KELAPA MUDA DESA ALLUMANG HARGANYA RP2,500
Oleh: Nisa Syahidah (WWF-Indonesia)
Sebagai orang yang rindu daratan, hari itu saya beruntung ikut tim penyelam pimpinan Derta (Reef Check Indonesia) bersama speedboat Simba. Kami berangkat pagi hari dengan membawa perbekalan makan siang. Kadang, tim peneliti yang menggunakan Simba memang tidak kembali ke kapal induk untuk makan siang demi efisiensi waktu dan bahan bakar.
“Byurrrrrrrr…….”
Saya menceburkan diri di air berwarna tosca di sekitar Pulau Kambing, sebelah barat Pulau Pantar. Dingin sekali airnya! Puas snorkeling, sambil menunggu tim yang sedang menyelam, saya duduk di haluan speedboat, bermaksud menikmati suasana tenang yang langka itu. Tiba-tiba Pak Izaak (DKP Provinsi NTT) berteriak, lumba-lumba! Dua lumba-lumba itu ternyata melompat di hadapan saya, dekat sekali.
Dan perasaan senangnya, tidak selesai sampai di situ. Setelah melakukan penyelaman di tiga titik, kami kembali ke perairan Kampung Wolu, Pantar Barat – tempat kami menginap semalam, dan malam nanti. Menami belum ada di sana, masih bersama dinghy mengantar tim penyelam lainnya di sekitar Pulau Rusa dan Pulau Kangge.
Kami pun memutuskan untuk menunggu sambil beristirahat di daratan, sambil mencari kios dan segelas kopi panas. Jadi pemandangan lucu ketika para penyelam ini berjalan dengan wetsuit dan booties (atau sekalian nyeker) di kampung.
Diantar pandangan mata warga yang senyum-senyum, kami beristirahat di bale-bale Pasar Wolu. Sepi sekali, hanya ada satu kios yang buka dan mama-mama yang sedang mengumpulkan batok kelapa tua. “Kalau ke sininya tadi pagi, ramai, karena pasarnya buka,” katanya.
Area pesisir pantai ini digunakan warga hanya sebagai pasar dan rumah darurat saat membudidayakan rumput laut. Saya pun diantar warga untuk pergi mencari air panas di desa, sementara teman-teman menunggu di Pasar Wolu.
Kak Anton dengan motornya membawa saya masuk ke dalam kampung. Ternyata, nama desa ini adalah Allumang, dengan penduduknya yang semua pemeluk Kristen, berbeda karakteristiknya dengan desa seberang, Desa Marisa di Pulau Kangge yang seluruhnya Muslim. Cukup jauh rupanya perjalanan menuju rumah-rumah warga. Kami melewati perkebunan luas, dan di sanalah saya melihat bangunan gereja di tengah ladang jagung. Klasik sekali, sampai saya potret berkali-kali sembari motor Kak Anton melaju.
Saya kembali ke Pasar Wolu bersama mama kios yang membawa berbagai macam minuman instan, dengan termosnya sekalian!
“Pak, kalau mau kelapa muda, bisa?” Atas approval Om Khaifin (WWF-Indonesia), Pak Andreas, bapak separuh baya yang sedang duduk di depan kios di pasar, memanjat pohon kelapa dan kembali dengan tujuh buah kelapa muda. Ia membukakannya untuk kami, yang benar-benar terbuai dengan angin sepoi di atas bale-bale bambu itu.
“Pak, berapa harga kelapanya?”
“2,500,” katanya.
Kami yang kaget mengetahui harga semurah itu, menggandakan harganya dan meninggalkan desa dengan sekardus pisang susu, kembali ke Menami yang sudah menampakkan diri di perairan desa ini, Allumang, Kecamatan Pantar Barat.