BERSIAP UNTUK IMPLEMENTASI ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE (EAA) DI INDONESIA
Oleh Candhika Yusuf
Perikanan budi daya adalah masa kini dan masa depan dari bisnis perikanan dunia. Meningkatnya permintaan produk ikan mendorong intensitas eksploitasi sumber daya perikanan tangkap secara masif dari tahun ke tahun. Kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan pun acapkali dilakukan dengan praktik IUU fishing, yang berakibat pada penurunan kualitas ekosistem dan over-exploitation (lebih tangkap). Tidak mengherankan bila data FAO “The State of World Fisheries and Aquaculture” tahun 2014 menampilkan angka produksi perikanan tangkap dunia stagnan di level 90 juta ton dan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Di sisi lain, angka produksi perikanan budi daya melesat dari 49 juta ton pada tahun 2007, menjadi 66 juta ton pada tahun 2012.
Namun, perlu disadari bahwa praktik perikanan budi daya juga memiliki dampak buruk terhadap ekosistem jika dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Sebagai bagian dari strategi untuk memastikan praktik perikanan (tangkap maupun budi daya) dilakukan dengan cara yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, FAO merilis dokumen tata cara pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab yang dinamakan Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF). CCRF ini diharapkan dapat diimplementasikan di semua negara anggota FAO, termasuk Indonesia.
Berdasarkan dokumen CCRF tersebut, urgensi untuk melaksanakan praktik perikanan berlandaskan pendekatan ekosistem mutlak dilakukan sebelum terlambat. Pada perikanan tangkap, pendekatan secara holistik tersebut dikenal sebagai Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM). Sedangkan pada perikanan budi daya disebut dengan Ecosystem Approach to Aquaculture (EAA). EAA mempunyai tiga tujuan utama, yaitu memastikan kesejahteraan manusia, memastikan kesejahteraan lingkungan, dan memfasilitasi pencapaian dari keduanya. Namun, hingga akhir tahun 2013 belum ada satupun negara di dunia yang telah menerapkan EAA sebagai haluan umum dalam mempraktikkan perikanan budi daya.
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPB – KKP) bersama WWF-Indonesia berinisiatif untuk mengejewantahkan pendekatan EAA dalam suatu dokumen Pedoman Umum (Pedum). Peta jalan untuk mewujudkan implementasi EAA di Indonesia merentang hingga tahun 2016 dengan berbagai kegiatan utama, seperti penyusunan draf Pedum EAA lengkap dengan indikator penilaian, uji coba lapangan, sampai dengan penetapan Pedum EAA melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Sebagai langkah awal penyusunan Pedum tersebut, pada 24 November 2014 di Hotel Amaroossaa Bogor, DJPB – KKP bersama WWF-Indonesia menyelenggarakan pertemuan pertama dalam rangka pencanangan EAA di Indonesia. Pertemuan ini khusus diadakan untuk membahas draf 0 Pedum EAA, mengidentifikasi indikator – indikator kunci penilaian EAA, serta membangun komitmen dari berbagai pihak untuk tetap terlibat secara aktif dalam proses penyusunan Pedum EAA selanjutnya. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 25 orang para ahli di bidang perikanan budi daya, perwakilan dari KKP, Universitas Surya, IPB – Bogor, dan UNDIP - Semarang.
Walaupun jalan menuju implementasi EAA di Indonesia masih panjang, namun komitmen dan antusiasme para pihak dalam mendukung EAA di Indonesia menjadi suatu modal yang sangat signifikan. Proses selanjutnya adalah pada kuartal pertama 2015, tim perumus yang terdiri dari pihak Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan – DJPB KKP, Program Akuakultur WWF-Indonesia, dan Pusat Studi Perikanan Budidaya dan Patologi Universitas Surya akan membuat Draf 1 Pedum EAA. Draf ini nantinya akan dikonsultasikan kembali dengan para ahli sebelum diujicobakan di lapangan yang dapat mewakili praktik perikanan budi daya pada ekosistem air tawar, ekosistem air payau, dan ekosistem laut.