STUDI BANDING KOPERASI JIBOGOL DAN MOMA KE UNAF DI KB. GUNUNG KIDUL TAHUN 2011
Pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat adat, demikian kebijakan baru pemerintah Provinsi Papua dalam implementasi pengelolaan hutan yang akan dilakukan oleh masyarakat dan akan mengacu pada Peraturan Gubernur No 13 tahun 2010. Sebagai bentuk upaya dan dukungan terhadapat kebijakan permerintah tersebut WWF Indonesia Region Sahul telah melakukan pendampingan terhadap kelompok masyarakat adat pengelola hutan Koperasi Serba Usaha (KSU) Jibogol Kampung Guriat Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura dan Koperasi Serba Usaha (KSU) Mo Make Unaf Kampung Kaliki Distrik Kurik Kabupaten Merauke, telah menfasilitasi kedua kelompok tersebut melakukan studi banding ke HKM/HTR yang berada di Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Jogyakarta. Berikut laporannya
Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan karunia berupa sumber daya hutan (dengan segenap manfaat yang ada didalamnya) di Provinsi Papua sehingga wajib dimanfaatkan secara bijaksana bagi kesejahteraan umat manusia, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang,
Dalam kurun waktu tahun-tahun terakhir pengelolaan hutan di Provinsi Papua dirasakan belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, khususnya masyarakat hukum adat Papua serta belum mampu memperkuat kemampuan fiscal pemerintah di Provinsi Papua. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia mengakui menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat hukum adat Papua atas sumber daya alam, termasuk di dalamnya sumber daya hutan. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan hutan di Provinsi Papua harus dilakukan dengan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat Papua guna mencapai kesejahteraan dan kemandirian di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilakukan melalui kerjasama kemitraan yang setara dan adil, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, keadilan, pemerataan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia,
Untuk merealisasikan pemberdayaan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan dalam wilayah hutan adat mereka Pemerintah Papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) No 21 Tahun 2008 tentang pengelolaan hutan yang berkelanjutan di Papua. Dalam Perdasus tersebut masyarakat hukum adat diberi hak untuk mengelola potensi hutan adat mereka (kayu dan non kayu) secara legal. Artinya masyarakat hukum adat diberi kesempatan untuk mengurus dan memiliki ijin pengelolaan hutan, disertai dengan segala kewajiban yang harus dipenuhi dan segala hak yang dapat diperoleh, Tujuan akhirnya adalah agar masyarakat dapat merasakan manfaat ekonomi yang optimal secara legal dan bertanggungjawab dari pengelolaan tersebut.
Menindaklanjuti Perdasus No 21 Tahun 2008, Pemerintah Propinsi Papua kemudian menerbitkan Peraturan Gubernur (PerGub) Papua No. 13 Tahun 2010 tentang ijin pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat hukum adat. Dalam PerGub tersebut dijelaskan tentang mekanisme pengurusan ijin pemanfaatan oleh masyarakat hukum adat, hak dan kewajiban pemegang ijin, permodalan, penatausahaan kayu serta mekanisme pemasaran. Bahkan secara teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua telah menerbitkan petunjuk teknis pemanfaatan hasil hutan kayu, sehingga lebih mempermudah masyarakat hukum adat memenuhi tatacara birokrasi dalam pengelolaan hutan adat mereka.
Kegiatan studi banding ke KWML Gunung Kidul Yogyakarta merupakan salah satu program dari WWF Indonesia untuk memfasilitasi masyarakat adat pengelolaan hutan KSU Jibogol Kampung Guryat Distrik Unurum Guay dan KSU Mo Make Unaf Kampung Kaliki Distrik Kurik Kabupaten Merauke. Studi banding dilaksanakan dari tanggal 26 Januari 2011 tim studi banding dari Kabupaten Merauke dan Kabupaten Jayapura menuju ke Jogyakarta sampai dengan tanggal 30 Januari 2011 Tim kembali ke daerah masing-masing.
