SUPORTER WWF JELAJAHI KEARIFAN LOKAL DI SUDUT YOGYAKARTA
Oleh: Nur Anisah
Yogyakarta (22/01)-Rasanya waktu setengah hari tidak akan cukup untuk menjelajahi alam Yogyakarta. Daerah istimewa sarat dengan nilai historis dan budaya. Kota kedua yang dipilih untuk mengadakan Supporter Gathering WWF-Indonesia, setelah Ngariung di Alam Bandung bulan November tahun lalu.
Kegiatan ini adalah media WWF untuk lebih dekat dengan para suporter, yang telah memberikan dukungan terhadap upaya pelestarian alam Indonesia. “Jelajah Yogyakarta” diikuti sekitar 10 peserta yang berkumpul jam 7 pagi di Benteng Vredeburg, yang letaknya berdekatan dengan pusat belanja Malioboro, pada hari Sabtu, 22 Januari 2011.
Agenda kegiatan hari itu adalah bersepeda onthel mengelilingi beberapa tempat sekaligus berbagi ilmu tentang pelestarian lingkungan. Berangkat ke lokasi dengan bus menuju daerah Sentolo, Yogyakarta. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari pusat kota, akhirnya tiba di sebuah desa yang cukup tenang jauh dari keramaian kota di kabupaten Kulon Progo tersebut.
Di Sentolo, suporter disambut oleh Muntowil, pemilik sepeda sekaligus pemandu kami pada kegiatan hari itu. Mas Towil begitu ia biasa dipanggil, memiliki lebih dari 10 sepeda onthel yang terparkir di halaman rumah. Modelnya pun beragam, baik untuk sepeda perempuan maupun sepeda laki-laki.
Para peserta pun sangat antusias ingin segera mengendarai sepeda tersebut. Beberapa diantara mereka sibuk memilih sepeda mana yang cocok dan mencobanya terlebih dahulu berkeliling di sekitar kediaman Mas Towil. Setelah 20 menit bersepeda, akhirnya rombongan sampai ke lokasi pertama, SD Banguncipto di daerah Bantar, Kabupaten Kulonprogo. Berada di pelosok desa, bukan berarti tidak melestarikan alam. SD ini telah menerapkan prinsip gaya hidup hijau. Setiap ruang kelas dilengkapi dengan dua buah tong sampah besar yang memilah antara sampah organik dan non organik.
Israr Ardiansyah dari WWF-Indonesia yang berasal dari Yogyakarta berbagi cerita kepada adik-adik di SD Banguncipto tersebut. Bagaimana lingkungan di kampung asalnya berbeda dibandingkan 20 tahun yang lalu dan mengajak generasi muda terus menjaga kelestarian alam agar tetap bisa menikmati keindahan alam Yogyakarta dan mewariskannya kepada keturunan mereka nantinya. Sebelum meninggalkan sekolah, para suporter menyerahkan beberapa pohon untuk ditanam di halaman.
Perjalanan dilanjutkan menuju tempat pembuatan tenun tradisional yang berjarak sekitar 10 menit bersepeda. Bertemu dengan sebuah keluarga petani yang disela-sela kesibukan bercocok tanam, mencari tambahan dari tenun. Alat yang digunakan sangat sederhana, biasa dikenal dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Salah seorang peserta, Irene mencoba menggunakan alat tenun tersebut dipandu oleh Si Ibu pemiliknya. “Awalnya agak sulit, tetapi lama kelamaan bisa menyesuaikan antara kaki dan gerakan tangan saat menenun” ujar Irene Yunani yang telah 2 tahun lebih menjadi suporter WWF.
Setelah dibuat terksesima oleh kerajinan tenun, para suporter lalu melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi tempat pembuatan tempe dan tas organik berbahan eceng gondok. Di rumah sederhana itu, rombongan disambut oleh seorang nenek berparas ramah yang tengah sibuk membungkus tempe. Tempe yang berbentuk persegi panjang dan agak tipis kemudian dibungkus rapat dengan daun pisang. Ukuran tempe ini lebih kecil daripada tempe yang kebanyakan dijual di kota.
Para suporter dengan semangat membeli beberapa bungkus tempe untuk dibawa pulang kerumah, meskipun tempe tersebut baru dapat dikonsumsi keesokan harinya. “Kalau yang belum matang begini, enaknya dibikin mendoan”. ujar Wiwik salah seorang suporter sambil menunjukkan kresek kecil berisikan tempe.
Sayangnya, saat itu kami tidak dapat melihat proses pembuatan tas eceng gondok secara langsung karena nenek tersebut hari itu sedang membuat tempe. Namun, di kediamannya terdapat tumpukan tas yang masih setengah jadi. Hasil kerajinan tersebut nantinya akan dijual kepada agen yang berada di seberang jalan. Harga setiap tas pun bervariasi mulai dari Rp 50.000 – Rp 80.000 tergantung model dan ukuran tasnya.
Usai menjelajahi ketiga tempat yang letaknya cukup jauh tersebut, penjelajahan pagi itu harus berakhir tepat pukul 11 siang di kediaman Mas Towil. Pecel dengan lauk ayam dan tempe bacem menjadi menu khas yang nikmat siang itu.
Sebelum berpisah, Israr Ardiansyah berbagi informasi mengenai ruang lingkup WWF. Tidak hanya melestarikan satwa liar tapi juga keseluruhan ekosistem yang menopang kehidupan makhluk hidup di bumi. “WWF juga memiliki ruang kerja yang juga menyokong kearifan lokal seperti di Kayan Mentarang di mana masyarakat di sana memproduksi kerajinan tangan manik banuaka agar tidak merusak alam” ujarnya.
Harapannya, teman-teman suporter WWF dapat membantu menyebarkan informasi kepada publik bahwa WWF-Indonesia tidak hanya bekerja untuk pelestarian satwa liar melainkan pelestarian alam secara menyeluruh, termasuk masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan konservasi.