WAKATOBI AWALI PEMBENAHAN SAMPAH DENGAN PENDATAAN
Masih ingat dengan kasus paus sperma terdampar mati dengan perut berisi sampah di Wakatobi? Dari Pantai Kolowawa, Pulau Kapota, Wakatobi, angka 5,9 kilogram sampah plastik dalam perut paus tersebut (19/11) menjadi pengingat bukan hanya bagi Wakatobi, tetapi juga dunia.
Taman Nasional Laut Wakatobi yang didominasi perairan, yaitu 97% dari 1,3 juta hektar luasnya, saat ini berada di bawah ancaman sampah plastik. Keberlangsungan hidup ragam flora dan fauna akan berimbas kepada daya tarik alam yang selama ini menjadi unggulan Wakatobi sebagai destinasi prioritas wisata bahari di Indonesia.
Asal sampah plastik memang belum dapat kita pastikan. Apakah dari masyarakat pesisir, kapal yang melintas, atau bahkan dari pulau atau negara lain. Namun, bukan berarti kita bisa saling lempar tanggung jawab dan memperjuangkan pendapat masing-masing.
Agar masalah sampah plastik dapat teratasi, yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana startegi serta tindakan yang tepat untuk mengurangi sampah plastik di lautan. Hal inilah yang dilakukan oleh Wakatobi, baik dari komunitas, NGO, maupun pemerintah setempat.
Atasi Sampah, Mulai dengan Mendatanya
Kawasan Waha Raya merupakan salah satu kawasan dengan jumlah penduduk terpadat di kecamatan Wangi Wangi. Waha Raya adalah destinasi wisata dengan pantai pasir putih serta ekosisitem mangrove yang baik. Namun, sayangnya, ketersediaan infrastruktur pengangkutan sampah menuju TPA (tempat pembuangan akhir) belum tersedia. Jarak antara kawasan desa dengan TPA cukup jauh.
“Kita membutuhkan data yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, untuk memulai menyusun strategi yang tepat dalam pengurangan sampah di darat,” ungkap Rudi, mewakili komunitas di kawasan Waha Raya, Kecamatan Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi. Memang, 80% sampah di lautan berasal dari darat.
Agar sampah tersebut tidak menambah berat sampah plastik di lautan, berbagai komunitas bersama pihak akademisi dari Akademi Komunitas Kelautan Perikanan Wakatobi (AKKP), serta WWF-Indonesia program Southern Eastern Sulawesi Subseascape (SESS) melakukan pengambilan data timbulan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat di kawasan Waha Raya, yaitu di Desa Wapia-pia, Waha, dan Koroeonowa.
Timbulan sampah didata dengan menggunakan metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-3964-1994 untuk metode pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah perkotaan. Dari hasil pengambilan data tersebut, ternyata, timbulan sampah di kawasan Waha Raya mencapai 1,875 ton/hari. Jika diproyeksikan selama satu tahun, kawasan ini dapat menghasilkan sampah sebanyak 684,51 ton (Oktober 2018).
Komposisi sampah perharinya adalah 51,2 % organik, 6,5% plastik lentur, 4,4% plastik keras, 5% kertas, 3,3% kain, 3,1% kaleng, 2,2% gelas/kaca, 1,7% kayu, 1,3% karet, dan 21,3% lainnya.
Ada beberapa cara pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat Waha Raya, yaitu dengan cara dibakar, ditumpuk di kebun, bahkan masih ada masyarakat yang masih membuang sampah rumah tangga mereka di pesisir laut.
Dari data tersebut, akademisi menyusun beberapa skenario pengelolaan sampah dengan menggunakan pemodelan Life Cycle Assessment (LCA) melalui perangkat IWM2.
Strategi Pengelolaan Sampah di Waha Raya
Terdapat 4 skenario pengelolaan yang dapat digunakan di kawasan Waha Raya, menurut pemodelan yang dilakukan.
- Limbah yang dikumpulkan langsung dikirim ke tempat pembuangan sampah (landfill) tanpa proses pengolahan sebelumnya. Sama dengan kondisi eksisting pengelolaan sampah di Wakatobi.
- Sistem pengelolaan limbah padat terdapat pemilahan 50% bahan organik untuk proses pengomposan. Terdapat pengolahan gas dan lindi yang dihasilkan di landfill.
- Timbulan sampah yang dihasilkan seluruhnya akan dikirim ke landfill, tetapi sampah anorganik yang terpilah didaur ulang di unit pengelolaan sampah (UPS).
- Sistem pengelolaan limbah padat sudah terdapat kegiatan pemilahan dan penyortiran limbah, kemudian didaur ulang (anorganik) dan pengomposan (organik).
Namun berdasarkan penilaian dari berbagai aspek, skenario 4 merupakan skenario yang paling direkomendasikan. Karena, selain bisa mengurangi timbulan sampah, skenario ini juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
Data dan skenario yang didapat dari kegiatan ini, tidak akan berbunyi apapun jika pihak pengambil kebijkan baik di desa maupun daerah tidak mengimplementasikannya. Untuk itu, sangat diharapkan data yang baik ini dapat digunakan secara optimal oleh pemangku kebijakan sebagai dasar penyusunan peraturan untuk pengelolaan dan pengurangan sampah, terutama sampah yang sulit terurai dengan sendirinya. Agar Wakatobi dapat menjadi penyumbang pengurangan sampah lautan.