WWF TINGKATKAN KAPASITAS FASILITATOR PROGRAM PERBAIKAN BUDIDAYA DI SULAWESI SELATAN
Oleh: Zulkarnain (Fasilitator Lokal Aquaculture Improvement Program (AIP) Udang Pinrang)
Sudah cukup lama, WWF-Indonesia menjadikan Sulawesi Selatan sebagai rumah perbaikan praktik budidaya udang melalui penerapan Better Management Practices (BMP) dalam rangkaian Aquaculture Improvement Program (AIP).
Fasilitator terbaik dikerahkan untuk mendampingi kelompok-kelompok nelayan dalam mewujudkan kualitas terbaik hasil budidaya. Baik itu rumput laut Gracilaria di Kabupaten Takalar, atau udang windu milik Kelompok Phronima, binaan WWF-Indonesia di Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang.
Dalam praktiknya, para fasilitator ini hidup bersama kelompok pembudidaya, mengawal secara langsung program kerja mereka. Namun, tentunya, mengarahkan kelompok untuk menuju visi bersama tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Konsep dasar komunikasi fasilitator itu bergerak dari lingkar pengaruh, dan lingkar peduli,” papar Arianto Hidayat, fasilitator yang pernah berkecimpung dalam program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Hari itu (2/4), WWF-Indonesia mengadakan sesi pelatihan fasilitator di Sekretariat Koran Kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Tujuannya, untuk memperkaya pengetahuan dan meningkatkan kemampuan fasilitator dalam menjalani tugasnya.
“Seorang fasilitator harus mampu menginisiasi kesepakatan untuk bergerak bersama. Fungsi fasilitator bukan untuk memindahkan isi kepala ke orang lain, tetapi bagaimana mendudukkan para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama,” lanjut dia.
“Fasilitator bertugas membantu kelompok dalam mencapai tujuan bersama,” ucap Idham Malik (WWF-Indonesia), merefleksi makna menjadi fasilitator – di hadapan delapan peserta yang merupakan fasilitator, calon fasilitator, dan mahasiswa Jurnalistik Universitas Hasanuddin.
Menjadi fasilitator berarti harus dapat memahami diri sendiri, masyarakat, dan lingkungannya dengan berbagai metode. Perlu dipahami juga, bahwa cara belajar setiap orang pun dapat menggunakan berbagai pintu. Baik melalui pintu pengalaman, refleksi, analisa, dan kerja. Tingkatan orang dalam belajar pun dapat dibedakan sesuai tingkatnya. Baik itu belajar untuk tahu, belajar untuk belajar, belajar bersama, dan belajar mandiri dengan hasil sukses atau gagal.
“Kaidah segitiga sama sisi kalian butuhkan sebagai dasar penulisan sebuah laporan,” ucap Ariyanto. “Tiga hal yang harus tersampaikan dengan jelas pada pembaca , adalah bicara, pikiran, dan tulisan,” kata dia, menyimpulkan hikmah dari games yang mereka mainkan hari itu.
”Hari ini, sebagai seorang fasilitator, kita terus belajar menjadi seperti kopi,” ucapnya lagi. “Walaupun dicampur dengan barbagai bahan, aromanya tetap ada,” sampainya pada seluruh fasilitator di ruangan tersebut.
Harapannya, setelah pelatihan hari itu, lebih mudah bagi seorang fasilitator untuk terus belajar secara situasional dengan metode pendekatan yang tepat. Misalnya, metode pendekatan Technical Need Assessment (TNA), yaitu analisis berdasarkan kebutuhan.
Strateginya, dengan melihat titik pertemuan antara tiga lingkaran program, lingkaran komunitas, dan lingkaran pembelajar. Semakin kuat fasilitator, semakin besar kemungkinan sebuah kelompok akan maju, dengan mewujudkan praktik terbaik budidaya – dan produk hasil budidaya yang bersaing di tingkat nasional, bahkan internasional.