#KEPITINGLESTARI: DORONG PERBAIKAN PRAKTIK PERIKANAN KEPITING BAKAU DI MALUKU TENGGARA
Oleh: Faridz Rizal Fachri (Capture Fisheries Officer, WWF-Indonesia)
Kepiting Bakau (Scylla sp) merupakan salah satu komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi. Besarnya permintaan akan komoditas ini telah memicu eksploitasi yang berlebihan di habitatnya. Tekanan yang terjadi membuat masa dewasa kepiting datang lebih cepat. Hal ini terlihat dari tren ukuran lebar karapas yang terus mengecil hingga di bawah 5 cm, seperti yang terjadi di Pantai Utara Pulau Jawa.
Pengelolaan pemanfaatan kepiting bakau sangat penting untuk dilakukan. Hal ini tercermin dengan dikeluarkannya Permen KP No.1/2015 Tentang Aturan Penangkapan Kepiting Bakau (dengan panjang karapas di atas 15 cm).
Peraturan ini cukup sulit untuk dipatuhi oleh para nelayan, mengingat sangat jarangnya kepiting bakau tertangkap pada ukuran tersebut. Meskipun, memang sudah ada Surat Edaran Menteri KP No 18/MEN-KP/I/2015 terkait dengan ukuran berat yang boleh ditangkap dan diperjualbelikan secara bertahap (tahun 2016 ukuran tangkap karapas > 15 cm untuk seluruh jenis Scylla sp., dengan berat > 350 gram).
Potensi sumber daya kepiting bakau yang masih alami dapat dijumpai di Kabupaten Maluku Tenggara, yaitu di ekosistem hutan mangrove Hoat Soarbay, yang mana tercakup ke dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kei Kecil. Produksi kepiting bakau di Hoat Soarbay mencapai 4,01 ton/tahun.
Terdapat dua spesies kepiting bakau yang telah teridentifikasi, yakni Scylla cerrata dan Scylla olivace. Kedua spesies ini ditangkap dengan menggunakan bubu dari anyaman bambu berdimensi 110 x 70 x 50 cm., Pengoperasian bubu setting dan hauling dilakukan satu kali dalam sehari (one-day fishing), dengan menggunakan ikan umpan jenis kakap dan baronang.
Hasil tangkapan di Hoat Soarbay menunjukkan bahwa kondisi kepiting bakau cukup baik, dengan melihat panjang karapas kepiting tangkapan yang dapat mencapai 23 cm (rata-rata 13.8 cm). Penggunaan ikan umpan juga perlu diperhatikan sebagai ikan non-target dan ikan tangkapan sampingan (bycatch), karena masih masuk ke dalam dinamika habitat dan ekosistem mangrove di Hoat Soarbay.
Melihat potensi tersebut, tentunya perbaikan praktiek perikanan kepiting bakau perlu diimplementasikan untuk mendukung sumber daya #KepitingLestari di Maluku Tenggara. Praktik perbaikan perikanan ini dilaksanakan berdasarkan pada hasil observasi awal, yang disusun dalam rencana kerja tahunan bersama dengan para pihak seperti Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Maluku Tengggara, kelompok nelayan Sinar Abadi, badan penyuluh, dan WWF-Indonesia. Penyusunan rencana kerja ini mengacu pada prinsip-prinsip Marine Stewardship Council (MSC).
Pencatatan logbook perikanan menjadi faktor penting untuk menganalisis status stok kepiting bakau di Hoat Soarbay, yang mana juga merupakan landasan dalam kajian komposisi tangkap dan aturan pengendalian penangkapan (harvest control rule/HCR) guna menyusun strategi pemanfaatan kepiting bakau.
Kajian lain yang perlu dilakukan adalah risk base framework (RBF) dalam mengetahui dampak aktivitas perikanan terhadap habitat dan ekosistem yang meliputi spesies non-target (primer dan sekunder), spesies yang dilindungi dan terancam punah, serta mangrove di Hoat Soarbay. Kajian yang dihasilkan digunakan sebagai data dasar dalam pemanfaatan kepiting bakau di ekosistem mangrove Hoat Soarbay, yang kemudian didorong untuk menjadi peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas setempat.
Agar kepiting bakau dari Hoat Soarbay kian meningkat nilai ekonominya, maka dilakukan strategi pemasaran yang terhubung pada pasar produk ramah lingkungan yang dinilai potensial.
Caranya, dengan menghubungkan kelompok nelayan Sinar Abadi, selaku produsen utama kepiting bakau dari Hoat Soarbay, dengan Fish N’ Blues, yang merupakan salah satu mitra bisnis WWF-Indonesia. Selain terkait aspek ekonomi, strategi pemasaran ini juga dijalankan dengan tujuan untuk mempromosikan perikanan #KepitingLestari sebagai salah satu ciri khas Maluku Tenggara.