Tim peserta dari Kabupaten Merauke berjumlah 5 orang peserta yaitu Bapak Agustinus Balagaize, Bapak Nahasan Balagaize dan Anthon Balagaise dari Kelompok KSU Mo Make Unaf, didampingi oleh Bpk Protasius Kaime dari Dinas Kehutanan Kabupaten Merauke dan Bpk Prasetyo dari WWF Merauke, sedangkan peserta dari Kabupaten Jayapura terdiri dari Bpk Hendrik Kulang, Enos Kulang dan Yosep Birawa dari KSU Jibogol Kampung Guriat dan didampingi oleh Bapak Estiko Tri Wiradyo dari Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, Bpk Rudy J. Sokoy dari Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura, Bpk. Piter Roki Aloisius dan Agustinus Wianimo dari WWF Indonesia Region Sahul. Tiba di Jogya tim studi banding dari Papua bergabung dengan Nicole dan Tanya adalah mahasiswa S2 dari Australia yang magang di WWF Indonesia, Christine adalah buyer dari Prancis berkerja dan berkantor pusat di Singapura yang ingin melihat secara langsung praktek pengelolaan hutan lestari yang telah dilakukan sekaligus bertujuan untuk mendapatkan pangsa pasar bagi sumber bahan baku bagi perusahaan industri mereka yang memproduksi meubel dan handcraf dengan ketentuan sumber bahan baku harus berasal dari pengolaan hutan yang dilakukan oleh masyakat dan dikelola secara lestari.
Maksud dan tujuan dilakukannya studi banding bersama dengan masyarakat dan perwakilan dari pemerintah yaitu Dinas kehutanan Kabupaten Merauke, Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura dan Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua ke HKM/HTR di Gunung Kidul adalah;
a. Untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan tentang organisasi pengelolaan koperasi yang telah dilakukan di Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML)
b. Untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan bagaimana system pengelolaan hutan yang dikembangkan oleh masyarakat pemilik hutan sehingga memperoleh manfaat optimal.
c. Untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan bagaimana implementasi aspek legal pengelolaan hutan (hukum positif negara) dalam implementasi pengeloaan hutan rakyat di Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML)
d. Untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan tentang pemasaran hasil panen dan pengolahan pasca panen.
e. Untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dalam mengimplementasikan pengelolaan hutan menuju sertifikasi pengelolaan hutan yang kredibel.
A. Kunjungan Ke Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul
Kunjungan ke Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul dilaksanakan pada hari pertama tanggal 26 Januari 2010, selain bertujuan untuk silaturahmi dan juga untuk mendapatkan informasi terkait dengan program dan kebijakan dibidang kehutanan yang dilaksanakan di Kabupaten tersebut. Pertemuan dilakukan dalam bentuk tatap muka dan Tanya jawab, dalam kegiatan tersebut Kepala Dinas didampingi oleh beberapa pejabat di lingkup Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul.
Dalam Kata sambutannya kepala Dinas Kehutanan menyambut baik dan memberikan apresiasi telah menentukan Kabupaten Gunung Kidul sebagai tempat untuk dilaksanakannya studi banding dari masyarakat adat Papua yang difasilitasi oleh WWF Indonesia lebih lanjut Kepala Dinas menyampaikan gambaran terkait dengan program dan kebijakan sektor kehutanan, melaksanakan berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat banyak, salah satunya program pemberdayaan masyarakat menghadapi lahan kritis, program tersebut akan tersebar untuk 14 kecamatan dari 18 kecamatan yang berada di gunung kidul.
Luas Kabupaten Gunung Kidul adalah 1,485,36 km2, wilayah Gunung Kidul sebagian besar merupakan tanah kritis dengan lapisan top soil yang tipis, kelerengan yang curam, serta topografi yang bergelombang sampai berbukit. Sebagian besar lahan kritis terjadi karena pada masa lalu pengelolaan lahan pertanian yang kurang tepat sehingga melebihi daya dukung lahan tersebut. Masyarakat melakukan upaya untuk merehabilitasi lahan pertanian miliknya dengan cara menanami lahan miliknya dengan tanaman berkayu. Penanaman tanaman berkayu tersebut umumnya dimulai pada awal tahun 1950-an untuk lahan yang sudah tidak sesuai lagi untuk ditanami tanaman pertanian, dilakukan secara perorangan (individual) dan belum secara bersama-sama (massal).
