MEMANGGIL HIU DI KEDALAMAN 15 METER
Oleh: Erlangga Diga (Reef Check Indonesia)
Pada hari Minggu (23/11), kami melakukan penyelaman di bagian utara site 10, yaitu di perairan sekitar Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Kami dihadapkan dengan kondisi site yang berarus kuat, cuaca yang mendung, dan perputaran arus yang bahkan membuat Kapal Menami ikut berputar.
Kami menunggu sampai kondisi site memungkinkan untuk diselami, yaitu saat arus sedikit lebih tenang. Barulah, kami mulai melakukan persiapan dan perjalanan menuju site menggunakan Dinggi.
Berhubung hari itu merupakan hari penyelaman terakhir dalam Ekspedisi Sulawesi Tenggara, dan mengingat dan kondisi site yang terbuka dan langsung menghadap laut, saya penasaran mencoba sebuah metode memanggil hiu.
Pasalnya, selama tujuh hari penyelaman ini, saya tidak bertemu dengan sang top predator yang merupakan sebuah kunci dari kesehatan sebuah ekosistem terumbu karang. Segera setelah selesai melakukan pengambilan data, saya dan Irwan Hermawan, fotografer dalam ekspedisi ini, membawa kamera turun ke kedalaman 15 meter untuk mencoba metode audible stationary count.
Metode ini memanfaatkan frekuensi getaran suara rendah yang dihasilkan dengan menggosok botol plastik selama 10 – 15 menit yang dapat ditangkap oleh ikan dan hiu. Pada lima menit pertama, tidak ada perubahan yang terjadi. Namun, tidak lama setelah itu, kami mendapatkan hasil!
Namun, bukan hiu yang muncul. Ya, beberapa ikan mulai bermunculan, Bukan hanya ikan terumbu saja, bahkan ikan pelagis seperti ikan bobara (Caranx melampygus) muncul dengan jumlah yang banyak. Ikan – ikan tersebut berputar – putar seperti mencari sumber getaran suara kurang lebih selama lima menit.
Saya dan Irwan menikmati pemandangan yang ada dan mengabadikan momen yang jarang terjadi tersebut. Saya masih menggesek botol selama kurang lebih lima menit lagi dengan harapan sang predator muncul. Namun, dengan kondisi tabung dan hiu yang tidak juga datang, saya dan Irwan memutuskan mengakhiri percobaan tersebut dan kembali naik ke permukaan.
Dengan tidak ditemukannya hiu, berarti, sejalan dengan temuan dari tim perikanan yang turun ke darat, bahwa hiu sudah jarang ditemukan di daerah tersebut. Sayang sekali, bahkan dengan dipanggil saja, hiu sudah tidak ada. Padahal, hiu memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem terumbu karang dengan memangsa ikan – ikan yang sakit.
Saya sambil berharap, semoga saja, data dasar yang dihasilkan dalam ekspedisi ini dapat bermanfaat untuk pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang di Sulawesi Tenggara. Sehingga, keseimbangan ekosistem, yang ditandai dengan kemunculan hiu, dapat tetap terjaga secara berkelanjutan.