan siapa yang dilintasi oleh gajah sehingga bisa diatur tanamannya. Koordinator talang diharapkan bisa menjadi motor penggerak untuk mengkoordinir talang-talang lain untuk terlibat dalam penanganan konflik gajah ini. Selain itu, KPH juga menyediakan call center yang siap dihubungi 1X24 jam jika terjadi konflik.