Masyarakat beranggapan dengan adanya tanaman berkayu di lahan miliknya, maka kualitas lahan dapat ditingkatkan di samping mereka memperoleh beberapa keuntungan, baik keuntungan ekonomis maupun keuntungan ekologis. Kegiatan penanaman tanaman berkayu pada lahan milik dilakukan serentak secara massal dalam kegiatan penghijauan bersama-sama dengan petugas lapangan penghijauan (PLP) dalam Proyek Bangun Desa pada tahun 1984 s/d 1985. Penghijauan tersebut dilakukan dengan menanami daerah-daerah kritis yang rawan erosi, di samping untuk meningkatkan produktifitas lahan. Pembangunan hutan rakyat tersebut dimulai dengan pembuatan terasering pada lahan-lahan dengan kelerengan curam dan menanami lahan-lahan tersebut dengan tanaman kayu-kayuan yang bermanfaat bagi masyarakat baik ekonomis maupun ekologis.
Beberapa informasi yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul sehubungan dengan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul adalah; Luas hutan di Gunung Kidul ± 34.000 ha (kebanyakan hutan yang dikelola oleh masyarakat) dengan produksi setahun mencapai 100.000 m3. Rata-rata kepemilikan lahan masyarakat di Gunung Kidul hanya 0,5 ha/KK, dengan system penanaman yang diganti jenis tanamannya setiap musim. Di Gunung Kidul hutan rakyat dikelola oleh Pemda DIY (dalam hal ini Dinas kehutanan) bukan Perum Perhutani umumnya di Jawa. Total luas hutan yang dikelola dinas Kehutanan Gunung Kidul adalah 13.000 Ha dengan rincian 9000 ha dikelola langsung oleh Dinas Kehutanan dan 4000 ha dikelola bersama masyarakat. Di Gunung Kidul ada POKJA kehutanan yang mendorong agar hutan dikelola lestari utamannya oleh masyarakat. POKJA terdiri dari perguruan tinggi, LSM dan dinas terkait. Ada Pergub DIY yang mengatur tentang Pengelolaan Hutan Masyarakat (termasuk tentang pembagian hasil. Yaitu PerGUb No 38 tahun 2009. Motivasi masyarakat mau mengelola hutan adalah mempermudah mencari air pada musim kemarau, dimana tahun 60-70-an Gunung Kidul adalah daerah miskin yang kering, ada nilai ekonomis yang diperoleh petani/masyarakat karena pasar kayu sudah terbentuk. Urusan birokrasi di pemerintahan (dinas terkait) relatif mudah untuk memproduksi dan menjual hasil kayu tebangan milik masyarakat.
B. Kunjungan ke Desa Bleberan, Dusun Paliyan Wonogiri
Setelah pertemuan dengan Kepala Dinas Kehutanan berserta jajarannya Tim Studi banding melanjutkan perjalanan menuju Desa Bleberan, dusun Playen Wonogiri.
Tiba di lokasi masyarakat langsung diajak untuk melihat areal lokasi hutan kemasyarakatan yang telah ditanamani pohon jati, setelah melakukan tinjuan lapangan dilanjutkan dengan pertemuan bersama dengan anggota dan pengurus koperasi. Dalam sambutan penerimaan ketua koperasi menyampaikan terima kasih atas kunjungan tim dari Papua yang telah menentukan Dusun mereka untuk melakukan kegiatan Studi Banding, lebih lanjut disampaikan program hutan kemasyakatan ini dapat berhasil dilaksanakan karena terdesak dengan keadaan daerah tersebut yang dahulunya gersang, masyarakat sulit untuk mendapatkan sumber air, untuk kebutuhan minum dan pengairan bagi tanaman, tanah menjadi kering dan tandus. Warga bersyukur dengan adanya program hutan rakyat yang dicanangkan pemerintah, masyarakat diberikan kewenangan dalam mengelola hutan negara. Ketua koperasi berpesan untuk masyarakat adat di Papua, jangan biarkan hutan di Papua menjadi gundul seperti di daerah meraka yang harus bersusah payah menghutankan kembali tanah mereka yang gersang, alangkah baiknya pemanfaatan hutan di Papua yang terkenal masih perawan pemanfaatan dan pengelolaannya dikelola secara lestari, diakhiri dengan pesan jangan tinggalkan air mata tapi tinggalkanlah mata air bagi anak cucu kita.
