STUDI KUALITAS AIR UNGKAP PENYEBAB PACEKLIK RUMPUT LAUT KOTONI DI WAKATOBI
"Oleh: Idham Malik (Aquaculture Staff, WWF-Indonesia)
Sudah sejak tahun 2012, pembudidaya rumput laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara beramai – ramai pindah komoditas, dari budidaya kotoni (Kappaphycus alvarezii) ke spinosum (Eucheuma spinosum). Pemicunya lantaran spinosum punya harga cukup tinggi dan setara dengan harga rata – rata kotoni, yaitu Rp. 8.000. Selain itu, budi daya rumput laut yang cukup cepat dipanen. Namun, penyebab pasti kepindahan itu karena budi daya kotoni tidak lagi menjanjikan bagi para pembudidaya.
“Pulau – pulau di Wakatobi merupakan pulau kecil yang tidak memiliki sungai besar yang biasa mensuplai bahan – bahan organik. Tidak banyak juga aktivitas pertanian dan perkebunan. Sehingga, suplai bahan organik dari darat (sisa – sisa pupuk dan kotoran ternak) kurang tersedia di Wakatobi,” papar Dr. Ir. Nursidi latief, M. Si, dari Politani Pangkep, dalam Seminar Sosialisasi Hasil Pendataan Kualitas Air Kawasan Budidaya Rumput Laut Wakatobi di Hotel Wakatobi (29/08/2018) di Wanci, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Seminar ini merupakan sosialisasi hasil program pendataan daya dukung lingkungan dari tim sains kelautan WWF-Indonesia.
“Kurangnya kandungan nitrat ini menjadi sebab kunci sulitnya pertumbuhan rumput laut kotoni di perairan Wakatobi,” sambung ia di hadapan peserta seminar, yaitu pelaku budi daya rumput laut Pulau Wanci dan Kaledupa serta stakeholder Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Wakatobi dan Taman Nasional Wakatobi.
Nitrat penting sebab merupakan salah satu dari dua senyawa (nitrat dan phospat), yang menjadi sumber energi bagi alga rumput laut. Jika kandungan nitrat di perairan bawah standar, maka pertumbuhan rumput laut lambat dan cepat mati.
Budi daya kotoni hanya bertahan di sedikit lokasi di Wakatobi, seperti sebagian kecil di Derawa dan Langgea, Pulau Kaledupa, sebagian besar kawasan budi daya hanya dapat memproduksi budi daya pada musim tertentu, umumnya musim hujan. Pada saat musim hujan lewat, kotoni umumnya terserang penyakit ice – ice atau pun bulu kucing, yang membuat pertumbuhan lambat dan akhirnya mati.
Para pembudidaya pun memanen apa yang ada dan tidak ada lagi stok bibit untuk budi daya berikutnya. Kondisi tersebut mengharuskan pembudidaya untuk kembali membeli bibit pada lokasi lain, yang berarti menguras ongkos mereka.
Padahal pada tahun 1980-1990-an, budidaya kotoni seakan – akan tidak ada persoalan di Wakatobi. Penyakit ice – ice belum merunyak dan pembudidaya dapat rutin memanen budidayanya sepanjang tahun, selain pada musim kemarau, yang hanya memelihara bibit rumput laut. Pengakuan petambak, sejak 2009, penyakit mulai muncul, hal ini seiring dengan bertambahnya kuantitas rumput laut yang ditebar di laut.
Kurangnya Nitrat dalam Perairan, Sebab Kotoni Mati di Wakatobi
Tampaknya, kapasitas laut Wakatobi tidak dapat lagi menampung rumput laut kotoni dalam jumlah banyak. Apa penyebab dan solusinya?
Untuk mengungkap penyebabnya, pendataan dilakukan menggunakan alat kualitas air untuk mendata kualitas air kawasan budidaya. Misalnya, DO meter untuk mengukur kandungan oksigen dalam air, pH meter untuk mengukur kandungan keasaman air, serta handrefractometer untuk mengukur kandungan kadar garam dalam air laut.
Pada Agustus 2017, dimulailah pendataan secara sistematis kualitas air pada Desa Liya, Sombano, Horuo, Balasuna, Langge, bekerja sama dengan Dr. Ir. Nursidi latief, M. Si., dari Politani Pangkep. Selain data DO, pH, dan Salinitas, juga ditambah pendataan kandungan nitrat dan phospat pada perairan tersebut, selama delapan bulan, yaitu Oktober 2017 – Mei 2018.
Dari hasil analisis data nitrat dan phospat yang dilakukan di laboratorium Kualitas Air Universitas Haluoleo, Kendari, ditemukan bahwa kandungan nitrat semua Kawasan budidaya rumput laut menunjukkan angka di bawah standar optimum budi daya kotoni, yaitu mengharuskan kandungan nitrat perairan antara 0,9 – 3,5 ppm, dengan kandungan minimum 0,1 ppm. Dari data yang disusun oleh Nursidi, ditemukan bahwa perairan Wakatobi umumnya hanya mengandung antara 0,03 – 0,08 ppm.
Hanya pada Januari 2018, di Desa Langge dan Balasuna Kawasan perairan mengandung nitrat 0,1 ppm. Menurut Nursidi, melihat kondisi perairan Wakatobi, “Kita tidak dapat mengukur daya dukung lingkungan atau carrying capacity, sebab secara nyata perairan Wakatobi tidak layak untuk budi daya kotoni.”
Kondisi Alam, Penyebab Lainnya Kotoni Mati di Wakatobi
Selain kekurangan kandungan nitrat di perairan, terdapat dua hal lainnya yang menjadi faktor penghambat berkembangnya budi daya rumput laut kotoni di Wakatobi. Dari data arus pulau Wakatobi, menurut data, ketika pasang angin berasal dari arah barat dan ketika surut, angin berasal dari timur, begitu pun sebaliknya. Jadi, di Wakatobi terjadi perputaran angin bolak – balik dengan sangat cepat. Sehingga, air laut sebagai media budidaya rumput laut tidak terganti oleh air laut yang berasal dari samudera luas. Diperkirakan, air bolak – balik di sekitar Kawasan budidaya rumput laut.
Selain itu, tipe iklim di Wakatobi adalah iklim tipe C, yang berarti jumlah intensitas hujan sedikit. Padahal, salah satu faktor yang mendorong suplai bahan organik adalah hujan. Hujan yang jatuh di atas daratan, membuat aliran air dari daratan membawa bahan organik dari daratan.
Tampaknya, pembudidaya rumput laut Wakatobi memang perlu berdamai dengan matinya kotoni di Wakatobi dan mengoptimalkan budi daya spinosum yang bertanggung jawab.
Baca Selanjutnya: Memetakan Solusi Bagi Perbaikan Budi Daya Rumput Laut di Wakatobi
"