TEKNOLOGI SATELIT LINDUNGI SATWA LAUT
Oleh: Creusa Hitipeuw
Kemajuan teknologi ternyata bukan hanya menjawab kebutuhan manusia sehari-hari, tetapi juga sangat membantu pekerja dan lembaga konservasi dalam melindungi satwa. Teknologi pemantauan melalui satelit sangat tepat digunakan untuk memantau pergerakan satwa-satwa bermigrasi, untuk satwa darat, dan terutama satwa laut yang sulit diamati pergerakannya dari permukaan.
Program Kelautan WWF-Indonesia menggunakan teknologi pemantauan melalui satelit (satellite tagging) saat ini untuk tiga spesies penting: penyu, hiu paus, dan ikan tuna, yang merupakan spesies penting (flagship species) untuk kawasan Kepala Burung Papua, Teluk Cenderawasih, dan perikanan Indonesia secara umum.
Data yang dihasilkan dari pemantauan satelit tersebut, selain memberikan gambaran lebih lengkap mengenai spesies itu sendiri, juga memberikan informasi penting bagi habitat dan lokasi yang menjadi perlintasan maupun persinggahan spesies-spesies tersebut, tentunya pengungkapan lokasi dan jalur tersebut akan mengahdirkan informasi bagi penyusunan strategi kerja konservasi, termasuk di dalamnya untuk pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan perlindungan.
Contoh jalur migrasi yang dimunculkan oleh Hiu Paus selama 2 minggu pemantauan. © WWF-Indonesia
Kegiatan pemantauan melalui satelit bukan sesuatu yang baru, melainkan metode yang umum digunakan oleh peneliti dan ilmuwan dunia untuk memperoleh data. Contohnya, pemantauan melalui satelit untuk hiu putih raksasa, untuk mendeteksi pergerakannya dalam rangka mitigasi (menghindari) potensi konflik dengan manusia.
Mengintai Sang Duta Kelautan
Indonesia memiliki 6 dari 7 jenis penyu yang ada di dunia, termasuk jenis penyu terbesar dan terlangka yaitu penyu belimbing (Dermocelys coriacea). Penyu dapat ditemukan di hampir seluruh perairan Indonesia, demikian pula lokasi-lokasi penelurannya. Dengan pemantauan satelit, para ilmuwan di WWF mengetahui jalur migrasi, pola pergerakan dan habitat-habitat yang penting untuk penyu.
Salah satu jenis penanda satelit sebelum dipasang. © WWF-Indonesia / Natalie J TANGKEPAYUNG
Penyu belimbing yang telah ditandai bergegas menuju ke laut bebas untuk memberikan informasi berharga. © WWF-Indonesia / Natalie J TANGKEPAYUNG
WWF melakukan pemantauan satelit untuk penyu belimbing yang bertelur di pantai Jamursbamedi, penyu hijau yang bertelur di pulau Derawan, dan penyu lekang di pantai Alas Purwo, dan beberapa lokasi lainnya. Data yang terkumpul menunjukkan hubungan antara perairan Kepala Burung Papua dengan perairan selatan Papua di Kaimana, laut Aru, dan pantai barat Amerika Serikat. Juga ada hubungan antara perairan Kepulauan Derawan dengan laut Sulu, laut Sulawesi, dan pantai barat Kalimantan. Sementara pantai selatan Jawa Timur ternyata dihubungkan oleh penyu dengan pesisir barat Australia.
Berenang Bersama Raksasa Jinak
Pemantauan satelit untuk hiu paus (Rhincodon typus) baru mulai dilakukan sekitar tahun 2011 oleh para ilmuwan WWF yang bekerja sama dengan Balai Besar TNTC serta masyarakat di Teluk Cenderawasih. Data yang terkumpul masih sedikit, namun jika disandingkan dengan data dari pemantauan visual yang sudah dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa seluruh kawasan TNTC adalah habitat penting untuk hiu paus.
Pemasangan penanda menggunakan senapan tancap yang dilakukan dibagian yang tidak melukai satwa. © WWF-Indonesia / Kartika SUMOLANG
Tagging telah terpasang dengan baik yang segera mengirimkan informasi penting. Dalam periode waktu tertentu, penanda akan terlepas dengan otomatis. © WWF-Indonesia / Kartika SUMOLANG
Hiu paus bisa ditemukan di seluruh perairan Indonesia, namun pemantauan yang akurat berhasil mengidentifikasi bahwa Teluk Cenderawasih memiliki populasi hiu paus terbesar dan merupakan habitat penting sehingga perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Hiu paus ditemukan dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 3-6 individu, umumnya pada masa peralihan musim dari musim angin Barat ke angin Timur atau sebaliknya.
Data dari pemantauan bisa digunakan oleh sektor pariwisata, untuk membantu mempromosikan kawasan Teluk Cenderawasih dan menawarkan atraksi yang tepat untuk pengunjung.