Di Desa Beleberan Model pengelolaan hutan kemasyarakatan, dengan status areal hutan negera yang dikelola oleh KTHKm Tani Manunggal yang telah mendapatkan ijin dari Bupati Gunung Kidul berdasarkan SK. Bupati Nomor 312/KPTS/2003 dengan luasan 40 hektar, untuk Model pengelolaan dan pemanfaatan, luasan tersebut dibagi kepada 97 KK, yang tergabung dalam Koperasi Tani Manunggal.
Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Tani Manunggal pada mulanya bukan merupakan kelompok tani HKm, namun merupakan sebuah Kelompok Tani yang awal mula berdirinya karena pada tahun 1980 di dusun Menggoran II ada sisa anggaran pembangunan DAM Kedung Poh yang besarnya sekitar Rp 80.000, sehingga oleh pelaksana proyek tersebut berinisiatif untuk mendirikan sebuah kelompok untuk mengelola dana tersebut, maka terbentuklah Kelompok Tani Manunggal pada tahun itu pula.
Disamping pengelolaan lahan yang serius, maka kelompok juga mengembangkan/meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompoknya dengan mengupayakan badan hukum koperasi yang merupakan prasyarat untuk mendapatkan izin definitif. Pada tanggal 11 Oktober 2004 Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Tani Manunggal telah memperoleh badan hukum koperasi No : 518.011/BH/IX/2004, sejak bulan Oktober 2004. Pada dasarnya badan hukum koperasi ini diperoleh dengan maksud bahwa KTHKm Tani Manunggal ingin berusaha untuk lebih meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Selain itu koperasi berbadan hukum ini juga sebagai syarat mendapatkan izin definitif dalam pengelolaan HKm.
Pada tahun 2006 sejumlah kelompok diwilayah playen melakukan penggabungan di koperasi tani manunggal untuk memenuhi ketentuan pemberian ijin Hkm, sebagaimana dalam SK 31 /kpts/2001 tentang Pengelolaan HKm. Terjadinya penggabungan selain alasan keberlangsungan pengelolaan HKm juga untuk lebih dapat mengembangkan koperasi, dengan jumlah anggota yang lebih luas dan banyak koperasi akan lebih mudah berkembang. Kelompok yang melakukan penggabungan meliputi :
Tabel kelompok gabungan Koptan Tani Manunggal
Nama kelompok Alamat Pengurus Jml anggt Luas Hkm SK Ijin Sementara Asset
Tani Manunggal Menggoran II-Bleberan-Playen Ngabdani Hartono Radimin 100 40.00 312/ KPTS/ 2003 8 Des 2003 208,000,000
Sedyo Rukun Gembol-Ketanggi-Banyusoco-Playen Pardiastuti Sugiyati Ismintarti 54 17.00 86/ KPTS/ 2004 23 Juni 2004 16,580,000
Sumber Wanajati I Kepek-Banyusoco-Playen Poniyo Sugina Saena 49 12.65 67/ KPTS/ 2004 16 Juni 2004 5,650,000
Sumber Wanajati III Kepek-Banyusoco-Playen Harjono Tumin Parso 20 15.00 81/ KPTS/ 2004 22 Juni 2004 1,000,000
Struktur organisasi penggabungan sebagai berikut :
Jenis tanaman pokok yang dibudidayakan di areal HKM adalah pohon jati dengan system tumpang sari dengan tanaman bawah tegakan jenis tanaman Porang (Amarphhopallus onchophyllus). Jenis tanaman porang merupakan tanaman dari jenis umbi-umbi, penanaman jenis tanaman tersebut difasilitasi oleh BPDAS Serayu Opak Progo. Tanaman Porang tersebut akan menghasilkan umbi yang akan diolah dijadikan tepung sebagai campuran untuk untuk pembuatan mie. Tepung yang dihasilkan tersebut akan diekspor ke Jepang sebagai negara pemesan. Dalam 1 Ha lahan yang ditanam tanaman porang akan menghasilkan 1 sampai dengan 2 ton tepung. Berdasarkan cerita dan informasi masyarakat dari KSU Jibogol Kampung Guryat setelah melihat tanaman tersebut memastikan bahwa Jenis Tanaman Porang tersebut juga banyak dijumpai hampir diseluruh di areal hutan masyarakat Kampung Guryat, tumbuh liar/tidak di tanam/di budidayakan oleh masyarakat dan potensi yang ada tersebut belum diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Penggarapan lahan dilakukan secara gotong royong, pembagian lahan kelola diatur dengan cara musyawarah, masyarakat diberikan kewenangan dalam menentukan luas lahan garapan yang disesuaikan dengan kemampuannya. Hasil pemanfaatan lahan dari hasil tanaman pertanian, 100 % pengahasilannya diberikan kepada masyarakat atau anggota koperasi, sedangkan untuk panen kayu jati pembagian hasilnya dilakukan dengan mengacu kepada Keputusan Gubernur DIY dengan pembagian sebagai berikut; 60 persen untuk petani, 30 % untuk Pemda DIY dan 10 % untuk Pemda Gunung Kidul.
