CATATAN #XPDCMBD: DESA TOMRA DAN DESA NUWEWANG
Penulis: Nara Wisesa (WWF-Indonesia)
Pagi hari, Nara (WWF-Indonesia) dan Kris (DKP Maluku Barat Daya) turun terlebih dahulu ke darat untuk melapor ke Kepala Desa (Kades) Tomra dan Syahbandar di Pulau Leti. Kades mengizinkan Tim Laut untuk melakukan pengambilan data ekologi dan Tim Darat untuk mengambil data melalui diskusi kelompok terarah dan wawancara informan kunci di Balai Desa, siang hari.
Sebelum Tim #XPDCMBD turun ke lapangan, mereka sempat dikunjungi oleh seorang staf TNI AL Pangkalan Tomra di atas kapal Seven Seas untuk pemeriksaan keamanan kapal, kru, dan penumpang. Setelah waktu makan siang, Tim Darat langsung berangkat menuju Desa Tomra. Setibanya di lokasi, seperti biasa, tim dibagi menjadi dua kelompok. Tim A melakukan pengambilan data Desa Tomra dan Tim B – yang langsung berangkat dengan ojek – mengambil data sosial dan perikanan di Desa Nuwewang.
Tim A disambut oleh kades, disusul oleh beberapa warga 30 menit kemudian. Sebelum memulai diskusi kelompok terarah, Tim A mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang tengah dihadapi oleh desa ini, salah satunya adalah keterbatasan bahan bakar. Walaupun terbatas, stok yang ada pun dijual dengan harga yang terhitung rendah yaitu sekitar IDR 12.500 per liter.
Setelah selesai berbincang dan melakukan diskusi kelompok terarah, diketahui bahwa kehidupan nelayan Desa Tomra zaman dulu sangat bergantung pada kondisi alam. Namun dengan adanya bantuan alat tangkap dan perahu dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maluku Barat Daya, pola pemanfaatan sumber daya alamnya pun berubah. Kini, untuk memenuhi kebutuhan permintaan pasar dari kabupaten untuk produk ikan, warga desa setempat tidak lagi terlalu bergantung pada musim.
Sementara itu di Desa Nuwewang, Tim B memiliki sebuah cerita unik. Saat sedang melakukan diskusi kelompok terarah, terdapat seorang wanita berusia 95 tahun hadir selama kegiatan dan cukup aktif mengeluarkan pendapatnya. Namun karena sudah terlalu tua, suara dan bahasanya kurang begitu dipahami oleh tim, sehingga data yang diperoleh dari beliau masih terhitung minim.
Saat diskusi, Tim B memperoleh beberapa informasi penting, salah satunya adalah pola penangkapan ikan di Desa Nuwewang ternyata serupa dengan desa-desa yang dikunjungi Tim Darat saat melakukan pengambilan data di Pulau Moa. Saat melakukan ‘bameti’, para wanita di Desa Nuwewang juga mengambil ‘bia’, sejenis siput atau keong laut; dan ikan-ikan kecil seperti teri atau puri, dengan menggunakan jaring tipis.
Selain itu, diketahui pula terdapat sepuluh kelompok nelayan di Desa Nuwewang, masing-masing beranggotakan sekitar enam orang. Tiap kelompok memiliki rumpon untuk menangkap ikan layang, atau ‘momar’ dalam bahasa lokal. Ikan-ikan yang dijual, termasuk ikan karang besar, di Tiakur pun sebagian besar berasal dari Desa Nuwewang.
Zaman dulu, di perairan barat Pulau Leti terdapat banyak kapal penangkap ikan besar dari Laut Banda yang berteduh di situ ketika sedang musim angin kencang. Sekarang sudah tidak ada lagi, sejak pelarangan pengoperasian kapal pukat. Positifnya, hal ini membuat nelayan desa makin banyak mendapatkan hasil tangkapan cakalang, apalagi bila menggunakan rumpon, sehari dapat dua kali tangkap. Pabrik es pun sedang dalam proses pembangunan di Nuwewang oleh investor dari Jawa Timur. Keberadaan pabrik es ini nantinya dapat mendukung akses pasar bagi masyarakat Leti.
Sasi untuk lola, teripang, dan batulaga pun berlaku hingga saat ini. Panen terakhir sekitar dua tahun lalu dan menghasilkan sekitar sepuluh ton kulit lola, enam ton teripang, dan satu ton kulit batulaga. Tak hanya itu, lobster pun juga ikut terkena sasi. Masyarakat hanya boleh menangkap di daerah petuanan dan orang dari luar desa yang boleh masuk hanya penghuni desa tetangga.