“SEKOLAH TAMBAK”, SOLUSI PEMBUDIDAYA UDANG DI KAWASAN MINAPOLITAN PINRANG
Oleh Idham Malik, Aquaculture Officer, WWF-Indonesia
Sekolah Tambak Kawasan Minapolitan Lowita (Lotang Salo, Wiringtasi, Tasiwali’e) dibuka 19 Agustus 2015 lalu di Sekretariat Kelompok Phronima, Desa Tasiwali’e, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Kontribusi ini dilakukan WWF-Indonesia sebagai bagian dari Badan Koordinasi Minapolitan Lowita, dalam meningkatkan sumber daya manusia pembudidaya udang.
Sekolah Tambak didirikan sebagai tindak lanjut hasil survei penilaian kesenjangan (gap assessment) untuk Better Management Practices (BMP) Budi daya Udang Windu. Hasil survei menunjukkan indikator terlemah pelaksanaan BMP ada pada kelembagaan, pencatatan, dan legalitas usaha. Walaupun kelompok di Kawasan Minapolitan sudah ada, peran mereka dalam memajukan usaha budidaya belum kuat dan kurang terorganisir. Pembagian tugas dan agenda kelompok masih belum jelas. Kerja sama antar pembudidaya masih didasari ikatan kekeluargaan yang sifatnya informal, belum merupakan hasil kesepakatan bersama dalam bentuk hukum tertulis yang dapat diakomodir dalam kelompok.
Sambutan dari Abdul Salam Atjo selaku penyuluh perikanan Kabupaten Pinrang dan pembukaan secara resmi oleh Abdul Rahman, Kepala Desa Tasiwali’e, mengawali pembukaan sekaligus pertemuan pertama di Sekolah Tambak. Badrudin, mantan Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Laut Lampung, menjadi pemateri pertemuan pertama yang dihadiri 3 penyuluh, 18 pembudidaya dan 1 pengusaha hatchery udang windu. Kepada peserta, Badrudin meminta penjelasan kondisi budi daya udang windu di kawasan minapolitan.
Perwakilan peserta menjelaskan kekuatan masyarakat Pinrang dari segi semangat bekerja, potensi sumber daya alam, koordinasi antar pihak, dukungan pemerintah, serta inovasi dalam pengembangan pakan alami dan metode budi daya. Keluhan pengelolaan tambak juga disampaikan, misalnya dalam pendataan penyakit yang belum berkala dan transparan serta kerja sama antar pembudidaya dalam mengatasi penyebaran penyakit.
Salah satu masukan dari pemateri terkait pengelolaan kawasan tambak terkait dengan perbaikan saluran air dengan adanya saluran air masuk (inlet) dan saluran air keluar (outlet). Untuk itu dibutuhkan dukungan dari masyarakat yang rela menyumbangkan sebagian tanahnya untuk dijadikan saluran air. Badrudin juga menyarankan pembudidaya menyisihkan sebagian tambaknya untuk kolam tandon air. Kolam tandon berguna untuk pengendapan air dan perbaikan kualitas air sebelum dimasukkan ke tambak pembesaran. Anjuran lainnya, sebaiknya pembudidaya mengurangi luas tambak agar tambak lebih mudah dikontrol, serta terdapatnya petakan tambak secara modular, antara petak tandon, petak pembesaran dan petak pengembangan pakan alami Phronima suppa.
Pertemuan pertama sekolah tambak yang disambut secara antusias merupakan awal yang baik dalam penguatan kelembagaan. Diharapkan kebiasaan berdiskusi dalam Sekolah Tambak dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi pembudidaya.
Selanjutnya, pertemuan Sekolah Tambak dapat dilakukan selama lima bulan kedepan – dua kali per bulan – dan diharapkan dapat memperkuat hubungan kerja sama antar pembudidaya udang. Materi berbentuk kurikulum yang mengacu pada BMP Budi daya Udang Windu dan standar sertifikasi Aquaculture Stewardship Council (ASC) diberikan untuk peningkatan kapasitas pembudidaya. Garis besar kurikulum Sekolah Tambak yaitu pengelolaan budi daya (persiapan lahan, pakan, dan penyakit), legalitas, kelembagaan, lingkungan dan sosial. Sekolah Tambak akan melibatkan para pemateri yang berkompeten di bidangnya, serta para pihak terkait dalam pengembangan budi daya udang windu di Kawasan Minapolitan Kabupaten Pinrang.