Selain beberapa program tersebut diatas, berhasil program pengembangan hutan rakyat di Desa Bleberan Koperasi Tani Manunggal adalah dukungan program pendampingan dari intansi/dinas terkait yang tergabung dalam Pokja Pengembangan hutan Kemasyarakatan, terkait dengan dengan kegiatan budidaya pertanian dan peternakan didampingi oleh BPPT Kab. Gunung Kidul, Program Budidaya ikan air tawar difasilitasi oleh Dinas perikanan, Pembentukan kelembagaan koperasi di fasiltasi oleh Dinas Koperasi.
Jumlah anggota yang terdapat di Koperasi tani Manunggal sudah berjumlah 240 orang anggota dan memiliki 4 kelompok tani dengan ketentuan kelompok-kelompok tani tersebut tidak dapat membentuk sebuah koperasi.
C. Kunjungan ke Desa Giri Sekar Dusun Jeruken
Setelah melihat pengelolaan hutan rakyat dengan status kawasan sebagai hutan negara, perjalanan dilanjutkan ke Desa Giri Sekar Dusun Juruken, dari Desa Bleberan ke Desa Giri Sekar ditempuh ± 1 jam perjalanan. Di Kampung Juruken tim studi banding melakukan pertemuan dan diskusi bersama dengan pengurus dan anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat Trubus. Melalui pertemuan dan diskusi warga Dusun Juruken menceritakan bahwa awalnya sebagian besar lahan merupakan tanah kritis dengan lapisan top soil yang tipis, kelerengan yang curam, serta topografi yang bergelombang sampai berbukit. Sebagian besar lahan kritis terjadi karena pada masa lalu pengelolaan lahan pertanian yang kurang tepat sehingga melebihi daya dukung lahan tersebut.
Melalui kegiatan konservasi tanah dengan melakukan pembuatan terasering tanah dapat kembali menjadi subur, cara pembuatan teras siring adalah dengan menyusun batu-batu yang banyak dijumpai dilahan bertujuan pada saat hujan tanah tidak akan terbawah oleh air hujan tapi akan tertahan oleh teras siring yang talah dibuat. Dengan melakukan cara konservasi tanah tersebut warga Dusun Jeruken memiliki lahan/media tanah untuk menanam tanaman dari jenis pohon-pohonan dan tanaman perkebunan dengan system tumpang sari, dari penjualan kayu jati diameter 10 cm dan panjang 4 meter dapat dijual dengan harga Rp. 17.000,-, harga kayu tersebut mengalami kenaikan terus menerus seiring dengan telah diperolehnya sertifikasi pengelolaan hutan lestari, keuntungan lain yang diperoleh adalah Dusun Juruken tidak lagi kesulitan air bersih, dijumpai sumber mata air/mata air baru, sungai yang dulunya kering sekarang telah mengalir untuk mengairi sawah, lahan perkebunan dan kebutuhan air bersih untuk minum mandi dan kakus.
