MEMBANGUN JARINGAN CITIZEN SCIENCE UNTUK KOLABORASI TANGANI SAMPAH PLASTIK LAUTAN INDONESIA
Oleh: Made Putri Karidewi (Plastic Free Ocean Program, WWF-Indonesia)
Sekitar 1,3 juta ton sampah plastik mengalir ke lautan Indonesia setiap tahunnya, mengotori lingkungan dan meningkatkan resiko kerusakan ekosistem. Bahkan, mengancam keberlangsungan hidup biota laut. Berbagai kasus biota laut yang mati karena memakan plastik, membangkitkan kesadaran nasional hingga global akan bahaya sampah plastik lautan.
Pemerintah menargetkan 70% penurunan polusi plastik lautan pada 2025 – cita-cita yang WWF-Indonesia dukung dengan menginisiasi Plastic Free Ocean Program, yang fokus pada upaya pengurangan polusi sampah plastik di lautan – dengan target kota, kawasan pariwisata utama, maupun marine protected areas (MPAs) atau kawasan perlindungan laut.
Namun, berbicara mengenai sampah plastik di lautan, sudahkah kita mengetahui betul apa yang kita hadapi? Apakah kita sudah tahu, sampah plastik apa saja yang berada di Pulau Komodo, hingga pesisir Pantai Bira di Makassar.
Selama ini, pesisir pantai menjadi salah satu wilayah terkena dampak dari keberadaan sampah lautan yang terdampar akibat pengaruh arus laut, kondisi angin, maupun pasang surut perairan yang menyebabkan pergerakan sampah di laut. Riset dan data mendalam mengenai sampah plastik lautan yang ada di sepanjang pesisir pantai kita sangatlah dibutuhkan. Sayangnya, ketersediaan data dan informasi mengenai sampah plastik lautan yang berbasis pada sains masih terbatas.
Kalaupun ada, seringkali, data ini sulit untuk diakses oleh publik. Padahal, data nasional mengenai sampah lautan penting untuk membuat kebijakan strategis dan pengelolaan sampah lautan yang lebih baik ke depannya.
Dengan pemantauan, kita akan memahami persoalan terkait dengan sampah sekaligus menjelaskan persoalan sampah lautan (tipe, sumber, distribusi) untuk kemudian memformulasikan strategi pengelolaan sampah beserta solusinya. Dari sini kemudian berlanjut pada menilai efektivitas strategi pengelolaan, legislasi, dan juga regulasi tersebut.
Merintis Jaringan Citizen Science Sebagai Solusi Pro-Kolaborasi
Salah satu solusi alternatif yang saat ini tengah dirintis untuk menangani kondisi tersebut adalah dengan membentuk sebuah platform publik nasional digital, sebuah citizen science network (CSN) yang diperuntukkan bagi kegiatan survei dan pendataan sampah plastik lautan.
Citizen science adalah keterlibatan publik dalam melakukan pendataan berbasis ilmiah. Membentuk jaringan citizen science berarti menghimpun para relawan dari semua lapisan masyarakat, mulai dari akademisi, pemerintah, organisasi, lembaga, pelaku usaha, hingga wisatawan dan masyarakat lokal –tak hanya dalam kegiatan offline, tetapi dalam sebuah platform digital.
Semua stakeholders tersebut pun dapat menggunakan jaringan citizen science sebagai forum untuk bertukar ide dalam melaksanakan survei dan pendataan sampah plastik lautan, dan memperkuat program maupun kegiatan penanganan sampah plastik lautan di Indonesia.
Untuk mendukung jaringan citizen science, maka digunakanlah metodologi sains yang tergolong sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh publik dengan cakupan area yang luas. Jadi, setiap kelompok atau individu dapat melakukan pemantauan sampah di daerahnya dengan metodologi tersebut, dan menyumbangkan data mereka dalam platform citizen science.
Mewujudkan jaringan citizen science berarti menyediakan data dan informasi mengenai sampah plastik lautan untuk kepentingan publik dan dapat diakses oleh publik melalui sebuah website dan aplikasi.
Metode Pendataan Sampah yang Dapat Digunakan Publik
The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), lembaga penelitian Australia memperkenalkan cara memetakan distribusi sampah pesisir dengan random sampling. Di tiap titik pengamatan, kita catat jumlah dan jenis sampah yang ditemukan tiap 100 meter. Misalnya apakah kemasan makanan atau minuman, teks yang tertera, dan jumlahnya.
Metode CSIRO telah diterapkan oleh peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana yang menyebar ke seluruh pesisir Bali pada November 2017. “Hasilnya, ditemukan bahwa sebagian besar (45%) jenis sampah di pesisir Bali adalah plastik ‘lunak’, plastik keras (15%) dan besi. Lainnya karet, kayu, busa, baju, gelas, dan lainnya,” papar Dr. I Gede Hendrawan, peneliti yang memimpin rangkaian penelitian sampah di Bali tersebut.
“Dari sampah plastik itu, terbanyak adalah plastik kemasan (40%) makanan atau yang berlabel, kemudian sedotan (17%), dan kresek (15%),” lanjut ia.
Hasil dari penerapan metodologi ini berupa terkumpulnya data deret waktu (time series data) berkelanjutan yang kemudian dianalisis untuk melacak kondisi serta perubahan status suatu pesisir pantai dari polusi sampah plastik dari waktu ke waktu. Hasil analisis data tersebut kemudian digunakan sebagai masukan dalam mempraktikkan cara pengelolaan terbaik.
Saat ini, berbagai gerakan membersihkan sampah lautan telah dipraktikkan oleh berbagai lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Mulai dari komunitas, hingga instansi perusahaan. Bayangkan, jika semua turut mendata sampah yang mereka bersihkan dari suatu pesisir, dan menghimpun datanya dalam jaringan citizen science. Maka, gotong royong dalam menangani sampah lautan Indonesia secara berkelanjutan dan berbasis keilmiahan, bukan lagi mimpi. Kita tengah merintis jalannya menuju ke sana.