SELANGKAH LAGI MENUJU PENETAPAN WILAYAH KELOLA SUMBER DAYA ALAM BERBASIS ADAT SARANO WALI, WAKATOBI
Tiga tahun telah berlalu sejak Masyarakat Hukum Adat (MHA) Sarano Wali di Pulau Binongko, Wakatobi, menguatkan kembali kearifan lokal dalam mengelola sumber daya baik di darat maupun di laut, yang disebut kaombo. Kaombo merupakan pranata adat yang ditaati dan masih dijalankan oleh etnis Cia-cia di Binongko. Secara harfiah, kaombo memiliki arti dilarang. Makna di balik itu adalah ada pelarangan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan apabila dilanggar akan mendapat sanksi, baik sanksi melanggar doa-doa kaombo maupun sanksi adat.
Dalam Sarano Wali, setidaknya terdapat tiga tata kelola adat kaombo, yaitu kaombo pribadi, kaombo hutan lindung, dan kaombo pesisir. Seseorang dilarang mengambil sumber daya di wilayah adat untuk kepentingan pribadi. Sumber daya kepemilikan adat mempunyai fungsi sosial sebagai kepunyaan adat dan dipergunakan untuk kepentingan adat dan umum.
Banyak tantangan dalam penerapan kaombo. Misalnya, masih adanya nelayan dari desa lain secara diam-diam melakukan penangkapan di area. Hal ini salah satunya disebabkan karena belum tersosialisasikannya kaombo secara menyeluruh, seperti melalui papan-papan informasi.
Masyarakat Sarano Wali dengan kaombo-nya, adalah contoh wilayah kelola adat pesisir. Yaitu, sistem sosial perpaduan antara pengaturan ekosistem untuk menjaga keanekaragaman hayati, nilai budaya masyarakat setempat, serta kelembagaan yang bersifat mengikat yang dibentuk, disepakati, dan dilaksanakan bersama oleh masyarakat.
Dalam upaya mendapatkan hak pengelolaan berbasis masyarakat adat tersebut, WWF-Indonesia mendorong MHA Sarano Wali untuk mendapatkan pengakuan Peraturan Bupati Wakatobi. Untuk mendapatkan Peraturan Bupati Wakatobi, mengacu pada Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 8 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014, masyarakat Sarano Wali harus melalui tiga tahapan. Pertama, adalah tahapan identifikasi masyarakat hukum. Kedua, verifikasi dan validasi dokumen adat. Terakhir, barulah sampai pada tahap penetapan masyarakat hukum adat.
Verifikasi dan Validasi Dokumen Adat Masyarakat Sarano Wali
Masyarakat Sarano Wali memiliki rumah adat yang bernama Baruga. Bangunan inilah yang menjadi tempat berkumpul untuk proses verifikasi dan validasi dokumen Masyarakat Hukum Adat (MHA) Sarano Wali.
Dirjen Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup RI turut mengunjungi Sarano Wali untuk pengesahan Perjanjian Kerja Sama antara Sarano Wali dengan Balai Taman Nasional Wakatobi. Lakina Wali (Raja Sarano Wali), Jou Paladihu (Raja Adat Paladdihu), dan Bonto Popalia menandatangani berita acara pertemuan tersebut, bersama dengan Camat, balai Taman Nasional Wakatobi, panitia, Danramil, dan Polsek Binongko.
Dokumen adat yang diverifikasi dan divalidasi dalam tahapan ini meliputi empat aspek. Pertama, sejarah MHA Sarano Wali, batasan wilayah adat, hukum adat yang berlaku, daftar harta kekayaan adat, dan sistem kelembagaan atau pemerintahan adat. “Kami berharap, kaombo bisa terus menerus dilaksanakan, tidak terputus,” ujar nelayan dari Forum Nelayan Binongko. Dukungan dan harapan yang sama juga mengalir dari masyarakat lainnya yang turut merasakan kelimpahan ikan setelah kaombo diberlakukan.