D. Kunjungan ke Desa Giri Sekar Dusun Blimbing
Tidak berbeda dengan Dusun Jurukem di Masyarakat Dusun Blimbing juga melakukan praktek pengelolaan konservasi tanah dan air, Pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat adalah bila tanah yang dimiliki mempunyai ketebalan tanah yang mencukupi untuk pertanian palawija. Sedangkan lahan yang berupa perbukitan berbatu ditanami dengan tumbuhan keras seperti jati, mahoni, akasia dsb. Walaupun penanaman tanaman keras ini rata-rata di lahan yang miring dan berbatu, masyarakat juga menanam tanaman keras ini di pekarangan mereka sebagai tanda batas kepemilikan tanah. Pola agroforestry dilakukan untuk menambah pendapatan masyarakat selain dari sektor pertanian. Dengan kondisi lahan/topografi yang miring dan berbukit-bukit, memungkinkan terjadinya erosi/penghanyutan tanah yang berada di atas ke lahan-lahan berada di bawahnya saat musim penghujan tiba. Hal ini telah disadari oleh masyarakat, mereka membuat teras-teras dilahan untuk mencegah hanyutnya tanah oleh air. Pembuatan terasering/talud ini dilakukan secara individu maupun gotong royong, hal ini dikarenakan didaerah ini hanya memilki solum tanah sangat tipis dan didominasi batuan karst yang berbentuk perbukitan. Praktek konseravasi tanah dengan system terasering untuk mengatasi medan berbukit yang miskin tanah. Pengerjaan dilakukan secara berkelompok dan bergotong-royong dilokasi anggota koperasi.
Selain praktek pengelolaan tanah dan air, Koperasi juga melakukan kegiatan ekonomi lainnya yaitu simpan pinjam dan arisan anggota. Kegiatan tersebut dilakukan untuk membantu anggota koperasi yang mengalami kesulitan dana dalam pengembangan usahanya. Di dalam penerapan praktek simpan pinjam, anggota koperasi harus taat pada peraturan dan ketentuan yang telah ditentukan bersama Pembagian hasil keuntungan didalam pengelolaan koperasi telah disepakati 60:40 (60% untuk petani, 40% untuk desa/kabupaten)
Di dalam melakukan berbagai kegiatan masyarakat Dusun Blimbing didampingan dari LSM local sehingga masyarakat selalu dapat berdiskusi jika ada masalah. Masyarakat juga membangun saluran air dari waduk dikawasan hutan desa dengan bantuan peralatan dari LSM.
E. Kunjungan ke Desa Kedung Keris
Tiba di Desa Kedung Keris, Tim studi banding mengunjungi Paguyuban KTHR (Kelompok Tani Hutan Rakyat) Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul. Kunjungan diawali dengan pertemuan bersama dengan pengurus dan dan anggota KTHR. Dalam kata pengantar ketua KTHR disampaikan Desa Kedung Keris merupakan salah satu desa di Kecamatan Nglipar yang memiliki potensi hutan rakyat dan hutan negara yang luas. Namun di dalam prraktek pengelolaan hutan di Desa Kedung Keris adalah; Hutan yang dikelola merupakan hutan milik.
Pembangunan hutan rakyat di Desa Kedung Keris telah dilakukan oleh masyarakat setempat sekitar tahun 1950-an. Pada saat itu akses dan interaksi masyarakat terhadap hasil hutan pada kawasan hutan negara sangat terbatas. Interaksi masyarakat terhadap hutan sangat besar terutama dalam memenuhi kebutuhan akan kayu perkakas, kayu bakar, hijauan makanan ternak (HMT), serta hasil hutan lainnya. Pembatasan terhadap interaksi dan akses tersebut menyebabkan masyarakat secara sadar mulai menanami lahan miliknya dengan tanaman kayu guna memenuhi kebutuhan mereka akan produk hasil hutan. Di dalam Pengelolaan hutan rakyat Desa Kedung Keris adalah salah satu dari tiga desa yang telah mendapatkan telah mendapat sertifikasi pengelolaan hutan lestari oleh lembaga sertikasi PT. TUV pada tahun 2006.
