10 NEGARA PASIFIK BARAT PELAJARI HARVEST STRATEGY PADA LOKAKARYA PENGELOLAAN TUNA DI BALI
Oleh: Nisa Syahidah (Sunda Banda Seascape Communication & Campaign Assistant, WWF-Indonesia)
Bagaimana menyelamatkan perikanan tuna global dari ancaman overfishing? Hal inilah yang dijawab dalam Western Central Pacific Ocean Tuna Management Workshop di Bali, 1-2/08/2017.
“Jika saya adalah menteri, rekomendasi skenario aturan pengendalian penangkapan (harvest control rule/HCR) apa yang bisa kalian berikan agar probabilitas stok perikanan tuna berada di zona aman sebesar 60%?” Ian Cartwright, fasilitator lokakarya, menantang 23 peserta yang merupakan pengelola perikanan dari Niue, Nauru, Taiwan, Thailand, Vietnam, Panama, Samoa, Ekuador, Wallis and Futuna, dan Indonesia.
Negara-negara yang tergabung dalam Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat dan Tengah (Western Central Pacific Fisheries Commission/WCPFC) mempelajari lebih dalam mengenai adopsi strategi penangkapan (harvest strategy) dan management strategy evaluation (MSE) sebagai pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) dalam pengelolaan perikanan tuna.
“Tuna adalah spesies penting bernilai ekonomis tinggi, yang bermigrasi sangat jauh. Sehingga, pengelolaannya harus melibatkan kolaborasi berbagai negara,” terang Abdullah Habibi, Fisheries and Aquaculture Improvement Manager, WWF-Indonesia..
“Lokakarya ini akan mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih baik terkait perikanan tuna – melalui keterlibatan seluruh stakeholders, termasuk pelaku industri perikanan tuna dalam berbagai level,” Wawan Ridwan, Coral Triangle Program Director, WWF-Indonesia menambahkan.
Diskusi produktif dalam dua hari lokakarya dikemas dalam format focus group discussion yang atraktif dan interaktif. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok yang dinamai ragam spesies pelagis yang sering tertangkap di kawasan Pasifik Barat - Yellowfin, Rainbow Runner, Skipjack, Albacore, Bluefin.
Pada hari pertama, sebagai pemanasan, dengan bergantian melempar dadu raksasa bertuliskan 6 tujuan pengelolaan (management objectives), peserta mengeksplor perspektif dan urgensi setiap tujuan pengelolaan sebagai basis dalam penyusunan harvest strategy.
Mereka juga memetakan prinsip harvest strategy dengan menyusun 25 kertas yang melambangkan setiap elemen harvest strategy dalam bagan raksasa di lantai. Sementara pada hari kedua, peserta mempelajari Tuna MSE (Management Strategy Evaluation), aplikasi pemodelan untuk berbagai skenario HCR dan menghasilkan pilihan pilihan pemanfaatan perikanan sesuai dengan tujuan harvest strategy yang dibuat.
Tuna Management Workshop ini diselenggarakan untuk kali kelima, dan merupakan bagian dari upaya Areas Beyond National Jurisdiction (ABNJ) Tuna Project, yang diimplementasikan bersama oleh Ocean Outcomes (O2) dan WWF.
Common Oceans ABNJ Tuna Project adalah sebuah upaya untuk menjaga keberlanjutan tuna di tingkat global yang didanai oleh Global Environment Facility (GEF) dengan dukungan dari Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). WWF sendiri memimpin pelaksanaan sejumlah capaian ABNJ Tuna Project, termasuk dalam kegiatan untuk meningkatkan pemahaman dan adopsi harvest strategy oleh Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs).
“Mengelola perikanan, adalah mengelola masyarakat,” ungkap Saut Tampubolon, Kepala Sub Direktorat Laut Zona Ekonomi Eksklusif, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Ikan (Deputy Director, Fishery Resource Management), Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia.
“Menjaga stok ikan melalui harvest strategy, artinya kita mengatur kebiasaan dan perilaku masyarakat untuk berkomitmen pada aturan pengelolaan yang telah disepakati, tentunya untuk mencapai tujuan bersama – menjaga perikanan berkelanjutan hingga masa depan,” imbuh ia. Bergabung dengan WCPFC sejak 2013, Indonesia kini tengah menyiapkan harvest strategy untuk yellowfin dan skipjack tuna yang akan dimulai pada Januari 2018.
“Mengelola perikanan tuna bersama-sama seluruh stakeholders dengan harvest strategy, bisa diibaratkan liburan keluarga,” ujar Jim Ianelli (Common Oceans ABNJ Tuna Project) dalam presentasinya. “Kita sama-sama tidak menginginkan adanya kecelakaan – seperti halnya tidak ingin populasi tuna hancur karena overfishing. Kita harus menentukan tujuan “liburan” bersama, dan berkompromi untuk tujuan yang bukan favorit siapa-siapa, tetapi semua orang mau ke sana,” katanya lagi, menekankan pada pentingnya sebuah tujuan bersama: di titik mana perikanan tuna kita harapkan berada?
“Barulah, kita tentukan cara mencapainya. Seperti halnya liburan, dalam harvest strategy kita membutuhkan peta dan kompas, lewat prosedur yang disetujui bersama,” tambahnya kemudian.
Lokakarya ini telah menjadi peta dan kompas yang mendukung terwujudnya pengelolaan tuna yang lebih baik di Samudera Pasifik. Tinggal pada nakhkodanya, negara-negara peserta yang datang dari jauh ke Indonesia, tentunya bukan kembali dengan sia-sia.