AKTIVITAS PERIKANAN TUNA BERBASIS RUMPON DI SENDANGBIRU
Oleh: Ovan Santoso dan M Choirul anam (Capture Fisheries Assistant)
Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (UPT P2SKP) Pondokdadap, Sendangbiru, Malang, merupakan salah satu pusat pendaratan tuna terbesar di Provinsi Jawa Timur. Secara geografis letak pelabuhan Pondokdadap sangat diuntungkan dengan adanya Pulau Sempu sebagai penghalang ombak alami. Kondisi tersebut memberikan keamanan terhadap kapal-kapal yang berlabuh. Kapal yang dominan menangkap jenis ikan tuna dan cakalang adalah kapal sekoci dengan rata-rata ukuran 12-20 GT (gross ton) menggunakan alat tangkap pancing dan alat bantu rumpon. Adapun jenis kapal slerek dengan rerata ukuran 30 GT menggunakan alat tangkap pukat cicin (purse seine). Hasil tangkapan utama nelayan Sendangbiru adalah, tuna albakora (Thunnus alalunga), tuna sirip kuning (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obeseus), dan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).
Dari tahun 2010 sampai 2015 produksi hasil tangkapan dari kapal sekoci dan slerek di Sendangbiru mengalami fluktuatif. Untuk ikan cakalang produksi tertinggi pada tahun 2010 sebesar 1.816 ton, terendah pada tahun 2012 sebesar 446 ton. Untuk ikan jenis tuna sirip kuning produksi tertinggi pada tahun 2014 sebesar 1,505 ton, dan terendah pada tahun 2012 yaitu sebesar 501 ton.
Perkembangan pemanfaatan penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan semakin meningkat. Diperkirakan telah ada ratusan rumpon yang digunakan oleh nelayan Sendangbiru. Hal tersebut juga diikuti dengan meningkatnya aktivitas penangkapan di Perairan Selatan Jawa. Pemanfaatan rumpon dan potensi sumber daya ikan tuna yang ada saat ini jika tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik, maka akan menyebabkan penurunan hasil tangkapan dan akan berdampak pada status keberlanjutan dari sumber daya ikan tuna ke depannya. Pemasangan rumpon yang tidak sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungan juga akan memberikan dampak negatif yang dapat merugikan nelayan dalam jangka panjang. Jika pemasangan rumpon terlalu padat mengakibatkan ikan tuna lebih sering berkeliling di sekitar rumpon.
Berdasarkan kondisi tersebut pada bulan Januari 2016, WWF-Indonesia bekerja sama dengan (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) FPIK Universitas Brawijaya melakukan survey ke Sendangbiru untuk mengamati aktivitas pemanfaatan sumber daya ikan tuna. Dari hasil survey tersebut perlu untuk dilakukan kajian mengenai status kelayakan pemanfaatan sumber daya ikan tuna berbasis rumpon. Upaya itu bertujuan untuk menghindari kemungkinan adanya pengambilan kebijakan yang kurang tepat dalam pengelolaan perikanan tuna. Kerja sama tersebut berjalan sampai Februari 2017.
Guna menghimpun informasi terkait penggunaan tersebut pada Maret 2017 WWF-Indonesia bekerja sama dengan Loka Penelitian Perikanan Tuna (LP2T) Denpasar, Bali, untuk melakukan kajian efektivitas rumpon pada perikanan tuna yang didaratkan di UPT Pondokdadap, Sendangbiru, Malang. Proses identifikasi awal dari data nelayan, penduduk, armada kapal serta produksi tuna pada tahun sebelumnya. Kemudian, dilanjutkan dengan melakukan pendataan di lapangan. Secara garis besar ada dua kegiatan pendataan yang dilakukan dari hasil wawancara nahkoda yang dilakukan, yaitu untuk menggali informasi terkait aspek teknis penangkapan dan pemenuhan data biologis dari ikan hasil tangkapan.
Jumlah kapal yang landing sebanyak 10-20 kapal jika sedang ramai ikan, namun akan sangat sedikit jika sedang tidak musim ikan hanya sekitar 3-6 kapal per harinya. Selain itu, untuk mengetahui kondisi morfometrik ikan tuna yang ditangkap menggunakan model pertumbuhan dengan analisis panjang dan berat ikan. Pengukuran panjang Fork Length (FL) dilakukan secara acak per spesies menggunakan meteran, sedangkan untuk mengukur berat ikan menggunkan timbangan berkapasitas maksimal 5kg dan 50kg. Hasil yang didapatkan untuk area penangkapan ikan tersebar antara 8–12 Lintang Selatan dan 110–114 Bujur Timur. Sedangkan untuk satu trip kapal sekoci berkisar antara 7–13 hari, penangkapan maksimal rumpon dilakukan antara bulan Mei–Oktober. Pembatasan dan perizinan rumpon perlu diperketat sesuai aturan yang berlaku dan mewajibkan pelaporan pemasangan titik rumpon yang telah terpasang.