Setelah pertemuan dan tatap muka, kegiatan dilanjutkan dengan melakukan kunjungan mengitari blok areal atau lahan milik masyarakat. Hutan rakyat di dusun Kedung Keris didominasi oleh jenis jati, sedangkan jenis yang lain adalah mahoni, akasia, campuran (sengon, kepil, nangka, sonokeling, dll). Rata-rata volume kayu di hutan rakyat adalah 103 m³/ha. Angka rata-rata volume kayu tersebut tergolong cukup besar, karena hutan rakyat tidak hanya ditanam jenis kayu saja tetapi juga tanaman pertanian seperti tanaman semusim dan buah-buahan terutama di lahan tegal dan pekarangan. Masyarakat menyukai tanaman jati karena dengan menanam jati selain menghasilkan kayu pertukangan berkualitas tinggi juga bisa memelihara sumber air yang ada di sekitar dusun. Pengelolaan hutan rakyat di Dusun Pringsurat yang berbentuk tumpangsari dilakukan secara intensif dengan melaksanakan aspek-aspek kegiatan pengelolaan hutan yang terdiri atas: penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengaturan hasil dan pemasaran hasil hutan, diareal tersebut dapat dilihat jenis pohon yang ditanamani adalah dari jenis Jati, Mahoni, Akasia, dan beberapa jenis pohon lainnya. Semua jenis pohon tersebut telah diberikan nomor pohon yang jelas. Label yang digunakan untuk menulis nomor pohon menggunakan plastik, agar dapat bertahan lama atau tidak rusak dan tulisannya tidak mudah hilang. Jenis tanaman bawah hutan yang dibudidayakan adalah nenas, ubi kayu (singkong) dan palawija, untuk kegiatan pengolahan kayu Kelompok tani telah memilliki bebagai jenis mesin bubut, skap kayu, saw mill (untuk gergajian) dan mesin oven untuk pengeringan kayu. Semua peralatan tersebut digunakan untuk mengelola kayu menjadi kayu olahan dari berbagai jenis ukuran.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pembelajaran pengelolaan hutan yang dilakukan Kelompok Tani Hutan Kedung keris menuju pengolaan hutan lestari dan telah berhasil untuk mendapatkan sertifikasi adalah; kelola kelembagaannya melalui koperasi yang dibentuk bersama dengan kelompok tani, kelola hutannya, difasilitasi oleh LSM untuk melakukan survey potensi dalam memperoleh informasi tentang Lokasi kayu (pemilik) potensi kayu, peta lokasi, informasi kelas umur kayu dan dokumentasi kayu lainnya sampai dengan menetukan jatah tebang tahun dan kelola usahanya, dengan tidak mengandalkan hasil kayu tetapi disertai dengan hasil non kayu lainnya, untuk pemenuhan hidup sehari-hari melalui kegiatan tumpang sari, peternakan dan perikanan.
Manfaat lain yang dirasakan olek warga Desa Kedung Keris dengan diperolehnya sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari adalah jaminan terhadap asal kayu, nilai/harga kayu menjadi lebih baik, kualitas lingkungan menjadi lebih baik dan terjaga, udara bersih dan djumpai bertambahnya sumber mata air.
F. Kunjungan ke Desa Wonosadi
Hutan Wonosadi adalah hutan yang dikelola secara adat oleh masyarakat sekitar hutan Dusun Duren dan Dusun Sidorejo, Desa Beji Gunung Kidul, dipercaya sebagai hutan alam warisan nenek moyang, hutan yang angker dan hutan yang disakralkan, sehingga mereka tetap harus dijaga.
Kunjungan ke Desa Wonosadi, untuk melihat hutan adat Wonosadi, terdengar agak langka karena ternyata nama hutan adat tidak hanya ada di Papua saja. Hutan adat Wonosadi terletak di lereng perbukitan di Desa Beji Kecamatan Ngawen, Gunungkidul sekitar 18 km dari Wonosari. Hutan yang kaya dengan pohon-pohon langka dan berbagai fauna ini sampai sekarang masih sangat terjaga kelestariannya, berkat adanya kearifan lokal yang terus terjaga dan terpelihara.
Berdasarkan ceritera juru kunci dan pengelola, bahwa di Hutan Wonosadi, Onggoloco yaitu putra salah seorang selir Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri dari kejaran pasukan Kerajaan Demak, pernah bertapa.