Mengikuti Si Perenang Cepat
Perairan Indonesia juga merupakan habitat penting bagi tuna, ikan bernilai ekonomi tinggi yang memberi pemasukan besar bagi devisa Indonesia. Nelayan tuna di Indonesia jumlahnya sangat banyak, baik nelayan tradisional maupun skala industri dengan kapal-kapal rawai dan purse seine. Fakta bahwa semakin dikit jumlah tangkapan dan semakin jauh area penangkapan mendorong WWF melakukan pemantauan perilaku dan habitat tuna.
Salah satu jenis penanda untuk ikan tuna jenis pop-up-tag. Bentuk terpasang hampir mirip dengan penandaan pada hiu pau (gambar di atas) © WWF-Indonesia / Sugiyanta
Bentuk lain penandaan tuna non satelit. Jenis ini mengharuskan ikan tertangkap kembali agar asal mula tempat penandaan dapat diketahui. © Christian Daniel
Satellite tag dipasang pada tuna ekor kuning (yellow fin / Thunnus albacares) ukuran dewasa yang ditangkap di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dengan bantuan nelayan tradisional yang menangkapnya dengan pancing ulur (handline). Pemasangan pemancar dilakukan oleh ilmuwan WWF, ahli spesies laut, dan Balai Taman Nasional Wakatobi.
Data yang terkumpul akan menunjukkan pola migrasi tuna dan habitat ekologis penting lainnya seperti lokasi pemijahannya (berkembang biak). Dengan pengetahuan tersebut, upaya konservasi dapat difokuskan pada habitat-habitat yang memiliki nilai ekologis penting, sehingga penjagaan jumlah populasi tuna agar mencukupi kebutuhan konsumsi dapat berlangsung efektif dan efisien.
Penggunaan Data Pemantauan
Data yang dikumpulkan dari pemantauan berkala sangat bermanfaat untuk berbagai hal. Mengetahui pergerakan satwa dengan pemantauan melalui satelit terbukti memberi masukan yang signifikan untuk pengelola kawasan, membantu menentukan strategi yang tepat untuk mengurangi ancaman terhadap populasi, dan menghindari terjadinya konflik antara satwa dengan manusia.
Berdasarkan hasil pemantau satelit pada penyu, diketahui bahwa jalur migrasi penyu ternyata banyak bersinggungan dengan jalur perikanan, sehingga banyak penyu terancam terjebak dalam alat penangkapan ikan. Informasi tersebut menyatakan bahwa upaya perlindungan penyu di lokasi peneluran saja tidaklah cukup, tetapi perlu juga melindungi jalur migrasinya. Hal ini mendorong WWF untuk bekerja dengan nelayan dan perusahaan-perusahaan perikanan tuna yang beroperasi di perairan samudera di Samudera Hindia dan Pasifik Barat. Sama halnya dengan tuna dan hiu paus yang bermigrasi, bahwa seringkali ancaman tidak datang di lokasi habitat perkembangbiakannya, namun juga di jalur migrasinya. Ancaman-ancamannya biasanya merupakan aktivitas perikanan yang tidak ramah lingkungan dan merusak, serta lalu lintas transportasi skala besar, serta pembangunan kawasan laut atau pesisir.
Fakta-fakta Mengenai Teknologi Pemantauan Satelit
- Alat pemantauan: pemantauan satelit menggunakan pemancar yang dilekatkan pada satwa, yang akan mengirimkan data ke satelit. Alat pemancar menggunakan baterai yang tahan selama periode waktu tertentu (biasanya dalam hitungan bulan atau tahun) dan dapat dimatikan sewaktu-waktu bila pemantauan dianggap selesai. Alat pemancar dilekatkan di tubuh satwa tanpa menyakiti satwa tersebut dan akan terlepas sendiri setelah kurun waktu tertentu yang berbeda pada setiap spesies.
- Data yang dihasilkan: pemancar yang melekat pada satwa mencatat informasi lokasi geografis, suhu air, kedalaman, salinitas, dan berbagai informasi lain tergantung dari kemampuan penanda tersebut. Biasanya semakin banyak fitur yang ditawarkan harga penanda tersebut akan semakin mahal.
- Pengolahan data: data dari satelit dikirimkan pada stasiun bumi yang dikelola oleh NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration – lembaga di Amerika Serikat yang menangani masalah kelautan dan atmosfir)
- Biaya dan investasi: Investasi teknologi satelit memang sangat mahal untuk saat ini, namun bagaimana pun juga informasi yang didapatkan jauh lebih berharga dari investasi yang ditanamkan. WWF-Indonesia percaya bahwa penggunaan satelit dapat membantu kehidupan manusia yang bergantung pada keseimbangan ekosistem. Informasi kepada nelayan atau masyarakat umum perlu disebarkan sehingga kemungkinan pada suatu saat jenis-jenis satelit tersebut ditemukan oleh masyarakat agar dapat dikembalikan sesuai identitas yang tertera pada unit penanda tersebut.
Kontak:
Creusa Hitipeuw,
Koordinator Spesies Laut, WWF-Indonesia,
chitipeuw@wwf.or.id