Hutan Wonosadi juga mempunyai beberapa sumber mata air yang memberikan air bersih bagi penduduk dan juga digunakan untuk mengaliri persawahan di 6 dusun di Desa Beji.
Hutan Adat Wonosadi Merupakan tanah negara yang bukan hutan namun dilakukan reboisasi oleh masyarakat sehingga menjadi hutan. Total luas 53,7 ha, terdiri dari hutan inti seluas 25 ha dan buffer hutan seluas 28,7 ha.
Masyarakat tidak menebang kayu dari hutan adat tersebut namun memperoleh manfaat hasil hutan non kayu. Yaitu sumber air untuk pertanian dan kebutuhan masyarakat desa, pariwisata dan obat-obatan.
Ada “juru kunci” hutan adat yang bertugas melindungi hutan tersebut dan menjalankan ritual desa. Berkat dari adanya kegiatan penghutanan kembali Hutan Adat Wonosadi sekarang masyarakat bisa panen padi 3 kali setahun.
Masyarakat juga telah menerbitkan buku tentang sejarah desa hutan adat Wonosadi yang menjadi referensi bagi para turis atau tamu yang berkunjung ke lokasi tersebut. Buku tersebut berjudul “Sebuah Kearifan Lokal Konservasi Sumberdaya Alam Hutan Alam Wonosadi”. Sampai saat ini beberapa kali menerima penghargaan Kalpataru kepada pengelola wonosadi dalam pelestarian hutan adat ini . Banyak kunjungan dari intansi pemerintah maupun wisatawan asing yang ingin menyaksikan keindahan dan keunikan hutan wonosadi.
G. Kunjungan ke Desa Dengok
Kunjungan ke Desa Dengok, rombongan tim studi banding dapat melihat praktek dilakukannya penata usahaan hasil hutan mulai dari teknis Inventarisasi hasil hutan (ITSP), penebangan, dan teknis barcode, untuk penerapan e-COC (Chain of chustody) sertifikasi.
Untuk penerapan e-COC dilakukan dengan pendampingan bersama LSM Shorea, Tujuan e-COC adalah menyusun database tegakan pohon secara elektronik. Setiap pohon yang ditebang dapat dilacak dengan komputer, meliputi asal kayu dan data pemilik kayu. Pembeli produk yang berasal dari kayu tersebut juga dapat mengakses data bahan bakunya. Pembeli akan memperoleh ID product untuk masuk ke dalam web data base. Keunikan system barcode yang dikembangkan disini adalah adanya informasi yang dapat dilacak dari setiap kayu yang ditebang oleh pemiliknya. Yaitu identitas asal-usul kayu (no kayu, lokasi, jenis, nama pemilik, tanggal penebangan hingga pengiriman) dan alasan ekonomi budaya mengapa pohon tersebut ditebang (klasifikasinya adalah keperluan sekolah, berobat, masuk kerja, membuat rumah sendiri, kebutuhan pasar atau untuk pemenuhan hidup sehari-hari). Hal yang sangat diperhatikan pada saat melakukan penebangan pohon jati adalah pemanfaatan kayu tersebut akan digunakan semua bagian dari pohon mulai dari daun, ranting, cabang/dahan dan batang pohon. Pembuatan takik rebah dan takik balas jika ketentuan penebangan pada hutan alam dilakukan pada 1,30 m atau setinggi dada, penebangan pohon jati dilakukan rata dengan tanah. Selain pertimbangan efisiensi batang pohon yang masih tertinggal akan tumbuh tunas baru dari pohon jati yang akan dipelihara kembali.
Pada Praktek penebangan dapat dilihat, untuk melakukan penebangan dengan memperhatikan takik rebah dan takik balas, penebangan dilakukan mulai dilakukan dengan menebang dengan memangkas setiap ranting kayu untuk memangkas ranting ranting kayu diatas, petugas penebangan memanjat pohon dan memangkas satu persatu ranting dan cabang pohon hingga tinggal batang pohon tunggal saja dan tidak terdapat lagi ranting dan cabang pohon, agar ranting dan cabang pohon tidak jatuh